24. Before the Storm
Pagi ini, Zemira hendak meninggalkan rumah majikannya. Ia mengonfirmasikan di mana posisi taksi langganannya dan pria itu mengatakan bahwa ia masih di perjalanan. Memperkirakan bahwa akan sampai dalam 10 menit.
Zemira pikir ia masih punya waktu untuk berbelok sebentar ke dapur sekadar untuk memeriksa persiapan sarapan. Ia yang terlalu biasa dengan pekerjaan ini sejak tidak pernah pulang ke rumah, akhirnya menjadi tidak nyaman karena tidak melakukannya. Gadis itu tidak melakukan apa pun. Hanya berdiri memperhatikan Zoe dan pelayan lain bekerja.
"Kau seperti tidak bisa mempercayakan semua pekerjaan padaku, Zemira." Zoe menyindir dengan nada bercanda saat tahu alasan Zemira datang. Ia tetap membawa makanan dari dapur ke ruang makan dibantu oleh seorang pelayan lain.
"Tidak, Bibi. Aku hanya terlalu terbiasa dengan ini, jadi ... sedikit aneh rasanya ketika aku libur mengerjakannya," jawab Zemira yang masih berdiri di dapur. "Baiklah. Sekarang aku bisa tenang sepenuhnya. Aku berangkat dulu, Bibi."
"Hati-hati di jalan, Zemira," ucap Zoe.
Zemira tersenyum ketika ia memberikan sebuah anggukan pada Zoe. Gadis itu bersiap keluar dari dapur, ketika ia bertemu dengan para tuan yang memasuki ruang makan. Matanya membulat lebar, tidak tahu jika majikannya akan datang terlalu pagi—atau mungkin Zemira terlalu lama berada di dapur hingga lupa waktu.
Zemira—karena terpengaruh oleh aura mengintimidasi para tuan—melangkah mundur secara teratur untuk memberikan mereka jalan. Ia bahkan menepi ke pinggiran tembok agar tidak menghalangi para tuan memasuki ruangan.
Menunduk menatap lantai adalah cara yang dipilih Zemira untuk menghindari mereka semua, tetapi ia malah mendapati sepasang sepatu pantofel hitam mengkilap berhenti, dan mengarah pada sepasang flat shoes miliknya. Gadis itu membulatkan mata, dengan perasaan tidak nyaman saat aroma parfum lelaki di depannya begitu mudah dikenali.
Nata.
Zemira belum siap bertemu tuannya yang satu ini.
"Kau menunduk terlalu lama, Zemira." Nata berkomentar dengan nada setengah jengkel. "Tatap aku, Zemira." Lelaki itu memberikan titah tegas yang terdengar anti dibantah.
Maka, Zemira memenuhinya. Ia perlahan menengadah pada sang tuan, lalu mundur selangkah sebab Nata ternyata terlalu dekat dari jaraknya sekarang ini. Hampir kepalanya dan dagu sang tuan bertemu karena posisi tersebut.
Mencoba mencari pertolongan, Zemira melirik sekitar. Namun, Kai sudah duduk di kursinya menyantap sarapan seolah tidak terusik dengan apa yang terjadi pagi ini, sementara Shaquille masih berdiri di dekat meja dengan tatap intens pada sang kakak dan si pelayan istimewa, tetapi rasanya tidak akan bisa membantu Zemira. Si bungsu hanya menang argumen—dan itu jarang—sementara keputusan tetap diambil oleh Nata.
Gadis itu mencari Zoe, agar kepala pelayan itu mau memberinya perintah—apa pun itu—agar terbebas dari kungkungan aura kuat Nata, tetapi wanita itu sudah berdiri di sudut ruang makan untuk memastikan sarapan berjalan sempurna. Merapatkan bibir, seolah ia hanya bisa menonton pagi ini.
Zemira tidak punya jalan untuk kabur.
"Zoe mengatakan kau cuti hari ini," kata Nata. Lirikannya menilai tampilan Zemira dari ujung kaki hingga kepala dengan raut tidak suka. "Kau ingin ke mana? Berkencan dengan kekasihmu?"
"Saya pikir, Tuan terlalu sibuk dengan pekerjaan. Anda tidak perlu memusingkan ke mana saya pergi jika saya sudah dapat izin cuti, Tuan."
Keberanian Zemira patut diacungi jempol oleh semua yang mendengarnya. Namun, Zemira sendiri tidak menemukan kebanggaan membalas sang tuan, sebab ini dilakukan hanya karena tidak nyaman jika Nata mulai kepo dengan urusan pribadi Zemira.
"Aku sudah memberikanmu banyak pakaian, mengapa tidak memakai salah satunya? Kupikir, jenis pakaian yang sudah kupilihkan untukmu sangat lengkap, jika kau ingin memakainya untuk berjalan-jalan, ke pesta, bahkan ... berkencan. Atau, pakailah satu dari perhiasan yang kubelikan. Kau terlihat polos hari ini."
"Saya terbiasa dan terlalu nyaman dengan pakaian saya, Tuan. Untuk sementara, saya rasanya belum butuh pakaian itu," jawab Zemira. "Apakah saya sangat terlihat buruk dengan tampilan sekarang ini?"
"Tidak. Kau sebenarnya terlihat cantik dalam pakaian apa pun, tetapi aku hanya ingin melihatmu memakai pemberianku." Nata membawa kedua tangannya ke dalam saku. "Apa permintaan itu terlalu sulit bagimu, Zemira?"
"Perhiasan dan pakaian Anda, terlalu mahal untuk saya pakai hari ini, Tuan. Saya belum terbiasa."
"Maka pakailah hari ini, supaya kau bisa membiasakan diri." Nata membalas malas. "Aku hanya memintamu mengenakan pakaian pemberianku, Zemira. Bentuknya masih sama dengan pakaianmu yang lain, mengapa harus membiasakan diri? Hanya karena harganya mahal? Kau tidak perlu memikirkan itu. Pakai pakaian itu seperti kau mengenakan pakaian sehari-harimu."
"Nata, berhenti membuang waktu Zemira dengan pertanyaan konyolmu itu. Kau jangan mengekang Zemira." Shaquille bersuara, membuat beberapa pasang mata mengarah padanya.
"Kau yang sebaiknya berhenti mengatakan apa yang harus aku lakukan atau tidak lakukan, Shaquille." Nata membalas sengit. Tatap tajamnya mengarah lurus pada sang adik.
Shaquille merotasi bola matanya, jenuh dengan sikap diktator sang kakak. Ia maju, hingga berdiri di depan Zemira seolah memberi perlindungan pada si pelayan istimewa. Nata mendengkus geli. Kedua tangannya bertengger di pinggang. Ia seolah terhibur dengan sikap adiknya ini.
Sementara Zemira, melirik diam-diam pada Kai yang begitu fokus menikmati sarapannya. Tampak tidak tertarik dengan drama antar-saudara itu. Ia hanya melirik sesekali, jika menurutnya ada sesuatu yang menarik dari perdebatan itu.
Zemira seharusnya lega, tetapi terasa ada yang salah dalam dirinya atas sikap sang tuan. Ia sendiri tidak mengerti di mana letak sesuatu yang salah itu.
"Aku bisa mengantarmu, Zemira, jika kau hanya ingin berjalan-jalan," ujar Nata, yang tidak peduli dengan keberadaan Shaquille. Ia melongok ke arah Zemira.
"Jalan kita tidak searah, Tuan." Zemira menyahut. Ia diam-diam maju, demi semakin dekat dengan punggung Shaquille.
Zemira harus berterima kasih pada si bungsu ini, sebab hobinya berolahraga sudah membentuk tubuh Shaquille dengan baik. Zemira bisa bersembunyi di balik punggungnya dengan sempurna.
"Nata, berhenti bersikap seperti ini. Apa kau pikir Zemira suka diinterogasi seperti itu? Makan sarapanmu, maka kau akan membuat Zemira merasa bahagia! Jangan merecoki paginya dengan semua pertanyaan seperti tadi. Perempuan mana pun tidak akan suka dengan sifat posesif berlebihan seperti itu. Kau membatasi kebebasan Zemira, bahkan sebelum kalian berpacaran."
"Bocah sepertimu paham apa masalah hubungan?" Nata tidak bisa abai dengan keberadaan Shaquille yang terasa mengganggu. Intonasi suaranya dinaikkan walau ia masih terlihat tenang. "Kau yang harus pergi sarapan di sana, agar tidak menggangguku bersama Zemira."
"Maaf, Tuan. Saya permisi." Zemira menunduk pada Nata, sekadar untuk menunjukkan sikap penuh penghormatan, sekaligus memberikan sikap sebagai bentuk pembenaran atas ucapan Shaquille. "Terima kasih, Tuan Shaquille."
Nata belum memberikan jawaban, tetapi Zemira sudah bergegas meninggalkan ruangan. Lelaki itu hanya membuka mulut, lalu menutupnya tanpa mengeluarkan sedikit pun suara—bahkan sekadar protes pada sang adik sekalipun.
Gadis itu tidak menerima panggilan atau mendengar protes apa pun lagi dari sang tuan, dan itu sedikit melegakan bagi Zemira.
Ini masih terlalu pagi untuk berkeringat, tetapi begitulah kondisi Zemira setelah dari ruang makan. Keningnya terasa lembap, sehingga tangan Zemira harus mengelapinya dengan memberikan beberapa penekanan kecil.
Sembari berjalan, Zemira turut mengecek ponselnya. Menemukan adanya sebuah pesan dari taksi langganan bahwa ia sudah siap di depan rumah. Zemira balas dengan 'oke', sembari terus melangkah.
Gadis itu berpindah dari kontak si supir ke kontak Atlas. Begitu mudah menemukan apa yang jemarinya tuju, lalu segera icon memanggil ia tekan. Raut dinginnya terlihat begitu kentara, ketika layar ditempelkan pada telinga sembari menunggu sambungan diterima.
Sekitar empat nada sambung terdengar, panggilan Zemira diangkat. Gadis itu segera menyapa dengan nada menyesal. Pergerakan kakinya diperlambat agar Atlas tidak mengenali suara langkah cepatnya ini dari grasah-grusuh yang mungkin terdengar.
"Atlas, aku ingin memberitahumu sesuatu." Zemira memberikan jeda sejenak untuk memastikan bahwa lelaki di seberang sambungan mendengarkan dengan baik. "Maaf, aku tidak bisa datang ke tempatmu hari ini. Izin cutiku ditolak oleh tuanku pagi ini karena ada pekerjaan tambahan mendadak. Aku sangat menyesal tidak datang merayakan ulang tahunmu hari ini, maafkan aku."
Terdengar helaan napas kasar di seberang sambungan. Zemira mempertajam indera pendengarannya sembari terus melangkah. Butuh setidaknya empat detik, sampai Atlas membalas ucapannya.
"Baiklah, jika kau sangat mengutamakan pekerjaanmu. Aku tidak bisa berbohong, bahwa aku sangat mengharapkan keberadaanmu di sisiku, di hari yang paling berkesan ini, Zemira, tetapi aku tidak akan memaksa. Aku akan mencoba mengerti."
"Maafkan aku, Atlas. Aku ... tidak bisa melawan tuanku. Seorang pelayan terpaksa pulang pagi ini karena ada masalah di rumahnya, maka dibutuhkan pelayan lain untuk menggantikannya. Aku yang terpaksa harus memenuhi kekosongan itu." Zemira memejam kuat, ketika kalimat bohong itu terpaksa ia utarakan.
"Baiklah." Atlas berujar lemah.
"Maafkan aku, Atlas ...." Zemira berujar lirih. "Aku akan meluangkan waktu satu hari penuh bersamamu, lain kali. Sungguh."
"Tidak masalah, Zemira," balas Atlas. "Kau semangat bekerjanya. Aku mendukungmu." Kalimat itu diutarakan dengan nada lesu oleh Atlas.
"Terima kasih. Aku harus pergi untuk memastikan majikanku puas dengan sarapan. Sekali lagi, aku minta maaf padamu, Atlas. Sampai jumpa." Suara Zemira kian melemah. Ia menutup sambungan setelah mendapat balasan dari sang kekasih.
Ponsel dimasukkan ke dalam tas. Rambutnya diperbaiki, dibawa ke belakang telinga agar tidak mengganggu wajah. Langkahnya begitu tegap. Zemira tiba di dekat mobil, langsung masuk.
"Ke alamat biasa, Nona?" tanya lelaki itu, dengan nada berhati-hati. Seperti menyadari bahwa pelanggannya ini memiliki aura yang sedikit berbeda dari biasanya. Lelaki itu sudah sangat hafal ke mana Zemira ingin diantar.
"Tidak." Zemira menjawab dingin. Ia membuka ponselnya untuk mengirimkan pesan pada seseorang, sembari memberitahukan sebuah alamat yang jarang didatangi Zemira pada si supir. Alamat yang baru ia datangi tiga kali, ketika diajak Atlas.
Bibi dan Paman sudah siap? Aku sudah dalam perjalanan menjemput Bibi dan Paman.
Setelah tombol kirim ditekan, Zemira menarik setengah Senti sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyum tipis.
To Be Continued...
Next, Putrie-W
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro