Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Revenge (a)

"Terima kasih karena sudah bersedia mengikuti rencanaku, Paman, Bibi."

"Ah, tentu saja kami bersedia, Zemira. Bibi juga ingin melihat wajah ceria Atlas setelah dia merasa kesal karena mengira tidak bisa berkencan denganmu."

Zemira tergelak pelan, berpura-pura bahagia.

"Seharusnya kami yang menjemputmu, Zemira. Untuk apa repot-repot membayar taksi?"

"Kalau kita pergi dengan mobil Bibi, jika Atlas melihatnya, bisa-bisa dia langsung mengenali dan berhasil menebak bahwa kita datang untuk memberi kejutan."

Ibu Atlas mengangguk paham pada rencana Zemira, ia juga menatap calon menantunya dengan senang karena bersedia menyiapkan kue dah hadiah untuk Atlas. Gadis itu kembali terdiam, menatap jalanan yang ramai dengan perasaan tidak terdeskripsikan.

"Nanti biar Paman saja yang membayar taksinya, Zemira."

"Tidak perlu, Paman. Aku sudah membayarnya di awal. Aku sudah berlangganan menggunakan jasanya untuk ke mana-mana, jadi aku terkadang memberikan uang lewat rekening."

Ketika Zemira terpuruk di hari ia mengetahui pengkhianatan itu, si sopir-lah satu-satunya orang yang bersedia menanyakan kabar Zemira. Tidak hanya itu, Zemira juga masih ingat bahwa pria yang sudah berumur lebih dari 50 tahun itu sempat menawarkan diri menunggu sampai Zemira selesai menenangkan pikiran. Untuk semua kebaikan si sopir, Zemira jadi lebih sering melebihkan bayaran seharusnya, bahkan sampai meminta nomor rekening demi antisipasi saat Zemira tidak membawa uang tunai.

Rasa terima kasih dan berharganya ia ketika sang sopir bertanya keadaannya saat itulah yang membuat Zemira berbuat lebih baik lagi.

"Oh, begitu. Baiklah. Bagaimana rencana pernikahan kalian? Apakah sudah mulai mencari informasi gedung dan lain-lainnya, Zemira?"

Zemira sempat tersentak selama beberapa detik atas pertanyaan ayah Atlas. Ia memandang punggung pria yang duduk di bangku depan dengan sedikit rasa bersalah. Beberapa bulan sebelum ini, orang tua Atlas sangat senang begitu mendengar Zemira setuju atas lamaran Atlas. Mereka juga sudah menyanggupi akan membantu dalam semua hal untuk pernikahan Zemira nanti, termasuk ikut membangun rumah itu. Selama ini hubungan Zemira dan kedua orang tua Atlas tidaklah buruk. Hal itulah yang sedikit Zemira sayangkan karena sebentar lagi ia harus mempertontonkan sifat putra mereka yang sebenarnya dan membuat pasangan suami istri itu terluka.

"Kami belum membahasnya lagi, Paman. Aku rasa kami perlu beberapa waktu lagi untuk mengumpulkan uang."

"Paman sudah bilang, jangan pikirkan tentang itu. Paman dan bibimu punya cukup simpanan jika kalian ingin segera menikah. Walau tidak mewah, setidaknya kami bisa memberikanmu pernikahan yang layak."

Tanpa terasa air mata Zemira jatuh. Ia terharu sekaligus sedih karena harus mengecewakan hati yang tidak bersalah, begitu juga dengan ia yang merasa tidak beruntung karena gagal mendapatkan mertua sebaik itu.

"Astaga. Kau sampai menangis, Zemira. Keringkan wajahmu. Jangan sampai riasanmu berantakan dan Atlas menuduh kami sudah berbuat sesuatu padamu."

Mendengar ucapan wanita di sampingnya, Zemira berusaha menghentikan air matanya. Ia juga menerima tisu dari sang bibi dan berusaha menenangkan gejolak dalam dirinya. Rasa haus akan kasih sayang orang tua membuat Zemira sensitif pada banyak hal. Ia sangat senang diterima oleh orang tua Atlas, tetapi di sisi lain ia tahu tidak akan bisa menghabiskan waktu lagi dengan orang-orang yang ia panggil paman dan bibi.

"Maaf. Aku terbawa suasana. Paman dan Bibi sangat baik padaku. Betapa beruntungnya aku jika memiliki orang tua seperti kalian."

"Sayang, kami sudah menjadi orang tuamu. Tidak perlu sungkan, ya?"

Tubuh Zemira didekap, rambutnya dibelai penuh sayang. Zemira membalas pelukan yang mungkin tidak akan pernah bisa ia lakukan lagi. Di momen ini, Zemira berusaha merekam senyuman sepasang suami istri itu sebaik yang ia bisa. Kenangan hari ini setidaknya akan Zemira ingat bahwa pertemuan dengan Atlas tidak seluruhnya buruk. Sedikitnya Zemira dikenalkan pada orang-orang yang menyayanginya, juga tidak menghakiminya ketika tahu tentang latar keluarga Zemira. Yang membuat Zemira jarang berkunjung setelah hidup kembali adalah sakitnya perpisahan ketika cinta semakin dalam. Ia sangat sering diminta untuk datang, tetapi Zemira menolak dengan berbagai alasan. Ia ingin menciptakan jarak sebelum ia yang terkoyak parah ketika harus merelakan kebersamaan yang tak abadi itu.

Semakin dekat dengan tempat yang ia tuju, semakin berdebar pula dada Zemira. Ia harus beberapa kali mengatur napas karena dadanya terasa sesak. Saat ini Zemira sedang bertaruh dengan kebebasan hidupnya. Jika rencana ini berhasil, setidaknya Zemira tinggal melanjutkan hidup dengan benar tanpa terikat oleh orang-orang berwajah dua.

Dan akhirnya taksi berhenti di depan rumah itu. Zemira tidak langsung turun, ia teringat kehidupan lalu di mana ia menjadi hancur setelah mendapati kenyataan kekasih dan adiknya berselingkuh. Gadis itu menengadah sejenak, lalu membuang napas perlahan. Kali ini situasinya nyaris sama, tetapi tentu saja dengan akhir yang berbeda.

"Ayo, Zemira, turunlah."

"Ah, sebentar lagi, Bibi."

Zemira menatap kotak hadiah yang berisi jam tangan dengan merek idaman Atlas. Ia menghabiskan cukup banyak uang untuk ini dan Zemira merasa tidak menyesal karena sudah mendapatkannya sebuah rumah sebagai gantinya.

"Nak, kau butuh sesuatu?"

"Ah, tidak, Pak. Saya akan segera turun."

"Nak, saya akan ada di sekitar sini untuk beberapa jam. Jika kau butuh diantar, hubungi saya saja."

Zemira tidak berniat pergi dari rumah itu dengan taksi yang sama nantinya. Namun, seolah-olah Tuhan memang merancang kejadian yang nyaris sama dengan masa lalu. Terbersit pertanyaan di benak Zemira apakah pada akhirnya takdir yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Gadis itu menggeleng, sejenak goyah atas kesimpulannya sendiri. Ia memang tidak bisa melawan kehendak Tuhan, tetapi Zemira yakin Tuhan pun ingin melihat Zemira berusaha.

"Kalau begitu, saya pasti akan menghubungi Bapak. Tidak lebih dari dua jam lagi."

"Baik, Nak."

Pijakan pertama Zemira yang mendekatkan dirinya pada puncak tragedi hari ini diwarnai getar. Pijakan kedua, ia mulai tegak. Yang ketiga dan selanjutnya hingga tiba di depan pintu rumah, ia sudah menjadi gadis yang dipenuhi tekad tidak tergoyahkan.

"Atlas pasti sangat terkejut," kata sang Ibu dengan senyum semringah.

"Tentu saja, Bibi," Zemira membalas dengan senyuman penuh di saat jarinya sedang menekan sandi rumah.

Bersamaan dengan pintu yang terbuka, embusan angin beberapa detik lalu seakan-akan menyambut Zemira yang memasuki ruang tamu. Gadis itu menatap kosong pada sofa yang mungkin saja sebenarnya banyak bekas tanda percintaan Atlas dan Zafira.

"Apakah dia masih tidur?"

"Bisa jadi, Paman. Ayo, kita ke lantai atas."

Ketiga orang itu menaiki tangga dengan perlahan. Sepanjang dinding yang mengarah ke lantai atas, ada foto-foto dirinya dan Atlas. Zemira penasaran bagaimana reaksi Zafira. Dan tentu saja Zemira mengatur itu untuk membuat sang adik kesal.

Tiba di anak tangga teratas, sekilas Zemira menatap ke bawah. Rumah berlantai dua, tetapi tidak terlalu luas itu sama dengan di masa lalu. Bedanya, kali ini Zemira berada di atas untuk mempermalukan para pengkhianat, bukan merusak barang-barang di kamar seperti orang yang tidak waras.

"Bagaimana kalau kita buka pintunya sekarang?" Ibu Atlas berbisik dengan tatapan semangat.

"Bukalah, Bibi. Biar aku yang memegang kuenya."

"Buka saja, Sayang."

"Aku sangat menantikan reaksi putraku."

Aku juga sangat menantikannya. Satu, dua, tiga, hitung Zemira dalam hati.

"Demi Tuhan, Atlas! Apa yang kau lakukan?!"

Teriakan wanita itu adalah awal sebelum badai besar datang.

"Anak kurang ajar! Turun kau!"

Ibu Atlas seketika menangis dan suaminya menarik sang putra yang tengah berada di atas tubuh seorang gadis. Atlas dan Zafira panik karena tidak berpakaian sama sekali.

"Apa yang kau lakukan, hah?! Kau berselingkuh?! Tidak tahu malu!"

Satu tamparan mendarat di pipi Atlas, sedangkan seorang wanita menutup matanya sambil menangis. Sang ibu tidak sanggup melihat putranya yang begitu memalukan.

"Kau! Bukankah kau mengaku sebagai teman anakku?! Tapi kenapa kau malah menggoyang ranjang bersamanya?! Memalukan!"

Zafira menutupi tubuhnya dengan selimut. Bibirnya bergetar bahkan sebelum ia mengeluarkan sepatah kata pun.

Atlas yang tadinya hanya menunduk, sangat terkejut begitu menaikkan pandangan. Ada Zemira yang berdiri di ambang pintu dengan wajah berlinang air mata. Di tangannya, ada sebuah kue dengan lilin yang menyala.

"Zemira, kumohon, aku bisa menjelaskannya."

"Bahwa kau sedang berselingkuh dengan adikku sendiri?" tanya Zemira sedih.

Kalimat dari Zemira menambah kemurkaan ayah Atlas. Pria itu mendorong sang anak dan menyuruhnya segera memakai pakaian, lantas ia memboyong sang istri dan Zemira ke lantai bawah.

Gadis itu menangis, bahkan terisak-isak, padahal hatinya tidak lagi terluka parah atas pemandangan tadi. Ia sudah bosan melihat hal serupa lewat foto-foto dan hasil pengamatan langsung. Dan air matanya berhasil keluar hanya karena mengingat semua rasa sakit di kehidupan masa lalunya.

Mereka semua berkumpul di ruang tamu. Zafira mulanya tidak muncul, tetapi ayah Atlas pergi ke lantai atas lalu menyeretnya untuk turun. Tangan Zemira terus digenggam oleh ibu Atlas, begitu juga Zemira yang menggenggam balik karena merasa orang wanita di sampingnya butuh dukungan yang sama.

"Memalukan. Benar-benar memalukan," ayah Atlas membuka percakapan, "Ayah sangat kecewa. Inikah alasanmu cepat-cepat pindah kemari, Atlas? Agar kau bisa bebas berselingkuh? Kekasihmu menyiapkan kejutan dan kau malah meniduri adiknya? Kau bahkan pernah membawanya ke rumah. Ya Tuhan. Bagaimana bisa aku gagal mendidikmu seperti ini?"

Pria itu sangat kecewa, tidak henti-hentinya ia memijat pelipis.

"Ayah, maafkan aku. Aku hanya sedang tergoda sesaat."

"Tergoda sesaat? Sampai kau membawanya ke rumah yang akan kau tinggali dengan istrimu nanti lalu kalian melakukan dosa itu?! Kau sangat memalukan, Atlas!"

"Zemira, kau mengerti aku, bukan? Kau tahu aku sangat mencintaimu, bukan? Kau percaya aku, bukan? Aku hanya sedang lupa diri. Maafkan aku, Zemira." Atlas berharap banyak atas diamnya Zemira sejak tadi.

Zafira yang duduk di samping Atlas menatap laki-laki itu dengan perasaan malu dan marah, seolah-olah hanya dirinya yang bersalah.

"Kau menyuruhku percaya?" Zemira tidak bisa melanjutkan kalimatnya sesaat. "Kau menyuruhku percaya di saat aku melihat langsung perbuatanmu?! Apa arti cincin yang kau berikan, Atlas?! Lalu apa arti rencana-rencana indah untuk masa depan kita?! Kau menghancurkan segalanya demi bersama dengan adikku, Atlas!"

Intonasi Zemira meninggi, disusul dengan isak tangisnya yang juga kian pecah. Ayah Atlas memeluk gadis di sampingnya dan menepuk-nepuk punggung gadis itu, turut merasakan kekecewaan yang Zemira hadapi.

"Aku tidak menyangka kalian akan mengkhianatiku seperti ini! Aku datang dan berharap bisa membuatmu senang hari ini. Tapi apa yang kau lakukan, Atlas?! Kenapa kau malah meniduri Zafira?! Kenapa?! Karena dia lebih cantik dariku?! Kau sudah bosan denganku?! Seharusnya kau mengatakan kekuranganku, bukannya mencari gadis lain!"

Sandiwara ini sangat melelahkan, tetapi Zemira tidak punya pilihan selain menguras tenaga dan air matanya demi pertunjukan yang sempurna.

"Tidak, Zemira, bukan begitu. Di-dia yang menggodaku duluan!"

"Kau menyalahkanku, Atlas?! Kau juga bersalah!"

"Diamlah, Zafira! Ini semua memang karena kau yang tidak mau mengakhiri hubungan kita!"

"Kau—"

"Cukup! Kalian sangat menjijikkan. Lihat, Zemira benar-benar terluka karena perbuatan kalian."

"Tapi aku juga terluka, Paman! Aku tidak sepenuhnya bersalah! Mereka belum menikah dan Atlas masih bebas mencari gadis lain!"

"Kau!" Atlas mencengkeram lengan Zafira. "Bisakah mulutmu itu berhenti bicara?! Kau semakin membuat keadaan kacau!"

Ibu Atlas sejak tadi hanya menangis, ia sungguh kehilangan kata-kata. Namun, begitu bel pintu rumah itu berbunyi, perhatian semua orang jadi teralihkan, kecuali Zemira. Walau sedikit terlambat, tetapi Zemira lega orang yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Drama yang ia ciptakan akan semakin menarik.

"Biar kulihat siapa yang datang."

Tidak ada stau pun yang berhasil menebak siapa yang datang, bahkan ketika pintu sudah dibuka, ayah Atlas masih harus bertanya siapakah wanita dan pria di hadapannya.

"Ibu? Ayah?" Zemira mendekati pintu dan kembali memulai permainan.

Gadis itu berpura-pura terkejut melihat kedatangan orang tuanya, padahal ia sendiri yang menyewa mobil dan seorang sopir untuk menjemput Nora dengan dalih putri mereka ingin bicara dan memberikan uang sebagai tanda permintaan maaf.

"Zemira, mereka ayah dan ibumu?"

"Ya, Paman."

Nora dan Arvan kebingungan, apalagi melihat Zafira yang tengah menangis. Mereka jadi tidak sempat membahas mengapa sopir mengantar mereka ke sana di mana ada banyak orang yang berkumpul.

"Apa-apaan ini? Kalian apakan putriku?"

Wanita itu menerobos masuk dan memeluk Zafira.

"Oh, jadi kau adalah ibunya? Putrimu baru saja tidur dengan putraku yang merupakan kekasih dari putrimu yang lain."

Nora mulai cemas karena Zafira ketahuan di hadapan banyak orang. Ia tahu harus membela putrinya dan membuat nama Zafira terselamatkan.

"Dia itu hanya anak angkat. Kenapa kalian harus membuat putriku menangis? Biarkan saja para anak muda ini mengurusi permasalahannya sendiri-sendiri."

"Karena aku anak pungut jadi Ibu tidak menganggapku dan membiarkan Zafira terus bersama Atlas selama ini? Kalian mengetahuinya dan tidak menghentikan Zafira? Padahal aku kira Ibu akan membelaku sedikit saja. Lalu untuk apa lagi aku menutup mata dari kebusukan Zafira?"

Semua orang menatap Zemira yang sedang berjalan menuju tasnya di sofa. Ia mengeluarkan sebuah amplop map berwarna cokelat dan membeberkan seluruh isinya di meja. Ruangan itu dipenuhi keterkejutan karena melihat potret Atlas dan Zafira dalam banyak momen. Bukan hanya itu, Zafira juga terekam sedang menghabiskan waktu dengan pria lain. Atlas kembali meradang sambil melotot pada beberapa foto Zafira yang tengah masuk ke hotel dengan pria lanjut usia.

"Aku tidak tahu siapa yang mengirim ini padaku kemarin. Tapi aku tidak percaya. Aku menganggap semua ini hanya rekayasa. Sayangnya hari ini aku terpaksa yakin kalau semua foto-foto itu asli. Tidak bisakah kalian berhenti menyakitiku? Aku benar-benar tidak sanggup lagi."

Tangis Zemira luruh lagi, membasahi wajah dan membuat matanya terlihat sembap. Ia tidak peduli dengan penampilan buruknya, karena yang sebenarnya ia bahagia berhasil membongkar keburukan Zafira dan Atlas.

"Zemira, maafkan aku. Aku bersumpah tidak akan mengkhianatimu. Zafira jalang inilah yang sudah menggodaku. Percayalah, Zemira."

"Kau menghinaku, Atlas?! Sampah! Kau lebih busuk dari sampah!"

"Zafira! Hentikan omong kosongmu! Kau seharusnya menjelaskan kenapa kau bersama dengan pria tua bangka seperti ini!"

Zafira refleks memeluk erat sang ibu saat Arvan melempar beberapa lembar foto kebersamaan Zafira dengan pria beristri. Diam-diam Zemira tersenyum di balik tangannya yang menutupi wajah basah itu. Untuk pertama kali, akhirnya Zafira mendapat kemarahan Arvan.

To Be Continued...
Ditulis oleh Putrie-W

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro