6. Forced to be Strong
Kegiatan membaca Zemira terhenti sebentar ketika ia melirik Shaquille dan mendapati ekspresi tidak nyaman dari pemuda itu. Ia menurunkan buku bersampul biru ke atas meja, agar tidak ada penghalang antara dirinya dan Shaquille.
"Apa tehnya masih terlalu manis, Tuan?" tanya Zemira. Ia sudah mengantisipasi keluhan yang sama; teh yang terlalu manis untuk Shaquille pada kegiatan belajar ini—agar tidak sama seperti kejadian sebelumnya dengan mengurangi kadar gulanya. Namun, kejadian ini tetap saja masih terulang.
"Ya. Terlalu manis," jawab Shaquille.
"Padahal, saya sudah mengurangi kadar gulanya dari yang biasa Bibi Zoe berikan untuk Anda, Tuan Shaquille."
"Ah, mungkin ada yang mempengaruhi tehnya menjadi lebih manis dari biasanya," ucap Shaquille, yang memancing kerutan muncul di kening Zemira. Pemuda itu tersenyum tipis, kemudian menarik buku dari hadapan Zemira. "Kau sudah memiliki kekasih, tetapi otakmu bahkan terlalu lamban untuk memproses sesuatu, Zemira. Lupakan!" Shaquille melanjutkan.
Suaranya terdengar jengkel, membuat Zemira mulai menganalisa sikapnya. Ia merasa tidak mengatakan hal-hal aneh yang bisa menyinggung. Ketika kebingungan Zemira seolah tidak berujung, ia mendapati senyum dari Shaquille. Entah karena pemuda itu menemukan sesuatu yang lucu dari buku bacaannya, atau untuk alasan lain.
"Zemira, apa kau tahu? Aku kadang iri padamu."
Shaquille berujar lemah. Raut manisnya seketika berubah cepat menjadi lemas. Ia menutup buku secara asal, bahkan sebelum menuliskan informasi yang susah payah Zemira cari untuk kebutuhan tugas Shaquille.
Namun, Zemira tentu tidak memiliki keberanian untuk mengeluh. Sebaliknya, sebuah senyum menenangkan berusaha ia tunjukkan pada Shaquille. Pemuda itu mengulurkan sebelah tangannya ke atas meja untuk kemudian dijadikan bantalan kepala.
"Uh, tanganku rasanya mau lepas, Zemira. Aku rasanya ingin mati karena terus-menerus berhadapan dengan tugas-tugas sialan ini. Uh ... kau sangat beruntung tidak pernah menghadapi situasi yang sama sepertiku."
"Rasanya terlalu berlebihan jika Anda iri pada saya, Tuan," ucap Zemira. "Ini sudah hampir tiga jam. Saya harus membantu Bibi Zoe, jika Anda tidak lagi ingin mengerjakan tugas." Zemira berdiri dari kursi panjang tersebut, dan langsung membuat Shaquille ikut menegakkan punggungnya. "Sebaiknya Anda tidak berpikir untuk tidur di sini, Tuan." Zemira menyempatkan diri untuk memberikan saran sebelum kepergiannya.
"Apa maksudmu?"
Pertanyaan Shaquille terdengar hampir bersamaan dengan Zemira yang sudah mencapai pintu ruangan, dan membukanya. Menemukan keberadaan Nata yang tengah menggulung lengan kemeja.
"Menepi, Zemira. Anak itu ... tidak pernah sekalipun meringankan bebanku!" pinta Nata. Matanya yang menatap tajam ke arah Shaquille sudah menjadi isyarat bahwa ia tidak ingin dibantah oleh siapapun.
"Tuan Shaquille tidak bolos kuliah, Tuan," ucap Zemira dengan nada lirih serta kepala menunduk dalam, untuk menghindari amukan lelaki itu. "Tuan Shaquille ke kampus tadi pagi, lalu pulang tiga jam yang lalu."
"Kau tahu apa, Zemira? Dia tidak datang ke kampus sama sekali! Malah mendatangi tempat pelatihan futsal hingga siang. Anak itu ... tidak bisa membangun hobi positif selain bolos kuliah."
Zemira tidak lagi membantah. Ia memilih menepi untuk memberikan laki-laki itu ruang agar leluasa memasuki perpustakaan. Tidak perlu melihat ke belakang, Zemira sudah tahu apa yang akan Nata lakukan pada adiknya karena absen kuliah lagi hari ini. Zemira sudah melihat semua kejadian ini sebelumnya. Jadi, ia memilih meneruskan niatnya keluar dari ruangan, lalu menutup pintu dengan hati-hati.
Zemira menerima pemberian nampan berisi cangkir dari Zoe. Tanpa perlu diberitahu, ia sebenarnya sudah tahu untuk siapa kopi ini harus diberikan. Namun, ia tetap mendengarkan penjelasan dari Zoe.
"Itu untuk Tuan Nata. Beliau memintamu yang memberikan kopi itu secara langsung padanya," ucap Zoe. "Tuan Nata ada di belakang, dekat kolam renang."
"Baik, Bibi." Zemira menunjukkan senyum tipisnya, lalu meninggalkan dapur untuk mengantarkan kopi pada tuannya.
Sesaat setelah membuka pintu belakang, ia sudah bisa menemukan sosok laki-laki yang dibalut sweater hitam dan celana training dengan warna sama. Nata tampak sibuk dengan laptop di pangkuannya, jadi Zemira memelankan setiap gerakannya dalam menutup pintu agar konsentrasi tuannya tidak terganggu.
Namun, gagal. Nata sudah melihatnya tepat setelah pintu dirapatkan. Lelaki itu segera memperbaiki posisi duduknya dari memanjangkan kaki di atas kursi panjang, menjadi menurunkan kaki di lantai. Ia turut menghentikan kegiatan mengetiknya terlebih dahulu, hanya agar bisa memberikan tepukan pada bagian kosong di sampingnya; isyarat agar Zemira duduk di sana.
Gadis itu secara patuh duduk di samping Nata setelah meletakkan kopi di atas meja bulat tepat di samping lelaki itu. Ia meletakkan nampan di atas pahanya, sembari menatap lurus ke depan untuk menunggu tujuan dari panggilan Nata ini. Sesekali, Zemira mengetukkan jemarinya di atas nampan. Matanya kadang bergerak, dengan alis mengerut ringan. Ia tampak berusaha mengingat apa yang Nata ingin sampaikan saat ini, agar ia tidak melakukan kesalahan ketika menjawab sang tuan.
"Sepertinya aku sudah sering mengatakan kepadamu, untuk jangan mengganggu Shaquille belajar, Zemira," ucap Nata.
Gadis itu segera menoleh, tetapi tidak terlalu berani untuk menatap langsung tuannya. Sehingga, pandangan Zemira jatuh ke tangan Nata yang menggenggam erat pinggiran laptop. Lalu, menunduk.
"Saya hanya ingin membantu Tuan Shaquille menyelesaikan tugasnya, Tuan."
"Tetapi dia bahkan tidak mengerjakan apa pun selama bersama denganmu."
"S—saya tidak tahu mengenai hal itu. Saya hanya ingin memenuhi perintah dari Tuan Shaquille, Tuan."
"Tidak perlu mendengarkan kemauan anak itu." Nata mengurangi tingkat kesinisan dari suaranya, ketika ia mulai menarikan jemarinya di atas keyboard laptop. "Aku akan meminta Bibi Zoe untuk mengurus keperluan Shaquille. Kau tidak perlu mengurusnya seperti seorang bayi besar lagi."
"Tapi, sepertinya pekerjaan Bibi Zoe sudah cukup banyak jika harus mengurus Tuan Shaquille tanpa bantuan saya. Tidak masalah jika Tuan tidak mau saya mengganggu Tuan Shaquille. Saya hanya akan memenuhi keperluan Tuan Shaquille, tanpa mengganggunya belajar lagi," ucap Zemira, optimis. Ia melirik cemas pada Nata, yang ternyata melirik juga padanya meski dengan arti berbeda.
"Kau sepertinya lupa bahwa aku tidak suka ditentang, Zemira."
Ucapan Nata—meski dikeluarkan dengan nada tenang, tetapi berhasil membuat mata Zemira melebar sempurna. Gadis itu segera merunduk dalam sebagai tanda penyesalannya, sembari mengucap permohonan maaf. Namun, Nata sama sekali tidak menimpali, selain suara sesapan kopinya secara perlahan.
"Kau bisa pergi, Zemira."
Gadis itu menoleh sekali lagi usai sebuah titah dikeluarkan oleh Nata. Tidak ingin membuat sang tuan marah dua kali, ia segera berdiri. Memperbaiki sebentar lipatan rok selututnya, kemudian berlalu dari sana.
Seharusnya Zemira hanya perlu merasakan lega dan kesenangan karena ia kembali ke masa lalu untuk mengubah masa depannya. Namun ... yang ia dapati hanyalah kehampaan. Fakta bahwa tidak ada yang menyayanginya membuat setengah dari semangat hidup Zemira menguap begitu saja.
Bahkan, meski ia akan membalas semua orang-orang yang menyakitinya, tetap saja ... ketika Zemira sendiri, ia berpikir terlalu berat. Menyadari bahwa dirinya seorang diri di dunia ini. Ibu yang selalu ia hormati ... hanya memanfaatkannya. Adik yang selalu ia cintai sepenuh hati meski Zemira sendiri sering terluka karenanya ... mengkhianati Zemira. Lalu, kekasih yang ia pikir adalah jelmaan pangeran yang Tuhan kirimkan padanya ... ternyata menjadi sumber patah hati terbesar Zemira.
Gadis itu menunduk dalam. Ia menekan kedua matanya yang terpejam erat dengan telapak tangan, mencegah dirinya sendiri untuk menangis. Namun, bohong jika ia mengatakan bahwa ia sudah sembuh dari luka kemarin.
Tidak. Luka itu masih menganga di sudut hati Zemira, dan membuat gadis itu terus terpuruk dalam kesendiriannya.
Maka, Zemira menghapus paksa jejak-jejak basah dari wajahnya menggunakan lengan pakaiannya yang kasar. Ia menarik napas panjang guna melegakan hidungnya yang tersumbat. Gadis itu berdiri, demi bisa melihat bayangan dirinya sendiri yang begitu hancur di cermin. Meski telah memaksakan senyum membohongi diri sendiri, Zemira tetap tidak terhibur walau sedikitpun. Ia gagal membohongi hatinya, sehingga pilihan Zemira adalah mengalihkan perhatian agar tidak terlalu meratapi nasib.
Gadis itu meninggalkan kamarnya, meski ia masih punya dua puluh menit untuk beristirahat. Tepat setelah ia menutup pintu, sosok Zoe muncul di hadapannya dari arah dapur.
"Bibi membutuhkan sesuatu?" tanya Zemira, hendak menawarkan bantuan.
"Tidak." Zoe menjawab ringan. Namun, ia tidak langsung pergi. Wanita itu mengerutkan keningnya, sembari mengambil sebuah langkah untuk memperpendek jarak di antara mereka. "Kau menangis, Zemira? Apa kau sakit?"
Zemira menggelengkan kepalanya secara kasar, agar ia bisa membohongi wanita tua di hadapannya itu. Namun, Zoe yang berpengalaman selama puluhan tahun tentu saja dengan mudah membaca sikap Zemira. Zoe meletakkan tangannya di pinggang, dengan ekspresi jenuh.
"Aku sudah sangat mengenalmu, Zemira. Jangan mencoba untuk menipuku, karena itu percuma. Katakan padaku, mengapa kau menangis?" ucap Zoe. "Setidaknya, aku mungkin bisa memberikan nasehat untuk melegakan hatimu, jika aku tidak bisa membantu mengurai masalahmu."
Zemira sekali lagi menggeleng lemah. Ia menunduk dalam, demi menghindari analisa dari Zoe.
"Apa karena Tuan Nata memintamu menjauhi Tuan Shaquille?"
Gadis itu sontak menengadah, dengan alis mengerut dalam. Detik berikutnya, gelengan Zemira semakin keras sebagai penolakan tegas.
"Tentu saja bukan, Bibi. Untuk apa aku menangisi hal itu?" Zemira mengelak.
Zoe terkekeh ringan. "Aku hanya menebak. Kau dan Tuan Shaquille seperti teman, jadi kupikir kau patah hati karena perintah Tuan Nata. Karena jika demikian, aku mungkin bisa membujuk Tuan Nata agar bisa membuatmu kembali berinteraksi dengan Tuan Shaquille."
"Bibi, jangan berlebihan. Ini tidak ada urusannya dengan para tuan. Aku ... ini hanya masalah pribadi. Akan selesai seiring berjalannya waktu," kata Zemira, yang tidak lagi membuat Zoe menebak-nebak keadaannya. "Namun, untuk itu, aku perlu mengalihkan diri sejenak. Bibi Zoe ingin mengerjakan apa lagi? Biarkan aku menggantikanmu walau hari ini saja."
"Ah, apa kau mengejek diriku yang sudah tua ini, Zemira?" balas Zoe, yang tersenyum menggoda.
"T—tidak, Bibi. Tidak sama sekali. Aku tidak akan pernah bisa menggantikanmu. Namun, hari ini, kupikir aku akan sangat merasa buruk jika sendirian. Jadi, aku butuh ... sedikit pengalihan. Bekerja adalah pilihan terbaik. Itu akan membuat pikiranku sibuk."
"Baiklah."
Zemira tersenyum lebar atas keputusan Zoe.
"Tetapi kau punya waktu istirahat 20 menit lagi, Zemira. Mandilah, segarkan dirimu, lalu kau bisa lanjut bekerja. Jangan sampai kau sakit hanya karena sibuk mencari pengalihan."
"Bibi ...." Gadis itu merengek.
Zoe menggulung kertas di tangannya untuk dipukulkan pada lengan Zemira karena gemas.
"Telepon kekasihmu! Kau selalu membagi semua masalahmu dengannya, lalu keadaan hatimu akan berangsur membaik. Mengapa tidak melakukan hal itu saja?"
Zemira membeku sesaat mendengar saran dari Zoe. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa sumber patah hatinya sekarang, sebagian besar dikarenakan Atlas. Lagipula, ia kembali ke masa lalu. Tidak mungkin membahas kejadian yang akan Zemira lewati di masa depan sekarang ini.
"A—Atlas sibuk sore ini. Ia hanya punya waktu luang malam nanti." Zemira menjawab lemah. Namun, ia segera mengembalikan antusiasnya sebelum Zoe memotong ucapannya. "Tolong, Bibi. Berikan aku pekerjaan sekarang."
"Baiklah, jika kau memaksa." Zoe melirik jam tangannya terlebih dahulu dengan alis mengerut. "Kau bisa ke halaman belakang. Bantu yang lain untuk merapikan halaman. Seharusnya ini dilakukan besok, tetapi karena kau memaksa ...."
Zemira dengan bersemangat mengangguki ucapan Zoe, dan hendak mengikuti perintah tersebut. Namun, kakinya terhenti sejenak karena dering ponsel dari kamarnya. Ia hendak abai, tetapi Zoe menahan tangannya.
"Mengapa tidak mengeceknya? Mungkin itu Atlas yang bisa merasakan kegelisahan hatimu," ucap Zoe. Ia turut menaik-turunkan alisnya menggoda Zemira.
Gadis itu merasa segan menolak Zoe. Sehingga ia memaksakan segaris senyum untuk wanita di hadapannya terebut sebelum masuk ke kamar. Ponsel dari atas tempat tidur samping bantal ia pungut secara paksa. Hanya perlu melihat sekilas, ia sudah tahu bahwa ibunya yang menelepon. Zemira tahu, bahwa wanita itu tidak akan berhenti mengganggu sebelum kemauannya terpenuhi; mengirimkan uang. Zemira sekarang dilema, antara menolaknya lagi secara tegas yang bisa saja membuat Nora terluka, dan jujur saja Zemira segan untuk melakukan itu karena teringat sedikit kebaikan Nora padanya.
Namun, bukankah Zemira hanya akan menderita dengan sakit hatinya jika memenuhi kemauan ibunya? Ia sudah cukup tersakiti karena fakta bahwa tidak ada yang peduli pada hidup Zemira, apalagi jika ditambah beban bahwa ia harus memenuhi semua kemauan dari Nora demi keegoisan Zafira.
Untuk satu ini, Zemira merasa iri. Bahwa Zafira bisa dengan ringannya egois pada apa pun yang ia mau. Sementara Zemira ... selalu lemah oleh perasaannya sendiri.
Dan, di kesempatan kedua ini, Zemira tidak boleh lemah perasaan lagi seperti sebelumnya. Kebaikan Nora akan Zemira ganti, tentu saja dengan menghormati wanita itu, dan tetap membantu memenuhi kebutuhannya. Namun, Zemira tetap harus menjaga hatinya dengan mempertahankan hak-haknya sendiri.
Jadi, ia memilih mengangkat telepon, untuk dijepit di antara telinga dan bahunya ketika Zemira keluar kamar. Setelah itu, barulah ia memegang ponsel dengan tangannya.
"Kau belum mengirim uangnya, Zemira?" tanya Nora, bahkan tanpa ada sapaan walau sekadar basa-basi.
"Apa Zafira ingin bekerja di sini? Aku bisa merekomendasikan dia pada kepala pelayan—"
"Zemira! Kau tahu sendiri, Zafira lemah. Ia tidak sekuat dirimu. Kau sebagai seorang kakak, sudah seharusnya memenuhi semua kemauan adikmu!"
"Aku juga lemah pada awalnya, Bu, maka dari itu kau mengangkatku sebagai anak. Jika aku kuat sedari lahir, tentu aku akan hidup sendiri. Kekuatan itu dilatih, bukan datang sendiri, Bu. Aku yakin, Zafira tidak akan sekarat bekerja di sini."
"Zemira ...."
"Aku tidak punya sisa uang, Bu. Sisa uang dari yang kuberikan padamu, sudah pas untuk segala kebutuhanku di sini hingga gajian nanti."
"Kau!" Nora membentak, dan itu cukup untuk membuat langkah Zemira terhenti karena terkejut. "Mengapa kau membuatku merasa ... menyesal sudah membesarkanmu, Zemira?" Suara Nora sedikit melemah, tetapi tetap saja ... ucapannya mengirimkan sengatan sakit di dada kiri Zemira.
"Aku tetap mengirimkan uang untuk kebutuhan Ibu, tenang saja. Namun, jika itu hanya untuk keinginan Zafira, aku tidak bisa, Bu. Aku akan melatihnya untuk menjadi kuat, seperti yang Ibu ajarkan padaku."
"Demi Tuhan, Zemira! Kau membuatku sakit kepala karena sikap angkuhmu ini!"
"Zafira setidaknya tidak akan mengalami tekanan mencari pekerjaan, karena aku sudah menemukan pekerjaan untuknya. Tinggal bekerja saja, Bu. Bukankah itu lebih mudah? Dengan uang yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri, Zafira bisa membeli apa pun yang ia inginkan. Ibu tidak perlu mengemis padaku seperti sekarang ini."
"Me—ngemis katamu?"
Zemira langsung meneguk ludah secara kasar. Sepertinya, ia sudah berlebihan, tetapi ... ucapannya sudah terlanjur keluar.
"Kau ... sialan! Aku sungguh menyesal sudah memungutmu!"
Zemira hendak mengatakan maaf atas ucapannya yang berlebihan. Sungguh, Zemira ... merasa sakit hati hingga ia kehilangan kontrol atas ucapannya sendiri. Namun, terlambat. Sambungan telah diputuskan secara sepihak oleh Nora. Sekarang, rasa bersalah menyelimuti Zemira, hingga ia tidak bisa mengangkat kakinya untuk meneruskan perjalanan.
Ketika ia tersesat dalam perasaan gelisah itu, ponselnya kembali berdering. Ia begitu bersemangat menggeser icon hijau, tetapi bukan suara Nora terdengar. Suara maskulin yang dahulunya begitu dirindukan Zemira, kini menyapa gadis itu.
"Apa kau sibuk, Zemira? Kutahu tidak, karena ini waktumu istirahat, 'kan? Uh, aku merasa bangga karena sudah hafal dengan baik semua jadwalmu, sehingga aku tidak akan mengganggumu seperti kemarin-kemarin."
Seruan bersemangat Atlas ditanggapi dengan ekspresi malas dari Zemira, meski lawan bicara tidak bisa melihatnya.
"Ada apa kau menelpon sekarang?" tanya Zemira, sembari meneruskan perjalanannya. Ia memilih mengambil selang dari salah satu tukang bersih halaman, untuk menyiram tanaman. Karena hanya ini yang bisa dikerjakan dengan satu tangan
"Kau baik-baik saja? Suaramu terdengar ... tidak acuh. Apa terjadi sesuatu yang buruk, Zemira?"
Gadis itu merotasi bola matanya sekali karena jenuh, tetapi tidak ia ungkapkan secara langsung.
"Aku sedang dalam perjalanan pulang, jadi kupikir aku ingin mengabaikan kepadatan jalan raya dengan meneleponmu, sembari membahas masa depan kita," lanjut Atlas.
Masa depan? Zemira merasa tergelitik karena kata itu, hingga ia mendengkus geli. Padahal, pria itu sendiri yang akan merusak masa depan mereka, sementara sekarang, ia ingin membangunnya? Namun, Zemira menahan diri untuk tidak mengatakan hal tersebut.
"Aku ingin membahas mengenai pembangunan—"
"Aku akan mengirimkan uang pembangunannya, Atlas," ucap Zemira memotong cepat perkataan Atlas. Mimiknya berubah serius, ketika ia menatap kosong pada tanaman berbunga merah muda di hadapannya. "Entah mengapa, aku tiba-tiba saja merasa tidak nyaman karena suatu hal. Aku mendadak ... berubah pikiran."
"Berubah pikiran mengenai apa? Desain rumahnya? Kita masih bisa mengubahnya—"
"Bukan desain, Atlas. Lebih dari itu." Zemira menipiskan bibirnya membentuk seringai. "Aku ingin ... rumah itu atas namaku."
Ini bukan tentang sekadar mengubah nama, tetapi juga mengubah masa depan Zemira.
To Be Continued...
Kalian nggak mau tinggalkan sepatah-kata nasehat, petuah, atau kalimat bijaksana buat mereka-mereka ini?
Zemira
Atau, mau sampaikan sesuatu ke Tuan Shaquille?
Kalau Tuan Nata, komen aku cuman : so hot, so hot🤤🤤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro