Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 17

Tara hendak melangkah keluar area bandara, setelah sebelumnya menemukan penjemput yang akan mengantarkannya ke rumah yang telah disediakan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Keberangkatan yang dipercepat dari jadwal sebelumnya, membuat Tara tak sempat mencari tempat tinggal yang sesuai dengan keinginannya. Kota ini akan menjadi awal lembaran barunya dimulai.

"Permisi, Mas. Biar saya bawakan." Seorang pria paruh baya menawarkan bantuan.

"Enggak usah, Pak. Pak Narto tunggu di mobil saja. Saya mau ke toilet sebentar." Setelah mendapat anggukan serta informasi mengenai letak mobil yang terparkir dari sang sopir, Tara melangkahkan kakinya menuju toilet.

"Maaf," ucap Tara ketika dirinya tak sengaja menabrak seseorang ketika keluar dari toilet.

"Nggak apa." Orang yang tak sengaja Tara tabrak segera berlalu. Namun sebuah dompet yang jatuh tak jauh dari tempatnya membuat Tara mengernyit.

"Mbaaak," Tara menengok ke kanan kiri mencari pemilik dompet yang ia tabrak tadi, namun orang itu tak lagi terlihat.

Tara putuskan memungut dompet tersebut dan berniat menyerahkannya pada petugas keamanan. Namun ketika indera penglihatannya tidak sengaja melihat sebuah ID card perusahaan yang cukup femilier sedikit menyembul di sana, Tara putuskan untuk mengembalikannya secara langsung nanti.

***

"Kamu udah nunggu lama, Sa?" Rea bertanya saat ia menemukan keberadaan temannya di sisi luar bandara.

"Yaah, lumayan. Yuk, naik!" Sasa mengangsurkan helm yang dibawanya pada Rea. Rea yang baru kembali dari Jakarta setelah sehari menemani sang bos berkunjung di kantor pusat hanya membawa sebuah ransel besar, tak ada koper atau barang lain yang Rea bawa, membuat Sasa menyetujui permintaan Rea agar dirinya menjemput di bandara.

"Kita mampir cari sarapan sekalian ya, aku laper. Tenang, aku yang traktir," pinta Rea dan hanya diberi isyarat berupa anggukan kepala tanda Sasa menuruti keinginan sahabatnya itu karena kebetulan juga ia belum sarapan.

Tak berapa lama mereka berhenti ketika menemukan penjual bubur ayam pinggir jalan, memesan dua porsi bubur beserta minuman dan menyantapnya sembari menikmati lalu lalang kendaraan pagi hari. Tak terasa mereka telah menandaskannya, hingga kepanikan muncul ketika Rea tak menemukan dompetnya di manapun.

"Sa, dompet aku mana ya? Aduh, kok nggak ada sih?" Rea merogoh semua kantong celananya serta mengecek setiap sisi ransel miliknya, namun barang yang dicari tak juga ditemukan.

"Kamu jangan bercanda deh, Re. Cari dulu, kali nyelip kamu lupa naruhnya."

"Beneran, Sa. Tadi itu aku habis ambil duit di ATM, terus ... ya ampun! Pasti jatuh pas nggak sengaja ditabrak orang sampe jatuh tadi di deket toilet bandara! Gimana nih, Sa? Mana semua di situ." Rea mulai panik ketika menyadari kemungkinan itu.

"Tenang, kamu tenang dulu, Re. Bentar aku bayar dulu, kita balik lagi ke bandara, kali udah diserahin ke pihak otoritas bandara. Semoga masih rejeki." Sasa bangkit seraya mengambil dompet dalam tas kecil miliknya kemudian membayar sarapan mereka.

"Ayok," ajak Sasa setelah selesai membayar.

Mereka memutar arah kembali ke bandara, berharap menemukan barang yang sejak tadi membuat Rea gelisah karena seluruh identitas dirinya ada di sana.

***

"Lhoh, kok pada lemes gitu?" Bu Yuli yang sedang berjemur di teras rumah terlihat heran dengan ekspresi dua gadis yang telah dikenalnya.

"Dompet Rea ilang, Bu." suara lemah Rea menjawab pertanyaan sang ibu kos.

"Loh? Kok bisa? Udah lapor belum?" Bu Yuli berjalan cepat menghampiri keduanya, mendadak jiwa "kepo" yang terpendam tiba-tiba menguar mendengar berita yang Rea bawa.

"Udah, Bu. Tapi kata petugasnya enggak ada yang lapor nemu dompet." Rea duduk berselonjor di teras pemilik kos dengan menghela napas lemas.

"Kamu pasti lihat cowok cakep ya, sampe dompet ilang nggak berasa. Eh, atau jangan-jangan malah kebawa sama bos duda ganteng kamu itu?"

"Rea masih waras, Bu."

Mendengar perkataan ibu kos yang mulai melantur dengan analisanya sendiri, Rea memilih berdiri lalu menggamit lengan Sasa yang sedari sampai tadi hanya berdiri menjadi pendengar, kemudian menarik menjauh dari mamanya Raksa yang masih terus bicara.

"Eh, Sa! Mau kemana?" Bu Yuli memanggil Sasa yang terlihat ditarik tangannya oleh Rea.

"Sasa mau saya pinjam, Bu." Rea lebih dulu manyahuti sebelum Sasa ditahan ibu kos.

"Heleh, anak muda jaman sekarang! Orang tua lagi ngomong malah ditinggal pergi." Melihat kelakuan dua anak kosnya membuat Bu Yuli berbalik masuk rumahnya dengan perasaan jengkel.

***

"Kenapa, Ma?" Raksa mengernyit melihat sang mama masuk rumah dengan dumelan.

"Si Rea, dompetnya ilang di bandara." Bu Yuli duduk di meja makan kemudian meneguk segelas air putih.

"Lhah, harusnya Mama prihatin donk, ini kenapa malah ngedumel gitu?" Raksa ikut duduk di seberang sang mama.

"Mama lagi ngomong, eh malah ditinggal pergi. Emang kebiasaan itu si Rea, mana Sasa juga diajak pergi. Kan Mama jadi nggak bisa ngobrol sama Sasa." Bu Yuli mencebik.

"Mama kok kayak anak kecil, tinggal datengin kamarnya. Gitu kok dibikin perasaan." Suara Pak Wahyu menyahut ketika bergabung bersama keduanya.

"Kamu kok masih disini Dya? Katanya mau ngasih titipan ke Sasa."

"Ah iya!" Mendengar ucapan sang ayah membuat Raksa seketika menepuk dahinya sendiri ketika mengingat sesuatu dan segera berlari masuk kamar.

Sebuah paper bag berwarna pink berada di tangan Raksa yang membawanya berjalan ke arah kamar di mana Sasa berada.

"Sa!"

Raksa mengetuk pintu kamar berwarna putih di depannya berkali-kali, namun tak ada jawaban.

"Sasa, buka pintunya!" Raksa sedikit meninggikan suaranya, berharap Sasa mendengar.

"Apaan sih, Mas? Berisik banget!" Bukan suara Sasa yang menyahut, namun suara Rea yang terdengar seiring pintu berwarna pink kamar sebelah yang terbuka.

"Ck, Sasa mana?" Bukan menjawab, Raksa malah balik bertanya.

"Tuh," Rea menunjuk keberadaan Sasa dalam kamarnya dengan dagu.

Raksa berjalan menghampiri tempat di mana Rea berdiri, dan tak lama kemudian dari dalam kamar Rea muncul sosok gadis yang sudah hampir sebulan tak ia temui.

"Hai, Sa." Raksa tiba-tiba salah tingkah, menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Kenapa?" Biarpun Raksa adalah anak pemilik kos, tetap tak ada alasan bagi Sasa untuk beramah tamah dengan pria di depannya ini.

"Ini ... dari Mama." Raksa menyerahkan paper bag yang sedari tadi ia bawa ke hadapan Sasa.

"Mama? Bu Yuli?" Sasa mengernyit menerima paper bag pink itu.

"Mama kamu. Mama Ratih." Sasa seketika tersenyum menatap benda yang ada di tangannya ketika tahu paper bag itu pemberian dari sang mama.

Mendengar sebutan Raksa pada ibu sahabatnya, membuat mata Rea membola, "Mama? Tante Ratih? Sa, jangan bilang kamu sama Mas Dya udah....," ucapan Rea menggantung.

"Eh? Apaan sih, Re? Enggak ada ya kamu mikir macem-macem. Dia aja yang kepedean ikut-ikut panggil Mama." Sasa segera membantah ketika menyadari arah ucapan Rea.

Sedang Raksa hanya memberikan cengiran ketika Sasa melotot padanya serta berusaha memberikan penjelasan pada Rea.

Ah, kenapa hanya dengan melihat Sasa, membuat dirinya sedikit melupakan permasalahan bisnisnya belakangan ini. Inikah yang dinamakan cinta?

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro