Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Forbidden Love

"Selamat pagi, Sayang."

Seruan lembut itu menjadi alarm menyebalkan untuk Zafira yang merasa bahwa tidurnya baru beberapa puluh menit. Ia memperbaiki posisi bantal empuk yang menjadi alas kepalanya, serta selimut yang sempat diturunkan hingga bahu—karena pasangannya sempat melabuhkan kecupan di sana.

"Kau bisa memuaskan dirimu untuk tidur, Zafira. Bonus sudah kusiapkan ada di bawah bantalmu, Sayang. Gunakan semaumu. Maaf karena tidak sempat sarapan bersamamu. Istriku tiba-tiba saja membatalkan rencana dan pulang kemarin. Sekarang sedang menunggu di rumah."

Sebagai tanggapan, Zafira memberikan gumaman kecil. Ia sama sekali tidak berniat membuka matanya, entah karena terlalu lelah setelah pergumulan lama mereka semalam, atau ... karena ia tidak memiliki minat sama sekali pada pria yang sebaya dengan ayahnya itu.

Tempat tidur dirasakan bergerak—beban berkurang. Disusul beberapa entakan sepatu pada lantai, kemudian ditutup oleh suara bantingan pintu.

Zafira baru mengangkat kelopak matanya.

Tubuh lelahnya dipaksa untuk berubah posisi menjadi duduk dengan mengandalkan topangan pada kedua lengan. Selimut luruh hingga sebatas perut, dan ia hampir tidak peduli pada bagian atas tubuhnya yang terekspos. Zafira mengecek bawah bantalnya dengan santai, dan menemukan puluhan lembar uang di sana. Senyumnya langsung terbit. Inilah yang Zafira butuhkan ... lembaran-lembaran uang pemuas dahaga belanjanya tanpa harus kerja seharian.

Perempuan itu tengah memperhitungkan apa saja yang akan ia beli nantinya, saat tangan Zafira terulur ke nakas untuk mengambil ponsel. Saat data dinyalakan pertama kali, ia sangat mengharapkan sesuatu: bahwa akan ada pesan rindu dari Atlas, atau sekadar menanyakan keberadaan dan kegiatan Zafira, tetapi ... tidak ada pesan baru di kontak Atlas sejak terakhir kali Zafira menanyai kabarnya.

Rasa jengkel memenuhi diri Zafira. Ia bergegas turun dari tempat tidur, untuk mengenakan pakaiannya. Tatap optimisnya mengarah pada cermin setinggi tubuh di salah satu lemari.

"Untuk sekarang, mungkin aku yang masih mengemis padamu, Atlas. Tapi kupastikan, segera ... kau akan berlutut menyesal di bawah kakiku!" Zafira bermonolog, dengan pandangan tajam, tetapi pandangannya segera luruh saat menyadari ada sesuatu yang salah di tulang selangka kirinya.

Jejak merah tercetak di sana.

Zafira merutuk, sembari membanting pakaian dari tangan yang belum sempat ia kenakan semuanya. Sekarang, ia harus menunda pertemuannya sebentar dengan Atlas, demi mengurus bekas merah ini lebih dulu.

Mimpi. Semalam hanya mimpi. Zemira yakin bahwa dirinya bermimpi ketika bayangan ciumannya bersama Kai terus terulang dalam memori. Merenggut ketenangannya sejak semalam, hingga ia harus tidur dini hari, lalu terbangun lebih awal hanya untuk ... melanjutkan ingatan itu.

Pada akhirnya, Zemira tidak bisa melakukan hal dengan baik di kamarnya. Gadis itu berdiri cukup lama di depan cermin lemari, demi melihat tampilannya sendiri. Matanya semula saling adu pandang dengan bayangan sendiri, sampai tatapnya mulai turun hingga berhenti di kedua bibirnya.

Kelembutan, kekenyalan, dan jejak basah dari bibir Kai masih tertinggal di sana, menyanggah kebohongan Zemira pada diri sendiri bahwa kejadian semalam hanyalah mimpi. Jemarinya gemetar, ketika perlahan terangkat hanya untuk menyentuh kulit bibirnya sendiri.

Kenyal, lembut, bergerak, beradu lidah ... lalu kecapan basah.

Zemira merutuk. Sembari ia melangkah mundur dengan mata terpejam.

Berhenti mengingat itu, Zemira! Itu ingatan paling terkutuk dalam memori otaknya, dan gadis itu harus amnesia sesegera mungkin.

Ketika kelopak matanya terangkat, gadis itu menemukan sebuah tembok di sampingnya. Seketika, sebuah ide muncul. Ia bergerak cepat menghampiri dinding bercat putih itu. Membiarkan telapak tangannya menempel di sana, lalu berpikir sesaat.

Di mana letak memori otak manusia? Zemira harus merusaknya agar ingatan itu hilang.

Sayangnya, Zemira sama sekali tidak mengerti pelajaran anatomi anggota tubuh manusia, sehingga ia tidak tahu pasti isi-isi dalam otaknya saat ini. Ia meringis ... merasa tersiksa oleh jejak rasa yang Kai tinggalkan pada bibirnya.

Terserah! Zemira memutuskan. Di mana pun posisi tempat penyimpanan ingatannya berada, gadis itu tidak mau peduli. Mungkin, jika ia tidak bisa amnesia, setidaknya sakit kepala bisa membuatnya lupa akan rasa kuluman memabukkan yang hampir memenuhi seluruh relung mulut Zemira sekarang ini.

Sial! Bahkan jejak ngilu akibat peraduan gigi mereka yang tanpa sengaja, masih bisa membuat Zemira merinding meski sudah beberapa jam berlalu.

Tidak ada pilihan lain. Ini terlalu memalukan untuk diingat. Zemira mengambil ancang-ancang: memejam kuat, menjauhkan sedikit kepala dari tembok, lalu bersiap mengayunnya—tetapi gagal saat dua ketukan terdengar di pintu kamarnya.

"Zemira? Kau sudah bangun?"

Itu suara Zoe, dan Zemira langsung tertegun. Ia merasa bangun pagi tadi, bahkan sebelum alarm berdering. Lalu, Zoe muncul, yang biasanya hanya datang ketika ia terlambat bangun. Gadis itu semakin merutuk.

Berapa jam waktu yang Zemira habiskan di depan cermin tadi? Ia terlalu sibuk mengulang-ngulang ingatannya hingga lupa waktu.

"A—aku akan segera datang, Bibi." Zemira memberitahu.

Tidak menunggu balasan, ia berlari menuju kamar mandi. Terlebih dahulu membasuh wajah lebih sering daripada biasanya, sembari bergumam pada diri sendiri, "Jernihlah, otak! Kau harus fokus mengerjakan tugas!"

Setelah menekankan hal itu pada diri sendiri, Zemira membersihkan tubuh sesingkat mungkin. Ia tidak bisa membuang waktu lebih banyak lagi. Bersiap secepat yang ia bisa, lalu ke dapur. Membantu Zoe menyajikan sarapan, lalu menemukan bahwa Shaquille lebih awal datang ke meja makan pagi ini.

"Kau tumben datang terlambat, Zemira," ucap Shaquille.  "Aku padahal datang lebih awal hanya untuk berbicara denganmu. Bibi Zoe bahkan harus memanggilmu tadi." Ia masih berujar lesu, sampai pada sebuah pertanyaan yang membuat pemuda itu menjadi khawatir. "Kau baik-baik saja, Zemira?"

Perhatian Shaquille bukanlah hal baru untuk Zemira. Tuan muda yang satu ini memang selalu selalu peduli, sebagai seorang sahabat. Namun, penyebab gadis itu tersengat kaget adalah saat Shaquille menempatkan tangannya di atas punggung tangan Zemira yang belum meninggalkan pinggir mangkuk. Ia baru saja berniat melepaskan tangan, ketika Shaquille malah mempererat genggaman, dan membawa tangan Zemira ke sisi meja yang kosong.

"Kau pucat, Zemira. Kau sebaiknya istirahat jika kau tidak enak badan hari ini."

Zemira meringis mendengarkan opini Shaquille. Bagaimana caranya mengatakan pada pemuda ini, bahwa Zemira kekurangan tidur, kesulitan fokus, hingga kehilangan ketenangan karena kakaknya sendiri? Ia dihantui oleh jejak-jejak yang Kai tinggalkan di kulitnya, dan itu membuat Zemira merasa tidak nyaman terhadap sentuhan Shaquille, walau ia tahu, tuannya ini hanya sekadar peduli.

"Saya baik-baik saja—"

"Kau duduk di sini, Zemira." Shaquille memberi titah, sembari berdiri dari kursinya untuk menarik kursi lain yang biasa diduduki oleh ibunya.

"Tuan, ini tidak perlu—"

"Kenapa kau tidak pernah mendengarkan perintahku, Zemira?" Shaquille sekali lagi memotong, seolah ingin mempertegas kesan statusnya. "Apa hanya karena aku yang paling muda di sini? Jika kau tidak mau patuhi aku sebagai tuanmu, setidaknya dengarkan apa yang sahabatmu ini minta." Pemuda itu melunak, dan dari bagaimana ketegasan Shaquille yang malah terdengar manis, Zemira tidak bisa menolak perintah sang tuan. Meski, ia harus mendapat tatapan tak terbaca dari Zoe yang masih harus mengatur sarapan.

"Tuan, aku harus membantu Bibi Zoe."

"Zemira." Shaquille memanggil tepat setelah gadis itu menyelesaikan kalimat, mungkin berniat memotong lagi tadi. "Kau juga manusia. Kau terlihat lelah hari ini. Kau seharusnya beristirahat saja. Sebelum itu, kau harus sarapan di sini."

"Tuan ...." Zemira semakin tidak nyaman, apalagi menemukan bahwa kedua tuannya juga sudah muncul di ambang pintu. Ia bersiap berdiri, tetapi sedikit paksaan, Shaquille menarik tangannya hingga kembali terduduk.

"Kau tetap di sini. Duduk di sampingku."

Zemira tidak bisa mengangkat wajahnya sedikitpun saat sebelumnya ia menangkap gestur tidak suka dari Nata. Pria itu bersiap masuk, tetapi sebelah lengan Kai yang menghadang jalannya berhasil mencegah Nata untuk masuk.

Berbanding terbalik dengan sang kakak tertua, Kai tampak santai hingga ia menyandarkan bahu di dinding.

"Santai, Bung." Kai memberikan petuah. "Kenapa kau sangat tamak pada semua kesempatan untuk mendekati si pelayan? Biarkan anak itu berusaha sedikit. Kita hanya perlu menonton, untuk tahu apa saja yang bisa dilakukan oleh si lele itu untuk menggoda seorang gadis."

Bukan hanya Shaquille—Nata dan Zemira juga mendongak demi melihat Kai yang berdiri santai. Mempertanyakan maksudnya.

"Kenapa kau memanggilnya lele?" tanya Nata.

Zemira sebenarnya penasaran, arti ucapan yang dikeluarkan oleh bibir yang semalam—lupakan! Gadis itu menunduk lagi, beralih pada Shaquille yang menatap kedua kakaknya dengan alis menukik tidak suka.

"Entahlah. Kurasa itu cocok untuknya," jawab Kai, sama sekali tidak peduli dengan ketidaksukaan adiknya. "Dia seharusnya tidak boleh marah, atau dia akan merusak image baiknya di depan seorang gadis—yang bahkan pertama kali dia goda."

Nata balas tersenyum. "Bukankah lebih cocok dipanggil lolipop?"

"Kenapa?"

"Entahlah."

Zemira merasakan lampu kuning di sini. Gadis itu memilih menenangkan Shaquille dengan menggunakan tangan yang lain untuk mengusap tangan pemuda ini, meski tahu bahwa si tuan bungsu tidak akan berani melawan kedua kakaknya. Lagipula, pertengkaran sejenis ini sering terjadi. Hal barunya hanya satu: Nata satu tim dengan Kai, sesuatu yang langka terlihat.

"Jangan dengarkan mereka, Zemira," kata Shaquille.

Padahal seharusnya, Zemira yang harus mengatakan itu pada sang tuan.

"Kau tetap di sini, dan sarapan bersamaku." Shaquille memberi arahan. Ia mendongak, pada Zoe yang kebetulan datang. "Bawakan juga piring untuk Zemira."

Gadis itu merasa semakin tidak nyaman, ketika Zoe benar-benar melakukannya. Ia tidak tahan, bergegas berdiri dari kursinya saat kedua tuan memasuki ruang makan. Kali ini berhasil, karena Shaquille sempat lengah.

"Zemira?"

"Tempat saya bukan di sini, Tuan." Zemira memberitahu. "Saya akan istirahat, tapi nanti. Setelah pekerjaan saya selesai. Saya baik-baik saja. Terima kasih atas kepedulian Anda."

Sebelum Shaquille sempat membalas, Zemira sudah memosisikan diri di sudut ruangan, menunggu para tuan sarapan—seperti biasa. Namun, ia mungkin juga harus membiasakan dengan satu hal baru ini: menjadi objek gosip para tuan, tepat di depannya sendiri.

"Usaha yang bagus, Shaquille, tetapi kau sebaiknya memberikan sesuatu untuk gadis yang kau goda. Ucapan tanpa bukti, hanya omong kosong belaka, dan para gadis tidak akan jatuh hati hanya karena hal itu," komentar Nata, sembari menarik kursinya.

"Gay tahunan sepertimu tahu apa soal gadis, Nata?" balas Kai.

Mereka padahal ... baru saja berdamai! Zemira yang meringis dalam hati melihat ketiga tuannya saat ini.

"Manusia berjenis perempuan, terlalu unik jika dinilai dari harta," lanjut Kai, lalu secara diam-diam—saat kedua saudaranya sibuk mengatur piring—ia melirik Zemira. "Kau hanya perlu menyentuh hatinya, dan perempuan tulus akan langsung jatuh hati." Ia kembali memusatkan fokus pada Nata yang juga meliriknya. "Kecuali jika gadis itu gila harta, maka opinimu benar."

"Kau ... memintaku tidak tamak kesempatan, dan mau memberi sedikit peluang untuk Shaquille. Lalu, kenapa kau tidak meminta kesempatan untuk dirimu sendiri?" tanya Nata.

"Meminta? Mengapa aku harus meminta, jika aku bisa mendapatkannya sendiri?" Kai membalas telak, bukan hanya membuat Nata mengerutkan kening—Zemira di belakang mereka langsung melotot lebar.

Ia pernah di posisi ini dua kali, untuk alasan yang sama, dan ia seharusnya merasa kapok sekarang.

Kai dengan santai melirik gadis itu, dengan senyum tertahan, saat melihat Zemira tampak gelisah dalam posisi menunduk sembari menggigit bibir bawahnya dengan kuat.

"Aku sudah mendapatkan kesempatanku sendiri, dan tentu saja, belum cukup. Aku akan mendapatkan yang lebih lagi lain kali."

Zemira menengadah. Saat itulah, tatap mereka beradu. Pipi pucatnya sekarang memerah tidak karuan, yang beruntung tidak dilirik oleh kedua tuan lainnya. Kai sangat pandai memanfaatkan kesempatan saat kakak dan adiknya lengah untuk melirik sang pelayan, lalu berhenti saat salah satu dari mereka fokus padanya.

Apa ini?

Zemira merasa tidak nyaman, sedikit gelisah, dan ... berdebar ... yang gadis itu yakini karena kekhawatiran jika para tuan lain mengetahui apa yang terjadi semalam.

Tidak ada ketenangan yang Zemira bisa rasakan sekarang. Kai terus meliriknya di saat yang lain hanya fokus pada sarapan. Entah sengaja atau tidak, pria yang sibuk mengunyah makanannya itu sesekali membuka sedikit mulutnya, kemudian dikatupkan tidak lama kemudian. Hal itu membuat Zemira merasa gelisah, dan Kai langsung menunjukkan senyum tipisnya melihat itu.

Seolah sengaja mengingatkan Zemira tentang malam itu: mengenai pergerakan bibirnya ... berhentilah pikiran!

Ini terlalu memalukan untuk diingat, tapi, lihat Kai! Ia terus mengejeknya. Jadi, ketika pandangan mereka bertemu lagi di satu titik, Zemira malah tersenyum—sesuatu yang berusaha ia tahan hingga harus menguatkan gigitan di bibir bawahnya.

Waktu terasa lambat berlalu, sementara Zemira sudah sangat ingin pergi dari posisinya ini. Segera, setelah para tuan menyelesaikan sarapan, ia langsung bergegas merapikan meja makan.

"Apa rasanya menyenangkan, jadi rebutan para tuan, Zemira?" Zoe bertanya, dan langsung menghentikan pergerakan tangan Zemira. "Kau masih punya kekasih, 'kan?"

Gadis itu secara ragu mengangguk. Ia merasa asing dengan aura yang dipancarkan Zoe hari ini.

"Ya, Bibi. Aku masih memiliki kekasih." Tapi akan segera aku tinggalkan, lanjut Zemira dalam hati.

"Jika begitu, kenapa kau masih berurusan dengan para tuan?"

Berurusan? Zemira tidak mengerti. "Maksudnya, Bi?"

"Kau membuat mereka memperebutkanmu. Untuk apa kau melakukan itu?"

"Aku? Aku tidak melakukan apa pun, Bibi." Ini di luar perkiraan Zemira sendiri. Efek kembali ke masa lalu membuatnya dalam masalah serumit ini. "Bukan mauku mereka melakukan hal ini. Aku juga risi dengan sikap mereka, sebenarnya. Hanya karena mereka majikan, aku tidak melakukan protes, dan malah menganggap diriku sebagai ... salah satu mainan mereka, mungkin."

"Kuharap, kau bisa menghentikan hal ini." Zoe berujar serius, dan Zemira harus memusatkan fokus untuk mendapatkan masukan dari wanita itu. "Bukan aku tidak mau kau menikah dengan majikan, Zemira. Jika tuan kita putra tunggal, aku akan mendukungmu. Namun, kau harus melihat. Mereka bertiga adalah saudara. Melihat topik perdebatan mereka mulai berbeda akhir-akhir ini, dan itu berpusat tentang dirimu, serta terbaca sedikit serius—aku khawatir ... persaudaraan ini akan terpecah hanya karena seorang pelayan. Jika bisa, kau sebaiknya mengambil jarak dari para tuan. Aku akan meminta pelayan lain untuk menggantikan posisimu."

Zemira tertegun. "Bibi ... itu semua di luar kemauanku." Gadis itu memelas, tidak ingin usahanya sia-sia selama bekerja di sini hanya karena majikan sendiri. "Demi apa pun, Bibi, aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun pada salah satu dari mereka. Bahkan, Tuan Shaquille sekalipun. Aku tidak memiliki keberanian apa pun untuk itu, karena aku sadar diri, aku tidak pantas untuk salah satu dari mereka. Aku bersungguh-sungguh, Bibi."

Zoe mengangguk, seolah menerima ucapan Zemira. Ia mengangkat mangkuk, bersiap ke dapur. "Kuharap, kau akan memegang ucapanmu, Zemira."

To Be Continued...
Next, Putrie-W

Lebih cocok 'Lele' atau 'Lolipop'?


Yang kena imbas dari perebutan para tuan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro