Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Next Problem

Efek gemetar setelah kejadian beberapa waktu lalu masih tersisa di tangan Zemira. Gadis itu tengah menunduk dengan pandangan kosong. Membiarkan pikirannya berkelana jauh ke peristiwa di dalam mobil saat penculikannya. Sementara jemarinya saling meremas di pangkuan.

"Apa tidak ada satu kesempatan lagi, Zemira? Sungguh, aku bersumpah atas nyawaku sendiri, bahkan atas orang tuaku, bahwa aku tidak akan pernah lagi berpaling darimu. Aku ingin memperbaiki kesalahanku, tolong .... Kau harus memberiku satu kesempatan atas kekhilafanku."

Begitulah ucapan Atlas saat itu, terdengar begitu putus asa, dan hampir memicu nurani Zemira untuk memaafkan, andai ia tidak lupa betapa kejam pengkhianatan mantan kekasihnya tersebut.

"Setiap saat, kita masih saling menghubungi, Atlas. Kita masih bisa bertemu walau tidak sering selama kau menjalin hubungan dengan adikku. Kenapa kau tidak bisa menggunakan akal sehatmu untuk memikirkan hal ini sebelumnya, hah? Bahkan setelah semua hal manis telah kita lalui, kau masih saja bisa bercinta dengan adikku di rumah yang akan kita tempati? Kenapa kau baru menyesal sekarang?"

"Aku tidak sadar, Zemira, sungguh. Zafira terus menggodaku." Atlas terus menjelaskan, begitu putus asa, penuh permohonan, dan terdengar mengiba.

"Tidak akan terjadi sebuah perselingkuhan jika hanya diinginkan satu pihak, Atlas. Zafira mengejarmu, itu kebodohannya. Namun kau bisa memilih terus mengabaikannya, bahkan bisa melapor padaku, tetapi ... kau memilih untuk membalas tawarannya dan berselingkuh di belakangku! Katakan, Atlas, bagaimana aku bisa memberimu maaf? Bagaimana caranya, hah?"

"Zemira, tolong ...." Atlas menyugar dengan sangat frustrasi, lalu memaki kasar saat tangannya ikut memukul stir mobil. "Satu kesempatan saja, Zemira. Satu. Aku bersumpah demi apa pun, demi segala-galanya, bahwa aku, tidak akan pernah berpaling darimu. Bahkan, aku siap jika harus tidak menatap wanita lebih dari lima detik, asal kau memberiku kesempatan. Kumohon ... aku tidak mau berpisah denganmu." Suara Atlas menunjukkan betapa kacau perasaannya, kadang tegas, lalu di akhir kalimat ia akan mengubahnya menjadi sangat lirih.

Zemira hampir luluh, tetapi tidak akan ia lakukan hal itu. Ia balas menatap Atlas yang berada di hadapannya melalui spion tengah.

"Kesempatan yang aku berikan padamu bukan hanya satu, Atlas, tetapi setiap hari yang kau lalui bersama Zafira di belakangku, adalah kesempatanmu untuk memikirkan setiap tindakanmu. Kau bukan anak kecil yang tidak tahu mana salah, dan mana benar. Kau sudah dewasa, dan kau tidak perlu melakukan kesalahan untuk mendapatkan pelajaran dasar tentang efek dari perselingkuhan. Aku tidak bisa—aa ...."

Zemira memekik ketika kepalanya terkantuk jendela setelah Atlas menambahkan kecepatannya di sebuah belokan. Ia hampir jatuh, seandainya kedua kaki tidak bertahan dengan kuat.

"Kenapa kau tidak paham, Zemira? Aku memang bodoh kemarin, aku tidak sadar! Sekarang aku sudah sadar, dan aku bersumpah padamu, bahkan bersedia bersujud di depanmu asal kau mau memaafkanku!" Kali ini, hanya ada ketegasan dalam setiap kalimat yang Atlas katakan. Rahangnya mengetat sempurna, dengan tatap yang menajam saat bertemu pandang pada Zemira. Ia sempat melihat Zemira ingin membuka mulut membalas, tetapi segera dicegah. "Jika kau tidak ingin memberiku kesempatan dengan cara lembut, maka aku akan mengambilnya sendiri. Kau tidak akan kubiarkan dimiliki siapapun kecuali diriku sendiri  Rumah kita hanya bisa ditempati oleh kita berdua, bukan hanya salah satu, jadi aku tidak lagi memberimu kesempatan untuk memilih!"

"Atlas! Dengan sifat pemaksamu ini, aku bukan hanya semakin kehilangan rasa padamu, tapi juga semakin membencimu!"

"Silakan, asal aku bisa bersamamu selamanya, Zemira." Atlas menanggapi dengan senyum miring yang tampak mengerikan, membuat Zemira semakin menyudutkan posisi duduknya.

"Atlas, aku ... aku bisa memaafkanmu, Atlas ...." Zemira mencoba bernegosiasi lagi, dengan suara yang lebih lembut demi mengundang empati dari mantan kekasihnya itu. Berharap, bahwa manusia yang seperti dirasuki setan ini bisa memiliki sedikit kesadaran untuk berpikir.

Atlas menoleh sebentar, seolah ingin memastikan pendengarannya barusan. Lalu fokus pada jalanan, sembari sesekali melirik spion tengah. Zemira sedikit lega, sebab kecepatan mobil berangsur berkurang. Atlas mungkin menyetujui kalimat negoisasi tadi.

"Jika kau menurunkan aku di sini sekarang, aku akan memaafkanmu, Atlas. Sungguh."

"Kau mau jadi kekasihku lagi?"

Zemira langsung menggeleng. "Tidak perlu jadi kekasih, Atlas. Kita bisa jadi teman, dengan hubungan persahabatan yang baik."

"Tidak!" tolak Atlas tegas. "Aku hanya ingin kau menjadi kekasihku. Entah kau menyukainya atau tidak."

"Atlas!" Zemira yang semakin muak dengan sikap Atlas memekik kuat.

Zemira susah payah memeras otak untuk menghasilkan ide agar bisa kabur, tetapi tidak ada. Tatapnya berubah nanar, ketika mulai memasuki area rumah yang seharusnya menjadi tempat mereka memiliki kehidupan membahagiakan di masa depan, tetapi kini malah berubah menjadi rumah suram karena perbuatan dan sikap Atlas saat ini.

Zemira mengepalkan tangan begitu kuat, ketika sekarang gilirannya yang harus dibantu turun oleh Atlas. Matanya bergerak-gerak, mencari sesuatu untuk menyelamatkan diri. Tendangan dari flat shoes-nya mungkin bisa membantu. Ya, Zemira mengangguki ide tersebut. Mengalah bukanlah pilihan saat ini, karena ia masih bisa berjuang sebisa mungkin agar terbebas dari penahanan Atlas.

Namun, terdengar seruan Atlas yang seperti tidak ditujukan padanya membuat Zemira langsung mendongak. Memeriksa sekitar, dan mendapati fakta bahwa sekarang ada orang lain di sini, tengah menyeret paksa Atlas dan membuatnya tersungkur. Membuat Zemira hanya melihat sebuah sosok tinggi menjulang penuh amarah, menatap lurus padanya.

Zemira membeku, dengan mulut membuka lebar menyaksikan lelaki itu—lagi—yang berdiri gagah membantunya mengurusi Atlas tanpa peduli bahwa ia beberapa kali terkena balas pukulan dari lawannya. Detak keras di dalam dada kirinya mengetuk pikiran Zemira.

Sudah berapa kali lelaki itu menolongnya?

Bahkan sekarang ini, ketika Zemira tersadar dari lamunannya dan melihat betapa sibuknya Kai mengurus hukuman setimpal untuk Atlas di kantor polisi, Zemira tergugah.

Kai sudah menolongnya berkali-kali, dan Zemira tidak tahu harus memberi apa yang setimpal dengan semua kebaikan tuannya ini.

Atau mungkin sudah.

Ketika Kai menyadari dirinya diperhatikan, ia menoleh untuk mempertemukan tatapnya dengan Zemira, mengirimkan detak yang lebih kuat pada gadis itu. Semakin menyadarkan Zemira pada fakta satu ini, dan gadis itu tidak akan mengelak lagi.

Bahwa Zemira sudah memberikan hatinya untuk tuan malaikat penolongnya ini.

🌹

Zemira tidak langsung meneruskan langkah usai keluar dari mobil Kai. Tertegun, karena melihat Nata tengah berdiri di pertengahan pintu yang terbuka lebar, seolah menanti untuk menginterogasi mereka. Zemira yang kebingungan, hendak melepaskan jas Kai agar tidak memicu pertanyaan beruntun dari tuannya tersebut, tetapi Kai begitu sigap mencegah dengan menyentuh pundak gadis itu.

Dituntun dan diyakinkan oleh Kai, Zemira akhirnya memberanikan diri untuk mulai melangkah, berjalan ke arah samping rumah, tetapi seruan Nata mencegah.

"Aku bukan patung di sini!" kata Nata tegas. "Kalian berdua, ke sini."

Kai hendak abai, berpikir bahwa Zemira butuh ketenangan sekarang, tetapi gadis itu mencegah. Tidak ingin ada masalah tambahan setelah membuat tuannya ini babak belur lagi.

"Tuan," bisik Zemira lirih. Ia menyiratkan harapan agar Kai tidak membantah sekarang, sebab, masalah dengan Nata akan jauh lebih rumit dibanding pada Atlas.

Jadilah, Kai menuruti kemauan Zemira. Lagi pula, setelah mengurus Atlas, masalah Nata jauh lebih mudah diatasi.

Mereka berbalik, kali ini mengarahkan langkah menuju posisi Nata berada. Si sulung langsung memasang sikap angkuh, dengan wajah tidak suka pada Kai yang menempelkan tangan di pundak Zemira.

"Kau membawa Zemira ke mana?" tanya Nata, sembari memukul tangan Kai yang menurutnya itu kurang ajar. "Apa kau pikir, dengan meminjamkan Zemira jas, kau akan terlihat romantis?"

Nata hanya butuh sekali tarik, dan jas yang melapisi pakaian Zemira langsung jatuh. Gadis itu buru-buru memungutnya, untuk dikembalikan pada Kai. Sementara Nata sama sekali tidak menampilkan rasa bersalah, malah semakin dingin ketika ia memasukkan sebelah tangan ke saku celana.

"Apa juga ini?" Nata mendorong wajah Kai ke kanan-kiri, karena menemukan lebam-lebam di beberapa bagian di sana. "Berkelahi? Malam ini? Kau meninggalkan pesta hanya untuk bersenang-senang lalu membuat keributan—entah apa—di luaran sana? Dan kau, Zemira, sebagai orang kepercayaanku, malah menurutinya?"

"Tuan." Zemira mencoba menjelaskan semuanya, tetapi Kai mencegah.

"Kau kembali ke kamarmu, Zemira. Kau butuh istirahat," saran Kai.

"Belum aku izinkan!" ucap Nata menginterupsi dengan tegas. "Kenapa pertanyaanku tidak ada satu pun yang terjawab? Kalian dari mana?"

"Ada sedikit masalah di luar, Tuan, dan ini karena saya, jadi Tuan Kai terlibat. Maafkan saya. Tuan Kai hanya membantu, sama sekali tidak memiliki niatan untuk menciptakan masalah."

"Kau tidak perlu menjawabnya, Zemira." Kai berdecak malas, melihat betapa semena-menanya Nata pada mereka sekarang ini. "Apakah pestamu kacau karena kami tidak ada? Apa ada masalah yang muncul selama kami menghilang? Tidak ada? Maka, kami tidak punya urusan apa pun denganmu! Kami juga tidak punya kewajiban menjawab pertanyaanmu."

"Kau semakin membangkang rupanya, Kai—"

Sinyal bahaya dari dua tuannya itu membuat Zemira buru-buru maju untuk menengahi mereka.

"Maafkan Tuan Kai, Tuan. Tuan Kai sangat lelah sekarang, karena sudah membantu saya. Dia bahkan luka karena ... berkelahi dengan Atlas." Zemira memelankan suaranya nyaris tidak terdengar di akhir kalimat, sebab menyebutkan nama mantan kekasihnya. "Sebagai gantinya, tanyakan pada saya, Tuan. Anda bisa bertanya atau memberikan hukuman apa pun pada saya, karena sudah membuat Tuan Kai tidak fokus pada acara."

"Mantanmu itu masih mengganggumu, Zemira?" Kali ini, Nata jauh lebih melunak. Tumitnya berputar, sedikit berotasi untuk bertemu hadap dengan Zemira. Ia memeriksa Zemira dengan memegang kedua pundak gadis itu. "Kau tidak apa-apa? Apa kau terluka? Di mana laki-laki itu sekarang, aku akan membawanya ke kantor polisi."

"Saya tidak apa-apa, Tuan," jawab Zemira, sembari melirik pada Kai di belakangnya. Tidak lupa memamerkan segaris senyum untuk Nata agar semakin meyakinkan sang tuan. "Anda tidak perlu khawatir, Tuan Kai sudah mengurus semuanya."

Kali ini, tatap sinis Nata langsung mengarah lurus pada sang adik. Bibirnya menipis ketat, menunjukkan permusuhan kentara.

"Kau tidak perlu repot-repot lagi, Nata, aku sudah membersihkan sampah bernama Atlas hingga akar-akarnya. Dia tidak akan mengganggu Zemira lagi dalam waktu yang lama," kata Kai yang terdengar tenang, tetapi tanpa Zemira ketahui, lelaki itu memamerkan segaris senyum tipis yang menyiratkan kemenangan. "Zemira syok karena diculik, jadi biarkan dia istirahat malam ini. Jika kau peduli dengannya, kau harus dengarkan aku kali ini."

Nata memalingkan wajah penuh amarahnya ke arah lain, lalu melepaskan pundak Zemira. Ia mengibaskan tangan sebagai isyarat izin agar gadis itu berlalu, tetapi Kai yang hendak menyusul, tidak dibiarkan pergi begitu saja.

Mereka saling perang tatap pada awalnya, selama beberapa menit, sampai Zemira sudah hilang dari pandangan. Nata lalu maju, untuk memperkuat aura mengintimidasinya.

"Jadi, sekarang kau benar-benar ingin menantangku, Kai?" Nata berbicara dengan penuh penekanan, sampai menekan kuat gigi-giginya. "Jika kau hanya ingin menjadikan Zemira sebagai salah satu list dari korbanmu, maka menjauhlah! Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi."

"Menantang apa?" balas Kai seolah kebingungan. "Kalau yang kau maksud adalah menyelamatkan Zemira, memang seharusnya sesama manusia saling membantu, 'kan? Atau, sifat pesimismu mulai muncul, dan sekarang kau mulai merasa tersaingi, Nata?"

Kai melewati tubuh kakaknya tanpa segan sama sekali, dan Nata yang melihat itu hanya bisa memejam kuat mencegah amarah menguasainya.

"Kenapa kau tidak memberitahuku? Aku bisa, bahkan lebih baik dalam mengatasi masalah Zemira."

"Entahlah. Kenapa hanya aku yang diberitahu? Padahal kupikir ... kau juga akan diberitahu masalah Zemira setelah kau secara terang-terangan mengumumkan pendekatanmu pada Zemira."

"Apa maksudmu sebenarnya, Kai?" Nata yang semakin jengkel, mencegah sang adik melangkah terlalu jauh. Ia menahan lengan Kai, dan memaksa pria itu untuk berbalik sepenuhnya. "Katakan, apa yang sebenarnya ingin kau katakan, sialan!"

Kai membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian, ia merapatkan bibir dan menyisakan segaris senyum. "Lihat, dan perhatikan saja, Nata. Kau akan mengerti nanti."

"Kau ingin bermain-main denganku, Kai?" Nata tidak bisa tinggal diam atas jawaban yang menurutnya menjengkelkan itu. Kai berhasil menyindir egonya secara tepat.

Tangan Nata dalam sekejap mengepal begitu kuat, pun tatapnya begitu cepat berubah nyalang. Senyum miring Kai sama sekali tidak membantu memadamkan kemarahan dari kakaknya, karena malah semakin menampilkan kesan mengejek.

"Kenapa aku lebih dipercaya dalam membantu Zemira? Ya, karena kau selama ini tidak pernah membantunya, Nata. Kau hanya selalu memberikan beban untuknya, dan membuat hidup Zemira tertekan. Kau sama sekali tidak bisa ... diandalkan untuk Zemira."

Konflik langsung pecah usai kalimat tersebut dikeluarkan Kai dengan suara yang amat tenang. Kepalan tangan si sulung segera mendarat di tulang pipi Kai, memicu sang adik jatuh hingga menabrak sofa.

Lebam merah tercipta dengan mudah dari hasil bogeman mentah sang kakak. Kai sempat meringis, tetapi senyum menyeringai segera menguasai bibirnya. Kai juga berhenti menyentuh bekas lukanya.

"Kenapa?" tanya Kai, sembari berdiri tegap. Ujung pakaiannya dientak kuat, begitu santai berhadapan dengan Nata yang sudah dipenuhi emosi. "Kau mulai merasa tersaingi olehku, 'kan?"

Pukulan kedua diberikan oleh Nata, tetapi kali ini, berhasil ditahan oleh Kai dengan mudah. Kai menarik telapak tangan Nata, kemudian mendaratkan sikutnya di bawah rusuk sang kakak. Memicu geraman sakit yang cukup kuat, dan memancing banyak pasang mata berdatangan.

Perang antar saudara pecah untuk pertama kalinya, karena memperebutkan perempuan yang sama.

Belajar dari pertahanan Kai tadi, Nata begitu sigap menangkap kepalan tangan sang adik, menekuk sikunya hingga posisi Nata membelakangi Kai. Sekali membungkuk, tubuh si tuan kedua langsung meluncur melewati punggung Nata, mendarat di sofa.

Tidak membiarkan Kai bangkit, Nata mencengkeram erat kerah kemeja Kai, memaksanya untuk bangkit, dan melayangkan beberapa tinju di wajah sang adik. Hampir kalap, karena tantangan yang sudah diberikan Kai barusan.

Tidak ingin menyerah, Kai mencoba menggapai dan menyerang kakaknya, walau perbedaan sisa tenaga dan kemampuan di antara mereka begitu jauh. Nata bisa dengan mudah mematahkan semua serangan Kai.

"Kau berani denganku, sialan? Kau lupa siapa diriku, hah? Akan aku ingatkan lagi, dengan siapa kau sedang berurusan sekarang!"

Nata terus menghujani Kai pukulan, sesekali tendangan yang menyebabkan adik tengahnya itu semakin lemas. Sementara banyaknya pasang mata dari para pelayan yang masih berkemas setelah pesta, hanya bisa menyaksikan dalam ketakutan. Belum ada yang berani menghentikan Nata menyelesaikan aksinya pada siapapun.

Hanya pernah dihentikan oleh Zemira, sehingga karena itu, seorang pelayan berlari tergopoh-gopoh mendatangi kamar si pelayan kesayangan.

"Zemira!"

Perempuan yang baru dipanggil itu belum melakukan apa pun di dalam kamarnya, dan bergegas membuka pintu untuk mengecek keadaan apa yang membuat suara rekannya begitu terburu-buru.

"Ada apa?" tanya Zemira penasaran.

"Tuan ... Tuan Nata dan Tuan Kai ...." Kalimat si pelayan pemberi informasi belum selesai, ketika Zemira bergegas menuju bangunan utama.

Feeling-nya memang buruk sedari tadi, setelah pertemuan dengan dua tuannya tidak memiliki akhir yang melegakan.

Zemira terus berlari tanpa henti, melawan sesak yang menghampiri dadanya, hanya demi bisa mengetahui masalah secara pasti dengan mata kepala sendiri. Ia baru menghentikan ayunan kakinya setelah tiba di ruang tengah, dan menyaksikan semua kekacauan yang ditimbulkan dari dua pria dewasa di depan sana.

Sofa bergeser jauh dari tempatnya, pun meja kaca. Beberapa vas pecah, dan yang paling buruk ... lebam di wajah Kai bertambah tiga kali lipat, sementara Nata juga tidak luput dari hiasan merah gelap itu.

Zemira tidak bisa tinggal diam. Matanya memanas campuran amarah dan kekhawatiran melihat dua tuannya melupakan hubungan kekeluargaan, dan menjadi beringas seperti ini. Ia mengepalkan tangan begitu kuat, bersiap berteriak.

"NATA! KAI! BERHENTI!"

Namun, sebuah suara bariton berat sudah menggema kuat memenuhi seluruh sudut ruangan, memancing semua pasang mata mengarah ke sumbernya—sepasang suami-istri berusia setengah abad lebih yang menatap syok ke arah dua putra mereka.

Semuanya membeku di tempat, pun pergerakan Nata dan Kai. Si sulung segera berbenah pakaian, sementara Kai berusaha menegakkan postur berdirinya, dan pelayan lain—terutama Zemira—membungkuk segan pada majikan mereka.

"Apa ini?" Deana—ibu ketiga tuan muda—bertanya dengan nada melengking tinggi, dan buru-buru menghampiri kedua putranya penuh rasa khawatir.

"Ya Tuhan ... apa yang sudah kalian lakukan?" pekik Deana, sembari menilai tampilan si anak kedua, kemudian menuntut jawaban pada Nata.

"Hanya memberikan hukuman, Ma." Nata menjawab santai, sama sekali tidak merasa bersalah. "Dia selalu membangkang dan menantang semua yang aku perintahkan! Dia memang sudah sepantasnya mendapatkan itu!"

"Wo-ho! Memang kau siapa, yang selalu mengatur dengan siapa Zemira dekat? Kau bukan kekasihnya! Maka, aku tidak memiliki larangan apa pun untuk mendekatinya," balas Kai, sama sekali tidak menurunkan ego pada sang kakak walau orang tua mereka tengah menjadi penonton.

"Kau hanya ingin menjadikan Zemira salah satu korbanmu, dan aku tidak suka dia terluka karenamu, berengsek!"

Nata yang mudah terpancing emosi sekarang ini, bersiap untuk melayangkan tinju lagi, tetapi Deana buru-buru mendorong si sulung untuk menjauh.

"Zemira?" Sementara Arsenio yang hanya menyimak sedari tadi, menyebut nama topik pertengkaran ini dengan nada bingung. Sontak memancing semua pasang mata beralih pada si pelayan istimewa. "Maksud kalian, Zemira pelayan ini?"

Sekarang, Arsenio-Deana beralih menunggu jawaban dari kedua putra mereka. Jika Nata begitu tenangnya memberikan anggukan pengiyaan, maka Kai hanya melirik geli pada sang kakak.

"Kalian memperebutkan Zemira?" Deana memperjelas masalah ini. "Nata?" Namun, pusatnya lebih ke si sulung ketimbang pada Kai yang sudah diketahui jelas tabiatnya.

"Aku hanya ingin melindungi Zemira dari segala bahaya, Ma, termasuk semua jenis pria berengsek seperti Kai. Tapi, dia selalu saja punya celah untuk mendekati Zemira, dan ini akan berbahaya untuk gadis itu karena kemungkinan gagal menjaga hati dari si playboy."

"Kau bahkan tidak peduli kami datang terlambat, dan seenaknya menyelesaikan pesta tanpa kehadiran kami, tetapi kau terlalu memedulikan dengan siapa Zemira dekat? Kau baik-baik saja, Nak?" tanya Deana, kali ini memicing dengan senyum geli. "Kau menyukainya?"

Nata tidak menjawab, malah memalingkan wajah ke arah lain, dan kesempatan itu digunakan Kai untuk angkat suara.

"Nata tidak cocok untuk Zemira, Ma. Dia tidak bisa memperlakukan wanita sebagaimana mestinya."

"Ah, kau meniduri wanita sembarangan lalu meninggalkannya begitu saja—kau pikir sudah memperlakukan wanita sebagaimana mestinya?"

"Sudah! Selesai!" ucap Deana tegas. "Semua bubar!"

Mencegah perdebatan dan perkelahian lebih lanjut, Deana buru-buru melerai sembari melirik ke suaminya. Arsenio yang mengerti, mengambil alih Nata, sementara Deana membawa Kai untuk berobat.

Sementara Zemira, hanya bisa mematung di tempat. Merasakan gelisah menguasainya ketika semua orang mulai meninggalkan tempat ini tanpa lupa meninggalkan tatap campur aduk pada Zemira: takjub, merendahkan, bangga, dan sedikit marah.

Hingga semua sudah pergi, menyisakan gadis itu yang masih belum bisa mengangkat kaki. Dirinya gemetar hebat, karena merasa bersalah sekaligus takut sudah membuat dua saudara saling melukai. Helaan napasnya berulang kali terdengar panjang, menunjukkan betapa risau dirinya sekarang.

Namun, terlalu lama di bangunan utama bukan penyelesaian masalah. Zemira harus pergi, jadi ia memutar tubuh. Kakinya baru terangkat, ketika ia mendapati seseorang baru saja tiba di depannya, sehingga Zemira kembali berdiri di tempat semula.

"Anda membutuhkan sesuatu, Tuan Shaquille?"

Pemuda itu tampak bimbang sementara waktu, kadang ia hendak maju—sudah mencondongkan tubuh ke depan—tetapi kembali lagi ke posisi semula. Shaquille menggeleng, entah untuk alasan apa. Mungkin menolak gagasan yang ada di kepalanya saat ini: menenangkan Zemira dengan pelukan. Itu bukan solusi, tetapi penambahan masalah.

"Kau istirahat," kata Shaquille lembut. "Apa yang terjadi hari ini, bukan salahmu. Memang kami saja yang tidak bisa akur sejak kecil, dan salahnya mereka karena menjadikanmu topik pertengkaran kali ini. Jadi, tidak perlu dipikirkan. Kau istirahat saja, dan masalah ini akan membaik besok."

Mungkin ucapan Shaquille setengah benar, dan tidak sepenuhnya bisa berhasil menenangkan Zemira dari perasaan bersalah. Namun ... Zemira benar-benar tersentuh dengan ucapan sederhana itu, menipiskan bibir, dan mengangguk cepat pada Shaquille sebelum meninggalkan tempat ini.

To Be Continued...
Next, Putrie-W


Hayuklah gelud, dah biasa gelud😌

Oke, gasskeun

Yang OTW kena masalah ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro