
5. Happy Ending
Bagaimana bisa?
Pertanyaan itu selalu menghampiri ketika Zemira dalam kesendirian. Terhitung dua hari setelah dari rumah ibunya, ia masih belum menemukan jawaban mengenai apa yang terjadi saat ini. Keraguan seringkali memenuhi benak Zemira saat ia menatap kosong ke depan, demi menggali ingatan ketika ia berdiri di tebing, lalu melompat ke laut bebas yang kemudian mengambil alih kesadarannya.
Bagaimana bisa, tubuh lemahnya bisa kembali utuh tanpa luka, dan ... seperti ia mengulang masa lalu?
Ini mustahil! Kejadian ini ditolak tegas oleh pemikiran logisnya, tetapi ... ia memilih menatap ke atas, pada langit gelap dengan hamburan bintang-bintang yang bersinar cerah. Napasnya berembus kasar, ketika ia mencoba tersenyum tipis. Matanya ikut memejam perlahan.
Ketika Zemira berpikir bahwa dirinya tidak ada yang memedulikan, tetapi ternyata salah.
Tuhan bahkan mendukungnya sekarang ini, dengan membawa Zemira ke masa lalu untuk memperbaiki takdir hidupnya lagi.
"Apa yang kau lakukan di sini, Zemira?"
Membuka mata, Zemira turut menoleh ke sisi kanannya, ke sumber suara berasal. Nata. Pria dalam balutan kemeja itu tampaknya baru pulang bekerja. Bahkan, Zemira bisa melihat jasnya masih tersampir di salah satu lengan, menandakan bahwa ia belum menyempatkan diri untuk beristirahat di dalam ruangan, tetapi sudah datang ke halaman samping rumah.
Zemira menipiskan senyumnya, sekadar untuk terlihat ramah. Ia mengubah posisinya menghadap pada keberadaan Nata. Seketika, Zemira merasakan familier dengan suasana kali ini. Ia tetap berdiri di tempat, sementara keningnya mulai mengerut ketika sebuah ingatan muncul di otaknya.
"Tuan, sebaiknya Anda jangan ke sini." Zemira memberi peringatan, sembari ia mengambil beberapa langkah ke depan.
Nata menghentikan langkah, dengan raut bingung kentara. Ia baru saja akan bertanya lebih lanjut mengenai ucapan aneh gadis itu, tetapi jawaban dari maksud Zemira telah muncul depan matanya. Ketika cairan jatuh dari atas, tepat di bagian samping Zemira berdiri tadi. Pria itu mendongak ke atas, bersama Zemira; untuk melihat bahwa Kai tengah berada di jendela kamarnya, dan menjadi sumber cairan muntahan itu keluar.
"Sialan, Kai! Apa kau tidak bisa berhenti minum satu malam saja? Aku akan mencekikmu jika kau membawa perempuan jalang lagi ke rumah!" teriak Nata, memaki. Namun, tentu saja itu percuma. Adiknya itu sudah terlalu mabuk untuk memahami kemarahan Nata. Maka, Nata hanya bisa menghela napas kasar, lalu melirik Zemira dengan tatap lega. "Beruntung kau mengatakannya tepat waktu, jika tidak ...." Ucapan Nata menggantung, ketika ia mengerutkan kening lebih dalam dari sebelumnya. "Dari mana kau tahu bahwa Kai akan muntah di ... tempat itu?" Ia menatap bingung pada tempat muntahan itu berada. Tepat di samping Zemira berdiri sebelumnya, yang seandainya gadis itu tidak memberikan peringatan, Nata tentu akan berdiri di sana, dan menjadi sasaran muntahan menjijikan dari sang adik.
Ditanyai seperti itu, Zemira tidak bisa menjawabnya secara langsung. Ia tentu akan mendapatkan predikat 'gila' jika seandainya memberitahu Nata bahwa ... ia kembali ke masa lalu setelah melompat ke laut. Karena sikap diamnya itu, Nata semakin menunjukkan raut menuntut. Zemira terus menghindar dengan menunduk dalam.
"Itu ...." Zemira terlebih dahulu meneguk ludah, demi melancarkan tenggorokannya sebelum mengeluarkan cerita karangannya. "Hanya menebak, Tuan." Ia menengadah, sembari tersenyum tipis untuk meyakinkan Nata. "Kita berdiri terlalu dekat di dinding, sementara di atas sana adalah kamar Tuan Kai. Seperti biasa, Tuan Kai selalu pulang dalam keadaan mabuk, dan tidak jarang muntah. Jadi ... saya sedikit bisa memprediksinya." Zemira menunduk lagi, memejam kuat, berharap bahwa alasan berbelitnya ini bisa diterima oleh Nata.
"Baiklah." Nata menyetujui alasan Zemira. "Masuk ke dalam, Zemira. Cuaca malam ini cukup dingin. Aku tidak ingin Bibi Zoe kerepotan esok pagi, hanya karena kau sakit."
Pria itu memutar tubuhnya membelakangi Zemira. Punggung tegapnya menjadi objek pandangan gadis itu selama beberapa saat, sampai ia menunduk dan memutus tatapnya pada pria itu.
Zemira menengadah pada jendela kamar Kai yang masih terbuka. Menatap kosong ke sana.
Tentu saja, ia bisa menebak apa yang akan terjadi, karena ... kejadian ini sudah pernah ia lalui. Namun, dengan akhir yang berbeda. Nata dalam kejadian sebelumnya tidak selamat dari muntahan Kai.
Zemira menghela napas. Tersenyum tipis, lalu melangkah mengikuti kepergian Nata tadi.
Rasanya masih aneh bagi Zemira. Ketika ia terbangun, lalu menatap jemarinya sendiri. Ia masih ... takjub dengan apa yang terjadi. Namun, Zemira langsung menggeleng kasar.
Ini adalah anugerah! Tuhan langsung yang mendukungnya untuk mengubah nasib Zemira sekarang. Maka, ia harus memanfaatkan hal ini sebaik mungkin. Ia tidak boleh sebodoh kemarin, hingga menjadi sasaran empuk orang-orang yang memanfaatkannya!
Penuh semangat, Zemira bangun seperti biasa, di waktu yang sama. Mengambil handuk, untuk ia bawa ke kamar mandi. Membersihkan tubuh seperti biasa, bersiap seperti hari-hari sebelumnya. Lalu ke dapur untuk membantu Zoe mengecek sarapan pagi ini.
Seperti biasa.
Zemira tersenyum hangat pada Zoe, meski rekannya itu hanya menoleh sebentar. Zemira berdiri di samping Zoe yang tampak serius membuka beberapa penutup makanan. Ketelitiannya mengecek setiap mangkuk berisi lauk terlihat jelas, dari bagaimana Zoe mengerutkan kening.
"Sebaiknya tidak membuat sarapan sebanyak biasanya, Bibi. Tuan Kai dan Tuan Nata kemungkinan tidak akan sarapan hari ini."
Namun, Zemira langsung membekap mulutnya sendiri usai mengatakan hal itu. Ia hampir memukul kepalanya sendiri, tetapi urung saat Zoe langsung menoleh padanya.
"Kenapa? Apa Tuan Nata atau Tuan Kai mengatakan sesuatu?" tanya Zoe.
"T-tidak. Aku hanya menebak. Ketika kesal pada Tuan Kai, Tuan Nata akan memberikan beban pekerjaan yang lebih banyak untuk adiknya, sampai lupa sarapan karena buru-buru berangkat ke kantor. Jadi, ya ...." Zemira menggantung ucapannya, demi menilik ekspresi Zoe. Berharap, bahwa wanita yang lebih tua darinya itu bisa menerima alasan dari Zemira.
"Entah mereka sarapan atau tidak, tugas kita hanyalah memastikan semua sarapan tersaji sempurna, Zemira. Lagipula, sarapan sudah selesai dibuat. Mau bagaimana lagi?" Zoe mengangkat bahunya tidak acuh. Ia sempatkan tersenyum tipis pada Zemira, lalu kembali fokus pada kegiatan pengecekannya.
Zemira juga turut mengangguki ucapan Zoe. Ia membawa mangkuk-mangkuk yang telah dicek oleh Zoe untuk dibawa ke meja makan. Napasnya berembus panjang. Ia sepertinya harus berlatih mengendalikan diri, agar tidak mudah mengatakan sesuatu yang bisa saja membuat orang lain curiga padanya.
"Kau sepertinya sudah sangat mengenali Tuan Nata dan Tuan Kai, Zemira."
"Hanya mengamati, Bibi, dan itu tidak terlalu sulit untuk diingat," ucap Zemira.
"Kau benar juga. Ah, aku sepertinya sudah terlalu tua dan pelupa untuk mengingat kebiasaan mereka."
Zemira hanya bisa tersenyum kaku menanggapi tanggapan Zoe. Ia tidak lagi membuka topik, karena takut jika ia kehilangan kontrol diri, dan mengatakan sesuatu yang aneh lagi. Hanya perlu diam, dan menjawab secukupnya pertanyaan basa-basi dari Zoe. Namun, suasana tenang itu segera terganggu saat dering ponsel terdengar. Milik Zemira.
Seketika, gadis itu memejam erat. Menyesal karena membawa benda pipih ini bersamanya, padahal ... tidak ada orang yang akan menghubunginya kecuali untuk memanfaatkannya saja. Memikirkan hal itu, napas Zemira menderu kasar. Ia hendak mengabaikan ponselnya.
"Mengapa tidak mengangkatnya, Zemira?"
Ucapan Zoe membuat Zemira yang tengah menata lauk di atas meja langsung berhenti bergerak.
"Bukan hal yang penting," jawab Zemira. Ia menunduk dalam, selama beberapa saat, lalu mencoba tidak acuh. Ia memusatkan fokusnya pada kegiatan menata piring di atas meja. "Ibuku hanya ingin mengobrol sesuatu yang tidak penting. Jadi, tidak masalah jika aku tidak mengangkatnya," lanjut Zemira memperjelas jawabannya tadi.
"Tetapi sepertinya penting, Zemira. Ponselmu tidak berhenti berdering." Zoe datang menyusul membawa lauk lain, meletakkannya di atas meja. Ketika Zemira akan mengambilnya untuk ditata, Zoe memukul pelan tangannya. Sekadar membuat Zemira memundurkan tangan dari piring. "Menepilah, dan angkat teleponmu. Ini bisa kuselesaikan. Kau tidak seharusnya mengabaikan telepon dari ibumu. Meski itu mungkin panggilan yang tidak penting, setidaknya angkat walau sebentar agar ibumu lega mendengar suaramu."
Zemira menunduk dalam. Ia berusaha mencegah dirinya untuk mengatakan bahwa ibunya menelepon hanya untuk meminta uang lagi. Namun, karena Zemira juga tidak punya alasan untuk membantah Zoe, maka ia menurut saja. Lagipula, suara ponselnya tentu akan mengganggu suasana.
Pada awalnya, niat gadis itu adalah mematikan panggilan, lalu me-non-aktifkan ponsel agar ia tidak lagi diganggu. Namun, Zemira melakukan hal yang sebaliknya. Menggeser icon hijau sebelum menempelkan layar pada telinga kanannya. Sembari itu, ia melangkah keluar dari dapur untuk mencari tempat sepi agar tidak ada yang tahu permasalahannya dengan Nora.
"Mengapa lama sekali mengangkat teleponnya, Zemira?"
Bahkan, Zemira tidak mendapatkan sapaan yang sedikit sopan dari wanita yang selalu ia panggil 'ibu' itu. Ia menghela napas berat terlebih dahulu guna menenangkan dan meyakinkan diri sendiri, lalu menjawab pertanyaan ibunya barusan.
"Aku sedang bekerja, Ibu. Aku bukan Zafira yang punya 24 jam waktu luang."
"Kau bisa mengapit ponselmu dengan bahu dan telinga sembari bekerja, atau menggunakan headset. Jangan gunakan alasan bodoh seperti itu! Kau tampaknya mulai membangkang padaku, Zemira. Apa kau pikir, kau langsung besar begitu saja? Tidak! Aku menggunakan uangku, keringatku, dan kesabaranku untuk membesarkanmu! Kau bahkan tidak bisa menghargaiku sedikit saja, walau sekadar mengangkat telepon dengan cepat!"
"Untuk itukah Ibu menelepon? Untuk meminta bayaran atas pengorbanan Ibu padaku selama ini?"
"Sebenarnya apa maksudmu, Zemira? Aku benar-benar bingung dengan perubahan sikapmu sekarang ini. Kau ... sudah tidak mengenal sopan-santun ketika berbicara dengan ibumu ini. Aku tidak meminta pembayaran apa pun atas semua yang kulakukan padamu dulu. Aku hanya ingin agar kau sedikit berbagi untuk adikmu yang sekarang ini marah, karena kau tidak memberikan gaunmu kemarin. Dia sekarang menuntut untuk membeli gaun baru. Salahkan dirimu yang terlalu pelit untuk adikmu sendiri."
"Dia sudah cukup dewasa untuk mendapatkan uang dari tangannya sendiri, Bu."
"Zemira ...."
"Aku sangat sibuk pagi ini, Bu. Jika Zafira membutuhkan uang, aku mungkin bisa mengajukannya untuk bekerja di sini bersamaku."
"Zem-"
Nama Zemira belum sempat diucapkan dengan sempurna, tetapi ia sudah mematikan sambungan terlebih dahulu. Zemira menatap sendu pada layar ponsel yang menampilkan riwayat panggilan, lalu menatap lurus ke depan. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kemenangan, meski ada sedikit rasa tidak nyaman di sudut hatinya karena telah menolak wanita yang selalu ia hormati.
Namun, hanya dengan cara ini Zemira bisa menjaga hatinya tetap utuh, agar ia tidak terluka dua kali.
Mematikan ponselnya sebelum dimasukkan ke dalam saku, Zemira kembali ke dapur. Di sana, ia mengintip meja makan yang hanya diisi oleh Shaquille-anggota termuda dari keluarga Flarion.
"Dugaanmu benar, Zemira. Tuan Nata tidak membiarkan Tuan Kai sarapan sebelum berangkat." Zoe tiba-tiba saja berbisik.
Zemira berbalik, mendapati Zoe yang berjarak kurang satu meter darinya; tengah melirik ke ruang makan.
"Kau sangat tepat memprediksi sesuatu, Zemira." Zoe menambahkan, "Kita akan makan banyak pagi ini. Mengapa kau tampak lesu? Kau seharusnya bersemangat! Apa ibumu mengatakan hal buruk?"
Zemira menipiskan bibir, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada masalah, Bibi." Ia kembali membelakangi Zoe demi melihat bagaimana lahapnya Shaquille menyantap makanannya. "Aku hanya ... merasa sangat senang. Terlalu senang, hingga ... aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya."
"Kau terdengar aneh." Zoe menanggapi dengan kekehan geli. "Kemari, ikut makan bersamaku." Ia akan meraih tangan Zemira, tetapi urung karena Zemira menoleh padanya.
"Bibi makan saja lebih dulu. Aku akan menyusul nanti," ucap Zemira. Mengabaikan kebingungan dari Zoe, ia berjalan menuju ruang makan setelah Shaquille menyelesaikan kegiatan sarapannya.
"Zemira. Kebetulan sekali kau ada di sini. Aku sepertinya kehilangan buku catatanku di perpustakaan. Bantu aku menemukannya, ya?"
Zemira mengangguki ucapan Shaquille, karena itu adalah perintah, bukan permintaan. Ia menunggu sebentar Shaquille mengenakan tas punggungnya, lalu mengekori tuan muda itu.
Tiba di perpustakaan, Zemira mengikuti Shaquille mencari-cari buku catatan yang dimaksud. Seingatnya, buku itu tidak akan ditemukan di sini. Keberadaan buku itu tidak pernah Zemira ketahui hingga peristiwa ia melompat ke laut lepas. Namun, bagaimana mengatakan pada Shaquille bahwa ini hanya akan berakhir sia-sia? Zemira takut jika sikapnya semakin mencurigakan, tetapi jika tidak dikatakan, ia akan menghabiskan beberapa puluh menit di sini, menyusuri puluhan rak dengan berbagai jenis buku ini tanpa membuahkan hasil.
"Anda yakin meninggalkan buku itu di sini, Tuan?" tanya Zemira, sembari mengecek di sekitar kursi panjang di mana Shaquille biasa duduk untuk mengerjakan tugasnya, atau sekadar tidur karena malas, tetapi terlalu takut menghadapi amukan dari kakaknya.
"Aku memang jarang ke sini, Zemira, tetapi aku ingat bahwa buku itu terakhir kali ada di sini," sanggah Shaquille.
Zemira tidak lagi bisa membantah. Ia memilih pasrah, mengecek semua sudut ruangan untuk sekadar membuat dirinya terlihat sibuk. Ia tetap mencari-cari, hingga puluhan menit berlalu.
"Uh, jika tidak bisa kutemukan, maka aku harus membuat tugasnya lagi, Zemira. Nata tidak akan membiarkanku tenang sebelum tugas itu kuselesaikan," gerutu Shaquille sembari duduk di kursi. Ekspresinya tampak lesu, ketika Zemira melirik padanya. "Apa kau bisa membantuku menyelesaikan tugas nanti, Zemira? Aku akan melewatkan waktu futsalku siang ini jika kau ingin membantu."
"Tetapi, saya bahkan tidak mengerti tugas kuliah Anda, Tuan Shaquille," ucap Zemira.
"Tidak masalah. Kau hanya perlu membantuku seperlunya; menyiapkan camilan, teh, atau sekadar membantuku mencari informasi dari buku. Itu sudah cukup."
Zemira hendak menolak permintaan Shaquille barusan, tetapi si tuan muda sudah berdiri dari kursinya. Untuk yang satu ini, Zemira tidak bisa mengubahnya.
"Aku akan pulang lebih awal siang nanti. Kau harus membantuku, oke? Aku harus berangkat sekarang. Sudah terlalu terlambat untuk berangkat. Sampai jumpa siang nanti, Zemira!" seru Shaquille, kemudian berlalu dari ruangan ini. Senyumnya yang cerah menutup obrolan mereka pagi ini.
Zemira meletakkan tangannya di pinggang, sembari melirik kepergian Shaquille hingga menghilang dari pandangan. Sedikit mengeluh pada si tuan muda yang bahkan ia anggap seperti anak kecil itu. Zemira sedikitpun tidak diizinkan untuk menjawab pamitan Shaquille tadi, jadi, ia tidak berharap banyak bisa membantah keinginan si tuan muda.
Keinginan Zemira adalah kembali ke dapur untuk sarapan, tetapi urung ketika ia melangkah dan melewati sebuah rak buku. Ia memperhatikan deretan rak dengan kening mengerut tipis. Puluhan rak ini menampung ribuan buku berbagai jenis. Dari fiksi, ilmu pengetahuan, hingga sejarah.
Zemira sedikit ragu, tetapi ia mendekati salah satu rak untuk menyusuri deretan buku yang berjejer rapi. Ia penasaran, apa kejadian seperti yang ia alami saat ini belum pernah terjadi sebelumnya? Apa ia seberuntung itu, hingga Tuhan hanya mengizinkan Zemira seorang untuk ... menulis ulang takdirnya?
Dari rak sejarah, ilmu pengetahuan, buku biografi ... tidak ada satu pun judul yang sesuai dengan pencarian Zemira. Berpindah ke deretan buku fiksi, dongeng, fabel-untuk masa kecil para majikan Zemira. Buku-buku ini hampir tidak pernah tersentuh, setelah Shaquille remaja.
Namun, dari salah satu buku dari rak ini, Zemira menemukan sesuatu. Sebuah buku fiksi, tentang kisah seseorang yang kembali ke masa lalu.
Zemira membacanya. Dahulu, ia sangat mengharapkan happy ending dari kisahnya setelah bertemu pria yang ia anggap sebagai pangerannya; Atlas, tetapi pada akhirnya ia disakiti oleh realita bahwa pria itu malah berkhianat. Maka, Zemira mulai membenci dongeng. Terlalu sakit setelah berharap terlalu tinggi, lalu dilemparkan ke dasar jurang realita.
Namun, sekarang ia ingin mempercayainya.
Bahwa kali ini, ia bisa menciptakan happy ending untuk hidupnya sendiri.
To Be Continued...
Kalau kamu punya anugerah kayak Zemira, kamu bakalan seneng, atau kecewa; karena sama aja kamu remedial ujian hidup? 😏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro