21. Wildest Side
Rasanya Zafira akan menjadi gila ketika kembali tersadar bahwa sikap Atlas banyak berubah. Sudah tidak ada perdebatan tentang perpisahan, tetapi laki-laki itu bersikap lebih dingin dari biasanya. Saat-saat bercinta saja Atlas menjadi bersemangat, sisanya ia kini lebih sering mengabaikan panggilan dari Zafira. Setiap akhir pekan Atlas bahkan hanya mengunjungi Zafira di malam hari dan gadis itu tahu benar ke mana dan bersama siapa Atlas selama seharian.
Uang yang Atlas berikan tidak sebanyak dulu. Barang-barang yang ia terima juga tidak sesering sebelumnya. Zafira tidak mengerti apa yang salah. Padahal ia tetap menjadi gadis yang ceria dan manja sesuai kesukaan Atlas. Ia sangat yakin bahwa Zemira masih tidak pandai menyenangkan dan memuaskan Atlas, sehingga harusnya tidak ada yang membuat laki-laki itu bosan pada hubungan mereka.
"Aku tidak mengerti kenapa beberapa bulan ini Zemira seperti orang yang berbeda, Bu," Zafira mengucapkannya dengan sangat kesal.
Pasalnya ia baru saja mencoba meminta uang lagi pada Zemira, bahkan rela merendahkan suara dan memanggil anak pungut itu sebagai kakak. Sayangnya, Zafira harus menelan kecewa lagi. Zemira mengabaikan dirinya untuk kesekian kali, bahkan bersikap biasa saja walau Zafira telah menambahkan kalimat ancaman seperti Zemira tidak akan dianggap sebagai anak lagi. Baik Atlas dan Zemira akhir-akhir ini cukup sering membuat Zafira naik darah.
"Ibu juga bingung kenapa dia sekarang sangat pemberani. Bahkan dia sudah sangat lama tidak pulang."
"Coba Ibu ingat-ingat, sejak kapan dia berubah?"
Nora menekan pangkal hidungnya, menggali memori tentang pertama kali Zemira mulai terlihat aneh. Wanita itu lalu teringat, bahwa ketidaknormalan Zemira terjadi saat gadis itu datang untuk mengenalkan Atlas. Sebelum ia masuk ke kamarnya setelah Zafira dan Atlas pergi membeli roti, Nora sangat yakin tidak ada yang berbeda dengan gadis itu. Zemira bahkan berjanji saat itu akan segera membelikan parfum mahal incaran Zafira. Namun, begitu senja tiba dan waktunya memasak, untuk pertama kali Zemira melakukan penolakan. Nora kira itu hanya untuk sesaat saja, siapa sangka bahwa sikap memberontak Zemira ternyata terus berlanjut. Gadis itu bahkan tega memotong uang bulanan yang bisa ia kirim untuk Nora.
"Apakah ada yang meracuni otaknya?" duga Arvan.
"Tidak. Dia itu tidak punya teman sejak kecil. Siapa yang mau menasihatinya?" Nora menyangkal.
Zafira setuju pada ucapan sang ibu. Zemira dikucilkan sejak kecil karena tak pernah ada waktu untuk bermain dengan teman-temannya. Pulang sekolah ia harus menjaga Zafira dan mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya pembantu. Begitu beranjak remaja, kehidupan pertemanan Zemira tidak banyak berubah. Sibuk bekerja tambahan membuatnya tidak punya waktu untuk menjalin hubungan dengan siapa pun. Zafira yakin selain rekan sesama pelayan yang bodoh, Zemira tidak punya siapa pun untuk mendengar keluh kesah dan mampu membimbing gadis itu. Jadi, Zafira pun bertanya-tanya dari mana Zemira mendapatkan keberanian untuk terus menolak semua ucapan Nora.
"Aku benar-benar kesal padanya, Bu."
"Sabarlah, Sayang," Nora menenangkan, "Ibu tidak akan membiarkannya terus-menerus bersikap egois. Dia harus membalas budi pada keluarga kita."
Dengan perasaan yang masih buruk, Zafira tetap mengangguk. Ia bersandar pada dada sang ibu, memikirkan langkah apa yang harus diambil agar Zemira kembali seperti dulu. Pemotongan uang yang Zemira berikan membuat gaya hidup Zafira terpengaruh. Ia harus mengurangi frekuensi berbelanja dan bersantai dengan teman-temannya di kafe.
"Bagaimana hubunganmu dengan Atlas?"
"Itu dia, Ayah. Aku juga sangat kesal."
"Ada apa?"
Arvan meletakkan koran yang sejak tadi ia baca agar lebih fokus untuk mendengar keluhan Zafira.
"Dia membelikan Zemira seuntai kalung, tapi dia hanya memberikanku anting-anting."
"Bukankah tidak masalah? Itu sama-sama emas."
"Tidak, Ayah."
Zafira duduk tegak, melepaskan diri dari kehangatan Nora yang sejak tadi terus membelai rambutnya.
"Aku melihat nota pembelian kalung Zemira di saku celana Atlas dan itu harganya tiga kali lipat lebih mahal dari antingku. Bukankah Atlas jadi pilih kasih sekarang?"
Sesaat mereka hening, lalu Nora kembali bersuara.
"Jika dia tidak berguna, tinggalkan saja setelah kau berhasil mengubah rumah yang sedang dia bangun atas namamu. Buanglah dia, kembalikan pada Zemira. Mereka memang sangat cocok untuk bersama."
Senyum Zafira merekah mendengar ide Nora. Ia pun berpikir begitu, apalagi sekarang rumah itu sudah selesai dibangun dan sedang tahap diisi furnitur. Walau sempat kesal karena Atlas menolak desain yang Zafira ajukan dan tetap mempertahankan desain keinginan Zemira, Zafira akan memaafkan karena rumah itu pada akhirnya akan jadi miliknya. Ia sangat yakin akan hal itu. Ke depannya Zafira akan lebih gencar untuk merayu, agar semua yang ia inginkan dari Atlas dipenuhi. Gadis itu juga akan lebih dulu mencampakkan Atlas setelah apa yang ia inginkan sudah ada di genggaman.
"Cobalah hubungi Atlas dan ajak bertemu. Curi hatinya agar dia mau menyerahkan rumah itu padamu secepatnya."
Zafira segera menjalankan saran Arvan. Namun, panggilannya lagi-lagi tidak langsung dijawab, padahal sekarang adalah jam makan siang, Atlas seharusnya tidak sibuk.
Apakah dia sedang bersama Zemira?
Gadis itu membantah pemikirannya, karena yakin itu adalah hal mustahil. Ini hari kerja dan Zemira pasti ada di rumah besar itu. Namun, demi memuaskan rasa penasaran, Zafira menghubungi Zemira. Berbanding terbalik dengan ketika menghubungi Atlas, Zemira menjawab panggilan Zafira dengan sangat cepat.
"Kau bersama Atlas?" Zafira bertanya tanpa basa-basi.
"Di mana sopan santunmu, Zafira? Kau seharusnya memanggilku kakak."
Zafira mendengkus.
"Jawab saja pertanyaanku, Zemira."
"Aku tidak punya kewajiban untuk itu, Zafira. Atlas kekasihku. Bukankah wajar jika kami bersama?"
Sialan! maki Zafira dalam hati. Ia menatap kedua orang tuanya, memberi tatapan yang menyiratkan penuh kekesalan.
"Kenapa kau semakin tidak tahu diri, Zemira?"
"Aku? Bukankah kau yang tidak tahu diri?"
"Apa maksudmu?"
"Kau bisa bersekolah tinggi karena uangku, tapi bahkan otakmu sama sekali tidak bisa menyerap semua ilmu itu dengan baik."
"Kau kurang ajar, Zemira! Aku akan mengadukan pada Ibu!"
Kemarahan Zafira memuncak. Ia sengaja mengaktifkan fitur pengeras suara agar Nora dan Arvan bisa mendengar semua ucapan Zemira.
"Kau mau tahu siapa yang lebih kurang ajar? Adik yang menggoda kekasih kakaknya sendiri. Kau hanya tahu merebut semua milikku, Zafira."
Nora mendelik, begitu juga dengan Zafira yang terkejut karena ucapan Zemira. Tidak mungkin hubungannya dengan Atlas ketahuan. Laki-laki itu sudah berjanji tidak akan memberi tahu Zemira dan Atlas pun tidak ingin rahasianya terbongkar. Lalu dari mana gadis itu mengetahuinya? Jantung Zafira berdebar kencang ketika Zemira memberikan ancaman secara tidak langsung.
"Aku paling benci pengkhianatan, Zafira. Apa pun akan kulakukan untuk membalas orang-orang yang berani melakukannya padaku."
"Apa yang kau bicarakan? Dasar tidak waras!"
Pft!
Tawa tertahan Zemira membuat Zafira naik pitam. Ia memutuskan panggilan saat Zemira masih bicara. Zafira tidak mau mendengar apa pun dari Zemira karena ia yakin kakak tirinya itu hanya mengoceh omong kosong. Lagi pula sekalipun ia ketahuan, memang apa yang bisa Zemira lakukan?
"Tidak usah dipikirkan. Kau tidak bersalah, jadi tidak perlu takut. Kau kan gadis cantik yang pantas mendapatkan semua keinginanmu," puji Nora seraya memeluk Zafira.
Kalimat-kalimat menenangkan Nora tidak berpengaruh untuk Zafira. Yang ia butuhkan adalah hal menyenangkan saat ini. Zafira yang kesal tiba-tiba tersenyum ketika satu pesan masuk ke ponselnya, kekesalannya pada Zemira seketika memudar.
'Cantik, malam ini ada waktu?'
'Untukmu aku akan selalu ada. Tapi aku sedang menginginkan beberapa barang. Kau kan sudah lama tidak menghubungiku.'
'Apa aku pernah perhitungan padamu? Kita akan berbelanja lebih dulu. Berdandanlah yang cantik. Aku akan menjemputmu setelah istriku pergi.'
Gadis itu tersenyum semakin lebar, lalu buru-buru ke kamarnya untuk memilih pakaian yang paling bagus. Selain Atlas, Zafira juga punya kekasih lain. Namun, karena tidak bisa bertemu pria itu setiap saat, Zafira tergoda untuk mencari hiburan dari kekasih kakaknya dan ternyata itu menyenangkan. Gadis itu terjerumus pada lubang dalam tanpa ia sadari. Dan Nora ... adalah orang yang mendorong anaknya sendiri ke dalam lubang itu tanpa berniat mengeluarkan Zafira dari sana.
Kalau boleh jujur, Zemira sungguh merasa lelah pada sandiwara yang selama ini ia mainkan untuk Atlas. Namun, ia harus bertahan sedikit lagi demi rencananya yang sempurna. Rumah itu sudah selesai dibangun dengan perbandingan uang pribadi Atlas lebih banyak terpakai. Zemira yang biasanya pasif dalam hubungan mereka, terpaksa sedikit lebih aktif demi menyenangkan kekasihnya itu. Tidak sia-sia, Zemira melihat hasil yang memuaskan dalam upaya menipu Atlas. Ia dibelikan beberapa jenis perhiasan, juga kiriman uang walau tidak terlalu banyak.
"Ranjangnya sudah dikirim kemarin, Zemira. Aku berniat untuk pindah lebih dulu. Bagaimana menurutmu?"
"Aku setuju saja, Atlas."
"Aku tidak sabar menempatinya bersamamu."
Zemira meraih tangan kiri Atlas, lalu mengecup punggung tangan laki-laki itu, dan menempelkannya di pipi. Reaksi Atlas sesuai dugaan Zemira, laki-laki itu tersenyum senang khas orang yang tengah dilanda cinta.
"Aku juga tidak sabar, Atlas."
Dulu Zemira tidak mengerti apa yang Atlas cari dari Zafira. Kini, sedikitnya gadis itu memahami dan melakukan yang lebih baik kecuali bagian menyerahkan diri di ranjang. Terbukti, Atlas benar-benar lebih terlihat mencintainya sekarang.
"Atlas, minggu depan adalah ulang tahunmu. Apa ada yang sedang kau inginkan?"
Sekilas Atlas menoleh dan tersenyum sebelum kembali fokus mengemudi.
"Tidak. Kau sama sekali tidak perlu repot menyiapkan apa pun, Zemira. Hari itu aku akan mengajakmu jalan-jalan seharian. Luangkan saja waktu untukku, ya?"
"Aku pasti meluangkan waktu untukmu, Sayang."
Tepatnya untuk mengakhiri segalanya, lanjut Zemira dalam hati.
Malam sudah hampir menunjukkan pukul 11 ketika Zemira tiba di rumah besar itu. Seperti biasa, ia dan Atlas melakukan beberapa hal kecil sebelum berpisah. Meski tidak ingin melakukan kontak fisik apa pun dengan Atlas, Zemira masih harus menyabarkan diri agar ia tidak dicurigai.
Masuk ke paviliun, beberapa kamar masih terdengar suara dari dalamnya. Dan Zemira hanya mendapati sunyi ketika ia masuk ke kamarnya sendiri. Tidak ada siapa pun di sana karena berkat Nata yang arogan, Zemira benar-benar mendapatkan kamar pribadi. Sebelumnya Zemira masih merasa terhibur dan tidak kesepian sebab memiliki teman yang bisa ia ajak bercerita saat tidak bisa tidur. Namun, sekarang? Jika lupa siapa Nata dan siapa dirinya, Zemira benar-benar akan melaksanakan pemberontakan. Gara-gara tuan muda tampan nan menyebalkan itu, beberapa pelayan lain jadi memusuhi Zemira. Bahkan beberapa hari terakhir telinganya agak panas mendengar bisik-bisik tentang ranjang Nata yang bisa saja dihangatkan oleh seorang pelayan. Walau itu bukanlah fakta, Zemira tentu sadar diri ia-lah yang sedang digosipkan.
Gadis itu melempar tasnya ke ranjang diiringi helaan napas panjang. Ia berniat mengambil piama dari lemari sebelum ia berinisiatif untuk menemani Zoe yang masih harus berjaga satu jam lagi di dapur.
"Bagaimana kencanmu, Zemira?"
"Biasa saja, Bibi."
"Oh, lihat, wajahmu sangat lesu. Ada apa?"
Zemira menyentuh kedua pipinya dan bertanya dalam hati apakah raut wajahnya memang seburuk itu. Sebenarnya ia tidak hanya lelah atas Nata dan Atlas, tetapi juga perubahan sikap Kai yang aneh. Sejak beberapa hari lalu, atau tepatnya adegan Kai berdiri di pintu kamar, laki-laki itu sama sekali tidak mengatakan apa pun. Zemira seolah-olah diabaikan dan ia tidak tahu apa kesalahannya. Kemarin Zemira mengirim pesan, menanyakan apa saja yang detektif itu temukan dari mengikuti Zafira dan Kai hanya mengirimkan dua foto Zafira bersama seorang pria. Itu saja. Tidak ada hal lain yang Kai katakan. Zemira bingung harus berbuat apa karena ia merasa bersalah. Kai sudah banyak membantunya, bahkan tanpa Kai rencana pembalasan Zemira tidak akan berjalan semudah ini.
"Sepertinya aku butuh makanan manis, Bibi."
"Masih ada sisa cheesecake. Makan saja itu."
Dahi Zemira mengerut.
"Memang siapa yang tidak menghabiskan makanan penutupnya?" tanya Zemira sembari membuka lemari pendingin.
"Tuan Kai. Suasana hatinya seperti tidak baik. Makan saja seperti tidak ada selera."
Gerakan tangan Zemira terhenti, ia menatap sepotong cheesecake itu dengan serius. Di antara sekian banyaknya makanan penutup, kue satu itu adalah kesukaan Kai, mustahil ia melewatkannya jika tidak benar-benar dalam keadaan yang buruk.
"Dia pasti sudah tidur," gumam Zemira, kali ini sambil mengambil piring kue itu dan membawanya ke meja.
"Siapa? Tuan Kai? Tuan sedang berenang di kolam hangat."
Tanpa banyak berpikir, gadis itu meletakkan sendok dan meninggalkan Zoe yang kebingungan mengapa tiba-tiba Zemira berlari. Selain sikapnya yang berubah pada Zemira, Kai juga mengalami perubahan lainnya. Sudah beberapa hari ini Zemira memperhatikan tuannya itu ada di rumah ketika malam hari tanpa mencoba kabur dari pengawasan Nata. Tidur Kai pun teratur, karena Zemira mengetahui dari Zoe yang bertanya langsung pada Kai. Malam ini, entah kenapa Kai masih ada di kolam bukannya ada di kamar seperti kemarin-kemarin. Dan entah kenapa ... Zemira tidak bisa menahan diri untuk bertemu dengan Kai. Ia bahkan membuka pintu ruangan itu tanpa sopan santun. Dahi Kai mengerut mendapati Zemira yang terengah-engah berdiri di ambang pintu.
"Ada apa?" tanya Kai datar.
Laki-laki itu sudah tidak berada di dalam air, melainkan tengah bersandar pada kursi yang menghadap ke dinding kaca yang tirainya terbuka. Setengah dada Kai tampak karena kain di tubuhnya tidak tertutup sempurna. Zemira melegakan tenggorokan sebelum bicara. Kacaunya, kali ini Zemira tidak tahu ia gugup karena akan meminta maaf atau ... terpana pada Kai yang sangat terlihat seksi malam ini.
"Maaf, Tuan, saya sangat lancang datang tanpa dipanggil. Bahkan tanpa seragam."
Sebenarnya Zemira menyesal sudah bertindak impulsif, tetapi ia tidak bisa mundur. Pintu itu ia tutup dan berjalan mendekat pada Kai. Suara detakan sepatu hak tinggi Zemira yang beradu dengan lantai membuat Kai memejam sejenak, seolah-olah ia menemukan suatu kedamaian di sana.
"Kau habis berkencan?"
"Bisa dibilang seperti itu, Tuan."
Kai mengangguk kecil, ditatapnya Zemira dari atas sampai bawah, lalu pandangannya berpaling lagi.
"Duduklah. Katakan apa yang kau inginkan."
"Kenapa?" tanya Zemira setelah memilih duduk di hadapan Kai, seolah-olah sengaja menghalangi pandangan laki-laki itu.
"Apa yang kau maksud?"
"Kenapa Anda mengabaikan saya?"
Satu sudut bibir Kai tertarik.
"Bukankah itu yang kau inginkan?"
"Tidak, bukan itu jawabannya. Saya butuh alasan yang pasti. Anda menghindari saya, Tuan. Saya benar-benar minta maaf jika tanpa sadar saya membuat kesalahan."
Kai menyugar, lalu tertawa kecil. Tawa yang di telinga Zemira sebagai sebuah ejekan.
"Kau masih mencintai kekasihmu?"
"Saya rasa Tuan tahu jawabannya."
"Aku butuh jawaban pasti."
Zemira menghela napas panjang.
"Tidak. Saya tidak mencintainya lagi."
"Baiklah."
Kai berdiri, sempat memperbaiki sampul bathrobe-nya sebelum berjalan pelan ke arah Zemira.
"Kau menyukai Shaquille? Menyayanginya dan memandangnya sebagai laki-laki?"
Meski bingung ke mana arah pembicaraan itu, Zemira tetap menjawab.
"Saya hanya menganggap Tuan Shaquille sebagai adik saya."
"Nata. Bagaimana dengannya?"
Jantung Zemira mencelis ketika Kai mengajukan pertanyaan dari arah belakang dan tepat di telinganya. Seluruh tubuhnya juga mendadak merinding. Syukurnya Kai tidak mengulangi hal tersebut, ia kini berdiri di samping Zemira, menatap gadis yang terlihat anggun di mata Kai akhir-akhir ini.
"Dia membelikanmu banyak barang mahal, memberikanmu kamar pribadi, seolah-olah kau adalah kekasihnya. Kau menyukai perlakuan itu, bukan? Dan kau akan segera membalas pernyataan sukanya."
"Tuan," Zemira menghela napas panjang, "saya menganggap Tuan Nata sebagai panutan, itu saja. Tidak ada perasaan lebih yang saya rasakan untuknya. Dan saya sadar diri untuk hal itu. Saya dan Tuan Nata tidak memiliki hubungan apa pun selain yang semua orang ketahui."
"Lalu bagaimana denganku?"
Kali ini jantung Zemira bagai siap melompat dari posisinya karena Kai yang tiba-tiba memutar kursi Zemira dan membuat mereka berhadapan. Tidak cukup sampai di situ, Kai memegangi kedua sisi kursi dan agak membungkuk, sehingga terkesan memenjarakan gadis itu.
"Apa yang kau rasakan untukku, Zemira? Bagimu aku ini apa?"
"Bukankah pertanyaan Anda sangat tidak penting, Tuan? Anda sudah tahu bahwa Anda adalah tuan saya."
"Selain itu, Zemira. Selain itu."
Mata Zemira mendelik saat Kai mendekatkan wajah. Gadis itu tiba-tiba bernapas dengan pendek, terkejut atas situasi yang tidak terduga ini.
"Anda mau saya jujur?"
Kai mengangguk pelan.
"Anda adalah penyelamat saya. Tanpa Anda mungkin saya hanya bisa diam saat saya dikhianati. Saya berhutang budi pada Anda, Tuan."
Ekspresi Kai masih datar seperti sebelumnya. Namun, kali ini tatapannya melemah. Seluruh sudut di wajah Zemira tidak luput dari perhatiannya, hal itu menambah kegugupan Zemira.
"Kau benar, Zemira, kau berhutang padaku. Kau pasti sudah membayangkan berapa banyak uang yang harus aku keluarkan untuk membayar detektif itu selama beberapa bulan ini. Sangat banyak, Zemira."
"Maaf, Tuan."
Gadis itu menunduk, malu terus bertatapan dengan orang yang telah sangat berjasa padanya.
"Bayar hutangmu sekarang, Zemira."
Telinganya tidak mungkin salah dengar. Gadis itu segera menaikkan pandangan dan menatap Kai tidak percaya.
"Tapi saya tidak punya uang sebanyak itu, Tuan."
"Berikan aku satu ciumanmu, Zemira. Satu ciuman, bukan kecupan."
Detak jantung Zemira kian menggila. Sesaat ia ingin mengamuk karena merasa dilecehkan. Namun, akhirnya Zemira tersadar bahwa ia harus bersikap realistis. Bantuan Kai tidak terhingga dan hanya memberikan sebuah ciuman tentu saja bukan apa-apa. Laki-laki ini hanya meminta hal kecil yang bahkan biasa Zemira berikan pada Atlas yang sudah berkhianat. Ciuaman bukanlah lagi sesuatu yang istimewa untuk Zemira, ia bisa memberikan pada Kai walau tanpa perasaan.
Perlahan, Zemira menyilangkan kedua tangannya di leher Kai. Laki-laki itu sempat terkejut sebelum ia ikut menutup mata saat bibir Zemira mendekat dan mulai menjamah bibirnya. Hangat dan lembut, membuat Kai terlena semakin dalam dan membiarkan sisi liarnya keluar. Ia memegangi kedua rahang Zemira, lalu memperdalam ciuman mereka, membelai dinding-dinding mulut gadis itu, dan mengejar lidah Zemira. Saat pasokan napas Zemira nyaris habis, Kai memberikan jeda. Gadis itu ... sangat seksi saat ini. Bibir basahnya dan wajahnya yang terlihat hanyut dalam nafsu menggedor-gedor jiwa liar Kai lainnya.
"Maaf, Zemira. Ternyata aku bukan meminta satu, tapi mungkin tiga atau empat."
Gadis itu tidak sempat menjawab. Ia mengikuti permainan Kai, saling membelai dan melumat. Bahkan Zemira tidak keberatan ketika Kai menarik dan mendudukkannya di pangkuan laki-laki itu. Zemira tidak tahu bahwa Kai tengah menahan sisimya yang paling liar agar gadis itu tidak ketakutan dan membencinya.
Malam itu Zemira melupakan siapa Kai dan siapa dirinya. Yang ia tahu ... ciuman ternyata bisa segila dan secandu itu. Yang Zemira tahu ... ia mengeluarkan sisinya yang berbeda hanya saat bersama Kai.
To Be Continued...
Ditulis oleh Putrie-W
Z—Zemira ... kecanduan?😳👉👈
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro