2. Broken Girl
Mobil telah terparkir sempurna, Zemira bersiap merapikan gaunnya usai melepaskan diri dari jeratan sabuk pengaman. Ia baru akan membuka pintu, ketika ia menoleh dan mendapati bahwa tuannya telah melakukan hal tersebut. Canggung semakin menyelimuti Zemira, yang tampak jelas dari bibirnya yang sesekali membuka, tersenyum kikuk, kemudian terkatup rapat.
"Terima kasih." Kalimat ini beruntungnya berhasil Zemira keluarkan, ketika ia mengangkat sedikit gaun mewahnya turun dari mobil.
Meski gaun ini mungkin harganya bak butiran debu untuk sang tuan, Zemira tetap harus menyadarkan diri. Ia tidak boleh membiarkan gaun indah ini terkotori, atau terinjak olehnya.
Cukup mengetahui bahwa tuannya ini cukup baik mengadakan pesta khusus untuk Zemira—yang anehnya malah dilangsungkan di sebuah restoran berbintang lima.
Zemira tidak tahu lagi harus menyebutnya pesta selamat tinggal karena akan menjadi istri Atlas, atau ... pikirannya malah membuat bayangan sendiri, karena mereka hanya ... berdua di sini. Tuan ini mengapa seakan ingin meninggalkan kesan berbeda sebelum Zemira mengubah status?
Angin malam berembus pelan menyentuh kulitnya, memberikan kesan merinding untuk Zemira ketika ia masih memperhatikan sekitaran restoran yang tidak terlalu ramai hingga orang-orang tidak harus berdesakan masuk. Restoran bintang lima ini begitu rapi, karena Zemira tahu bahwa pengunjungnya tentu manusia-manusia berkelas.
"Zemira, ada apa?"
Pertanyaan itu berhasil menghentikan segala pikiran yang berkembang dalam pikiran Zemira. Efek telepon dari Atlas yang berhasil membuat dirinya melayang oleh perasaan, terbawa hingga sekarang. Bodohnya, ia sempat berpikir aneh mengenai Nata. Kini, gadis itu sudah bisa mengendalikan diri. Menghadapi si tuan dingin dengan senyum ramah.
"Maaf, Tuan." Zemira memberikan isyarat pada Nata agar ia berjalan terlebih dahulu, tetapi sebagai balasan, sang tuan menaikkan sebelah alisnya kebingungan. "Silakan, Tuan." Maka, Zemira rendah hati memperjelas, agar sang tuan berjalan terlebih dahulu.
Nata menggerakkan kepalanya ke samping sebagai bentuk penolakan ringan, yang membuat Zemira menurunkan tangan ke sisi tubuh. Gadis itu kebingungan.
"Apa kau ingin menunjukkan dengan jelas status pelayanmu pada semua pengunjung dalam restoran ini, Zemira?" Nata meraih tangan Zemira untuk ia genggam pelan; yang menyerupai seorang kakak yang takut adiknya tersesat. Hanya semacam itu. Tatap pria itu tertuju lurus pada pintu kaca restoran yang di sisi-sisinya telah berdiri dua penjaga siap menyambut. "Setidaknya, jaga tampilan gaun yang sudah kubelikan untukmu, agar terlihat sesuai yang seharusnya. Jika kau berdiri di belakangku, kau terlihat seperti pelayan. Tidak cocok untuk gaunmu."
Zemira memberikan dua anggukan patuh dua kali, yang ditangkap oleh ekor mata sang tuan. Nata berdeham singkat, kemudian mulai melangkah bersama Zemira yang ikut mensejajarkan posisi. Setelah melewati pintu restoran, Zemira semakin canggung dengan segala kebaikan Nata. Ia hanya perlu menggerakkan sedikit tangannya, dan sang tuan segera melepaskan genggaman eratnya. Ia turut mempersilakan Nata untuk melangkah lebih dahulu, karena Zemira perlu mengusir canggungnya terlebih dahulu, dengan melirik sekitar.
Sekilat waktu, Zemira merasa matanya menangkap sesuatu. Sehingga ketika ia sudah memusatkan fokus pada punggung Nata yang berjalan di hadapannya, ia berhenti melangkah. Melirik kembali pada tempat di mana ia melihat sesuatu yang tidak asing.
Hanya bahu seorang pria dalam balutan jas, dengan potongan rambut yang entah mengapa ... begitu familier dalam ingatan Zemira. Ia menyipitkan mata, mencoba mengingat. Memorinya segera memutar bayangan Atlas, tetapi segera ia hentikan dengan gelengan kasar.
Mustahil jika pria yang memeluk mesra pinggang seorang wanita itu adalah Atlas. Kekasihnya mungkin sedang sibuk mempersiapkan kepindahannya ke rumah baru yang mereka rencanakan.
Zemira menarik napas panjang. Berpikir positif. Ia memusatkan fokus pada Nata, untuk menyusul langkahnya hingga mereka kembali sejajar.
Zemira masih belum sepenuhnya nyaman karena kini mereka sudah duduk di dalam sebuah ruangan yang ia yakini sebagai tempat khusus, dikarenakan tidak adanya orang lain yang bercampur dengan mereka selain para pelayan. Makanan dan minuman juga telah tersiapkan di atas meja.
"Tuan ...." Zemira memanggil, dengan nada lirih yang lebih menyerupai bisikan. Meski tidak mendapatkan respons berarti dari Nata, Zemira tetap melanjutkan sembari mencondongkan tubuh sedikit ke depan, agar pelayan yang bersiap siaga di belakangnya tidak terlalu mendengar apa yang ia sampaikan. "Apa ini ... tidak terlalu berlebihan? Saya merasa tidak pantas untuk mendapatkan semua kebaikan hati Tuan ini."
"Kau merasa tidak pantas? Lalu, bagaimana bisa kau ingin menikah dengan seseorang, sementara jiwamu masih jiwa seorang pelayan?"
"Apa ...?" Zemira membentuk kerutan dalam di keningnya.
"Lupakan." Nata baru memusatkan fokus pada Zemira, masih dengan ekspresi tak acuh khas seorang Nata. "Makan; jika kau ingin segera pergi dari sini."
"T—tidak, Tuan. Bukan maksudku—"
Namun, Nata tampak tidak peduli lagi dengan penjelasan gagap yang berusaha Zemira utarakan. Gadis itu meremas jemarinya sendiri dalam kebingungan. Zemira telah melakukan kesalahan lagi, di saat tuannya berbaik hati ingin merayakan perubahan statusnya yang tidak lama lagi.
Pikiran Zemira segera dipenuhi gejolak bersalah; mempertanyakan segala kebaikan Nata. Ia seakan ingin menelan waktu yang ia buang dengan pertanyaan bodohnya tadi.
"Tuan ...." Zemira memberanikan dirinya lagi, meski ia tidak mendapatkan tatap apa pun dari Nata yang fokus pada makanannya. "Maaf untuk pertanyaan saya tadi, dan terima kasih untuk malam ini. Saya tidak akan pernah melupakan malam terbaik ini."
Sang tuan menengadah. Mengangguk sekali, diiringi senyum penerimaan atas ucapan Zemira.
Siapa yang bisa menyangka bahwa menghabiskan makan malam dengan tuan arogan bisa berakhir hingga pukul sebelas malam?
Zemira lebih sering memberikan tanggapan, atau jawaban mengenai pertanyaan tuannya. Nata pun tampaknya sangat memanfaatkan kesempatan mereka berdua, dan menanyakan terlalu banyak hal mengenai biodata Atlas. Entah terlalu tertarik dengan calon Zemira tersebut, atau sekadar ingin mencairkan suasana makan malam agar menguatkan atmosfer 'pesta'nya.
Keinginan Zemira adalah segera tertidur, bahkan ia enggan peduli pada gaun mahal yang masih membalut tubuhnya. Matanya terpejam, hampir sedetik itu juga kehilangan kesadaran. Namun, niat istirahatnya tertunda ketika mendengar suara dering ponsel.
Matanya setengah terbuka, ketika ia meraba sekitarnya, mencari benda pipih tersebut. Zemira hanya perlu memastikan bahwa ia menggeser icon yang benar untuk menerima panggilan, kemudian memejamkan mata sembari mendengarkan si penelepon.
"Mengapa kau mengirim uang 20% lebih sedikit daripada bulan lalu? Kau apakan semua bonus dan gajimu, Zemira?!"
Suara sang ibu dengan nada tinggi segera merusak kenyamanan Zemira. Perempuan itu tidak lagi memiliki minat tidur.
"Ibu, aku perlu penambahan biaya untuk membangun rumahku bersama Atlas. Pun biaya pernikahan, juga ada sedikit penambahan—"
"Kau bahkan belum menikah, Zemira, tetapi kau sudah tidak acuh pada keperluan Ibu dan Zafira? Bagaimana jika kau sudah menikah? Ah, kau pasti akan langsung melupakan kami berdua!"
Hela napas Zemira terdengar jelas, ketika tubuhnya diubah menjadi telentang. Jemarinya bergerak untuk memijit pelipis, tempat denyutan sakit muncul ketika ia begitu lelah berpikir.
"Jangan kau pikir setelah kau menikah, kau akan lepas begitu saja, Zemira. Ingat, kau belum bisa membayar semua biaya yang sudah kukeluarkan untuk membesarkanmu hingga sekarang ini! Kau jangan lupa diri! Kau masih berutang banyak padaku!"
"Ibu ...." Zemira memelas ketika ia memanggil. "Aku tidak akan pernah melupakan Ibu atau Zemira, bahkan, aku sangat menyayangi kalian seperti keluarga kandungku sendiri. Mengapa Ibu berpikir seperti itu?"
"Ibu tidak mau tahu! Zafira membutuhkan banyak untuk membeli pakaian yang ia inginkan. Kau segera tambahkan uang yang kirim ke sini!"
"Bu, uangnya sudah kuberikan pada Atlas—"
Zemira tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan, karena terhenti oleh suara penanda sambungan telah diputuskan. Ia hanya bisa menjatuhkan ponsel di atas tempat tidur, sembari menenggelamkan wajahnya pada bantal.
Padahal, Zemira selalu ... selalu mengutamakan keluarganya, tetapi, kenapa selalu seperti ini? Selalu saja! Ia merasa tidak dihargai sama sekali.
Di antara perasaan kecewanya itu, Zemira meraih ponselnya hanya sekadar mengetikkan sebuah pesan untuk Atlas. Tentang permintaan untuk mereka berdua bertemu esok pagi di rumah impian mereka.
"Kupikir kau akan menghabiskan seluruh akhir pekan bersama ibumu."
Ucapan Atlas tersebut, secara drastis mengubah ekspresi ceria Zemira menjadi murung. Ia terlebih dahulu menerima minuman pemberian Atlas untuk mengurangi dahaga usai setengah harian tadi dihabiskan dengan mengunjungi beberapa toko demi persiapan pernikahan mereka.
"Tidak jadi," jawab Zemira. "Hei, apa aku baru saja merasa bahwa kau tidak suka kehadiranku, Atlas?"
Gadis itu memicingkan mata pada sang kekasih, yang dibalas gelak tawa oleh Atlas. Meski Atlas sebelumnya berniat untuk duduk di sofa terpisah, niatnya urung setelah mendengar ucapan Zemira. Ia duduk di samping gadis itu, untuk merangkulnya erat, bersama dua kecupan singkat berderetan menghampiri puncak kepala Zemira.
"Tidak, Sayang. Sama sekali tidak. Pesanmu kemarin malam begitu mengejutkan. Rumah ini baru saja aku tinggali, belum aku rapikan. Aku harap kau bisa nyaman di sini."
"Aku nyaman setiap kali bersamamu."
Zemira berangsur tersenyum dalam dekapan Atlas. Tubuhnya sedikit bergetar akibat tawa karena berhasil menguji Atlas. Pria ini bahkan tidak bisa melihat Zemira merasa tidak nyaman, jadi ... lihat betapa beruntungnya ia memiliki seorang pria sejenis Atlas. Demi apa pun, sungguh, Zemira yang kemarin merasakan ketidakadilan dari sikap ibunya, kini merasakan anugerah terbesar dari Tuhan melalui kekasihnya ini.
"Kupikir, ibumu membuatmu jengkel? Huh, orang tua memang selalu begitu, Zemira. Maka dari itu, aku pergi dari rumah, dan tinggal lebih awal di rumah kita ini. Kau ... tidak ingin tinggal di sini?"
"Segera, setelah pernikahan." Zemira menjawab singkat. "Terima kasih," ucap Zemira, yang meski terdengar lirih, sudah cukup untuk meluapkan betapa bersyukurnya ia memiliki Atlas. Pria ini dengan sangat mudah memperbaiki perasaannya.
"Kau tidak ingin istirahat di sini, Zemira? Kau tampak sangat lelah. Kau seharusnya memperbanyak istirahat menjelang pernikahan kita," bisik Atlas, dengan itu ia turut membantu membersihkan wajah Zemira dari gangguan anak-anak rambut milik gadis itu.
Zemira menggeleng lemah. Matanya terpejam begitu perlahan, kemudian dipaksakan untuk terbuka.
"Kau mengatakan bahwa rumah ini masih perlu penambahan agar sempurna. Aku akan bekerja keras untuk mengumpulkan uang untuk menyelesaikan penambahan itu, agar setelah aku menikah denganmu ... semuanya sudah sempurna. Hidupku sudah sempurna, bersamamu. Aku hanya perlu menikmatinya lagi."
"Kau seharusnya tidak perlu memaksakan diri, Zemira .... Cukup selesaikan pekerjaanmu sebelum kau berhenti .... Aku tidak ingin kau terlalu kelelahan hingga seperti sekarang ini."
Atlas berujar lembut, yang begitu melenakan. Hampir membuat Zemira dibawa terbang oleh mimpi, seandainya ia tidak ingat bahwa ia masih harus pulang sebelum sore menjelang. Maka, ia memaksakan dirinya untuk tersadar. Meminum sisa minuman pemberian Atlas lagi, kemudian melepaskan diri dari pelukan nyaman kekasihnya.
"Aku harus tiba di rumah sebelum malam. Bibi Zoe akan sangat kerepotan ketika para tuan sudah pulang, jadi aku harus membantunya," ujar Zemira menjelaskan.
Ia dibantu berdiri oleh Atlas. Merasa berat untuk melangkah, Zemira sekali lagi memeluk kekasihnya. Tidak pernah terpikir, bahwa malamnya bersama Nata yang dingin bisa berakhir lama, membuatnya menyita cukup banyak waktu istirahatnya, ditambah ibunya yang menambah sakit kepala menjelang tidur. Pun pagi-pagi tadi, setelah para tuan sibuk dengan kegiatan akhir pekan mereka, Zemira tidak memanfaatkan kesempatan untuk tidur sebentar. Ia segera ke sini, guna melegakan hati atas sesak beban pemberian ibunya kemarin.
Atlas turut memberikan tepuk ringan di pundak Zemira, sebagai bentuk dukungan untuk kekasihnya. Ia memeluk singkat, karena Zemira segera melepaskan diri.
"Kau ingin kuantar?" tanya Atlas, ketika Zemira mengumpulkan beberapa barangnya; tas serta dua buah paper bag. Ia mengamati setiap tindakan Zemira dalam diam.
"Tidak perlu. Kau juga harus bekerja." Zemira menolak lembut, disusul senyum tipis di bibirnya. "Kita harus bekerja keras! Supaya setelah pernikahan, setidaknya beberapa hari, kita bisa bersantai karena pekerjaan lebih awal diselesaikan."
"Berat untuk berpisah, tetapi ... baiklah, sesuai permintaanmu."
"Aku akan memesan taksi langgananku setiap ke sini, kau tidak perlu khawatir. Aku sudah sering bepergian ke sini tanpa ada yang membahayakan. Mungkin, aku bisa tidur selama perjalanan nanti."
"Jaga dirimu, oke? Kau harus menghubungiku ketika kau tiba di rumah nanti. Jika kau merasa curiga terhadap sekitarmu, jangan segan menghubungiku, oke?"
Zemira mengangguk antusias atas saran Atlas tersebut, membuat sang kekasih menampilkan senyum puas. Atlas mengusap lembut kepala Zemira, lalu keduanya berpisah usai saling berpamitan.
Gadis itu berjalan gontai menuju depan gerbang, berdiri di sana selama beberapa saat setelah menghubungi taksi yang sering ia gunakan jasanya mengantar jemput Zemira dari rumah impiannya ini, ke rumah tempatnya bekerja. Tidak butuh waktu lama hingga mobil yang ia tunggu berhenti di depannya. Zemira membawa barang-barangnya ikut serta bersamanya memasuki mobil. Usai menyebutkan alamat, ia membuat dirinya nyaman dengan bersandar pada jendela. Matanya terpejam. Hanya butuh hitungan detik hingga ia kehilangan kesadarannya.
Baru setelah suara deretan klakson mengisi indera pendengaran Zemira, ia segera mengumpulkan segenap kesadarannya. Mengetahui, bahwa ia sudah setengah perjalanan. Tubuhnya direnggangkan sebentar. Ia tersenyum ketika matanya mengabsen paper bag. Mengecek sekali lagi isi-isi paper bag untuk memastikan bahwa semua hadiah sudah siap.
Meski ini terhitung murah, Zemira sangat berharap bahwa nanti, setelah kepergiannya, ia tidak akan mudah dilupakan oleh tuan-tuannya, terutama Zoe. Namun, senyum harapan Zemira segera menghilang setelah ia mencari sesuatu, dan tidak menemukannya.
Dompet untuk Zoe.
Sejenak, ia berhenti untuk bergerak demi mengumpulkan sisa-sisa memorinya. Memastikan bahwa ia benar-benar sudah memilihkan dompet khusus yang diidamkan oleh Zoe, bahkan membayarnya. Benda itu bahkan tertulis di struk belanja. Namun, dimana?
Zemira mengecek tasnya, bahkan bawah kursi, tetapi tidak ada. Tindakannya hanya membuat sang supir melirik aneh, sehingga ia segera menghentikan pergerakannya.
Gadis itu menggigit ujung jarinya, menekan pikiran sendiri agar segera menemukan ingatan mengenai dompet tersebut. Hingga ia mendapati bayangan bahwa setibanya di rumah, tubuh lelah Zemira segera didaratkan pada sofa. Paper bag-nya dilempar secara asal. Bahkan, salah satu paper bag dalam keadaan terbalik ketika Zemira mengambilnya sebelum meninggalkan rumah tadi.
Astaga! Zemira memekik dalam hati.
Gadis itu menyugar gelisah. Ia melupakan benda penting itu. Sekarang, bagaimana? Ini sudah setengah perjalanan, tetapi jika tidak mendapatkan hadiah itu sekarang, entah kapan Zemira sempat untuk kembali ke rumahnya. Ia melirik sejenak jam di ponselnya, memastikan bahwa ia masih memiliki waktu untuk kembali ke rumah yang akan ia tempati seumur hidup nanti.
Berat hati, Zemira memanggil supir. "Bisa tolong, putar arah, Pak? Saya meninggalkan barang di rumah lama, dan itu sangat penting. Sulit untuk ke rumah tadi, mulai besok, karena saya harus bekerja ...." Di akhir kalimat, Zemira menurunkan suaranya, begitu memelas memohon pada si supir.
Tampaknya, karena beberapa kali Zemira menggunakan jasanya hingga sudah bisa dikatakan sebagai pelanggan setia, sang supir beruntungnya memenuhi perintah Zemira. Penuh kecemasan, Zemira turut menatap jalanan dan jamnya secara bergantian. Setelah beberapa puluh menit perjalanan, ia akhirnya tiba di gerbang rumah impiannya. Zemira keluar terburu-buru dari mobil, meninggalkan barang-barangnya, bahkan pintu mobil yang terbuka begitu saja. Menjelang tangga yang akan ia naiki, lari Zemira berubah menjadi langkah-langkah perlahan. Bukan karena napasnya yang menderu cepat, atau karena lelah. Zemira tidak merasakan hal itu. Ia mempertajam telinganya ketika menangkap suara feminim dari dalam rumahnya.
Detak-detak dalam dada Zemira berubah keras memekakkan telinga, ketika setiap langkah yang ia ambil mendekat, semakin jelas pula suara tawa di dalam rumah tersebut. Disusul sahutan dari Atlas yang terdengar begitu akrab, begitu ramah, dan ... begitu mesra dengan suara tersebut.
Anehnya, suara feminim itu begitu mudah terbaca oleh Zemira. Meski ia beberapa kali menggelengkan kepala secara kasar demi menolak saran kemungkinan yang pikirannya tawarkan.
Tidak mungkin .... Tidak mungkin bahwa suara itu .... Zafira. Namun, dunia seakan tidak mengizinkan penolakan Zemira menjadi kenyataan.
"Kenapa, Zafira? Bukankah kau suka dengan desainnya? Aku harus menjalani sedikit pertengkaran dengan Zemira demi menetapkan desain ini di langit-langit ruangan. Kau tahu sendiri, Zemira menyukai sesuatu yang sederhana. Ia kurang suka dengan ukiran rumit ini, tetapi demi dirimu ... aku memaksakan kehendak pada Zemira."
Ucapan Atlas segera meruntuhkan pertahanan Zemira, bersama kekuatannya hingga ia nyaris jatuh terduduk di lantai, jika tangannya tidak segera menopang pada dinding. Mata Zemira telah buram sepenuhnya ketika ia mengedarkan pandangan melihat sekitaran rumah impiannya. Rumah yang ia bangun dengan menyisihkan hasil uang kerjanya, setelah sebagian lagi telah diakuisisi oleh ibu dan adiknya.
Sekarang ... rumah impiannya juga ditentukan oleh adiknya juga?
Seakan belum cukup, Zemira mendengarkan pujian manja Zafira pada Atlas. Masih mencoba berpikir positif bahwa Atlas begitu menghormati calon adik iparnya, tetapi dari bagaimana Zafira menyebut nama Atlas beberapa kali ... Zemira tidak bisa mempertahankan pikiran positifnya. Tambahan lagi, Atlas menambahkan guncangan baru untuk jiwa Zemira karena ucapannya.
"Maafkan aku, Sayang. Zemira tidak ingin ditolak ketika mengatakan akan ke sini. Aku tidak punya pilihan lain, selain memenuhi keinginannya sebentar. Sekarang, setelah dia pergi, kita akan bersenang-senang malam ini ...."
Zemira mengumpulkan beberapa napas kasarnya setelah mendengarkan penjelasan tersebut. Kedua kakinya dikuatkan untuk berdiri. Namun, matanya tidak bisa berhenti menghasilkan cairan bening yang selalu siap siaga untuk tumpah ketika ia mulai melangkah memasuki rumah.
"Atlas! Zafira!" panggil Zemira dengan suara lantang bergetar.
Bahkan, calon ipar itu tengah bergelung di atas sofa panjang saling memeluk. Bersama embusan napas kasarnya, Zemira turut menjatuhkan setetes air matanya.
"Kalian ...." Zemira buntu, mendadak kehilangan kalimat sumpah serapah yang seharusnya ia sampaikan sekarang ini. Otaknya kesulitan untuk berpikir, karena sibuk membaca rasa sakit di dalam dada Zemira.
Atlas segera bangkit dari posisi berbaringnya. Zafira yang menekan tubuhnya ikut berdiri secara terpaksa, tampak santai meski atmosfer dalam ruangan kini panas dan pengap karena fakta mengejutkan ini. Atlas sedikit panik, berdiri memperkecil jarak pada Zemira.
"K—kau kembali? Kau tidak mengatakan apa—"
Laki-laki itu tidak diberikan kesempatan untuk memperpanjang penjelasannya, karena sebuah tamparan segera menghentikan suara Atlas.
Hening. Hanya ada suara deru napas Zemira yang mengisi ruangan selama beberapa saat.
"Kalian ...." Jemari Zemira gemetar ketika menunjuk sang kekasih dan adiknya secara bergantian. Air matanya tidak lagi jatuh setetes, tetapi beruntun menuruni pipinya. "APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN, HAH?!"
"Z—Zemira ... aku bisa menjelaskan ...." Atlas begitu kacau merangkai kalimat. Tangannya tertahan di udara, dan berakhir mengusap wajah secara kasar ketika ia tidak menemukan jawaban yang sesuai.
"Apa lagi, Atlas? Apa yang memangnya dua manusia berbeda gender lakukan di atas sofa dengan saling menindih? Apa kau pikir aku terlalu bodoh, hingga meski aku melihat segalanya dengan mata kepalaku sendiri, aku masih mau mempertimbangkan penjelasan omong kosongmu itu?" Zemira membantah, sama sekali tidak bisa mengendalikan suara gemetarnya. Ia melirik pada Zafira yang masih berada di samping sofa, berdiri tak acuh. Tangannya yang terlipat depan dada, menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak terpengaruh dengan keadaan kacau Zemira sekarang ini. "Kau!" Zemira mendorong bahu Atlas sekuat tenaganya bisa. Ia berdiri di hadapan Zafira dengan mata memerah, dan kepalan tangan di sisi tubuh yang menunjukkan betapa kuatnya Zemira menahan gejolak emosinya. "Apa kau tidak pernah bersyukur dengan segala pemberianku, Zafira? Mengapa kau harus mengambil calon suamiku?! Setelah semua ... semua yang kuberikan untukmu, dan kau berhasil mengambil semua kasih sayang Ibu untukmu seorang diri, apa ... apa kau tidak bisa sedikit saja, Zafira ... sedikit ... saja, kau menghargai dan berterima kasih padaku? Apa tidak bisa? MENGAPA KAU HARUS MENGAMBIL CALON SUAMIKU, HAH?!"
Zemira hilang kendali, hingga tangan yang berusaha ia tahan untuk tidak pernah menyakiti sang adik, kini spontan bergerak naik. Telapak tangannya membuka cepat, dan hampir mendarat di pipi Zafira, tetapi gadis di depan Zemira lebih cepat menangkis, dan mendorong tangan Zemira dengan lebih kasar.
"Apa kau mulai memperhitungkan segala kebaikanmu, Zemira?" tanya Zafira.
Zemira bersiap melawan dengan membuka mulutnya, tetapi Zafira mengambil sebuah langkah hingga Zemira segera menutup kembali mulutnya.
"Anak pungut tidak tahu diri!" hardik Zafira. "Apa kau tahu? Jika kau menjual tubuhmu pun, itu tidak akan pernah sepadan dengan semua yang Ibu telah berikan padamu, Zemira! Kau sialan ... tidak tahu terima kasih, seharusnya memang Ibu tidak pernah memungut anak panti asuhan sepertimu!"
"Memang mengapa jika aku hanya anak pungut? Aku bahkan lebih bermanfaat untuk keluargamu, daripada dirimu sendiri!" Zemira menekan gigi-giginya akibat amarah yang sulit untuk diredam. Ia menarik kuat bagian pinggang dari dress navy milik Zafira, sekadar untuk digenggam. "Kau pikir dari mana kau bisa mendapatkan uang untuk membeli pakaian ini jika bukan dari gajiku, hah?! Kau bahkan tidak bisa menghasilkan apa pun, bahkan sepeser uang sekalipun! Kau hanya tahu meminta! Kau hanya tahu merebut semua yang kumiliki—"
Zemira berhenti berbicara secara paksa ketika pipinya mendapatkan sengatan perih dari telapak tangan Zafira. Gadis yang ia anggap sebagai adik sendiri ini, bahkan mulai menyakitinya.
Ketika Zemira mulai melirik adiknya, segala kasih sayangnya lenyap seketika. Amarahnya sudah tergambar jelas dari matanya yang mulai memerah.
Zafira mundur selangkah, dengan kedua tangan mengepal kuat. Sepertinya tahu dengan baik, bahwa kakaknya sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi sekarang.
To Be Continued...
Aku sedang mencari bintang. Kalian bisa menemukannya? Klik bintang itu, biar aku tahu kamu menemukan bintangnya;)
Jangan lupa kirimkan pendapat/perasaan kamu saat baca bab ini di kolom komentar🌹
Next >> Putrie-W
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro