19. Different Way to Love
Memori Zemira seketika hanya diisi gelap setelah memutar adegan ulang ia menuruti Nata untuk membuka baju. Gadis itu bergidik karena baru membayangkan apa jadinya jika Nata menggunakan kesempatan itu untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Baik di masa lalu ataupun kini, Zemira tidak pernah melihat Nata membawa pulang seorang gadis ataupun mendengar tuannya itu berkencan. Karena hal itulah Zemira sungguh mengira bahwa umpatan Kai pada kakaknya selama ini adalah fakta.
Zemira pening. Mulai dari sekarang ia akan sungguh-sungguh waspada terhadap Nata. Ia tidak akan lagi menuruti laki-laki itu ketika diminta membuka pakaian walaupun tujuannya adalah untuk mengobati luka. Namun, walau begitu, Zemira tidak dapat melakukan apa pun saat ini. Ia hanya akan dicap orang gila jika tiba-tiba melompat dari mobil hanya untuk melarikan diri dari Nata. Gadis itu pasrah Nata membawanya ke mana saja, melakukan apa saja, kecuali untuk hal-hal di luar batas norma.
"Wajahmu mendadak seperti tidak ada darahnya, Zemira. Kau baik-baik saja?"
"Jangan khawatirkan saya, Tuan. Saya hanya sedang ... sedang ...."
"Sedang apa? Merencanakan pelarian diri?"
"Ah, bukan begitu, Tuan."
Zemira cepat-cepat menatap Nata. Ia tidak ingin tuannya salah paham.
"Sebelumnya kau benar-benar tidak memiliki kewaspadaan padaku, ya?"
Satu sudut bibir Nata tertarik. Sangat manis, pikir Zemira, sebelum ia terburu-buru melenyapkan pikiran itu. Karena Nata yang sehari-hari sangatlah menyeramkan, membuat Zemira enggan meletakkan harapan apa pun pada tuan mudanya itu. Bahkan hanya sekadar berharap sering melihat Nata tersenyum pun Zemira tidak berani.
"Sebelumnya saya sadar diri sekalipun Anda tidak memiliki masalah, seorang pelayan pun tidak bisa membuat Anda tertarik."
"Siapa yang mengatakan seperti itu?"
"Baru saja saya yang mengatakannya, Tuan."
Kali ini Nata tertawa pelan, tergelitik oleh keluguan Zemira saat menyahut.
"Nyatanya aku benar-benar tertarik dengan seseorang, Zemira."
"Saya senang mendengarnya, Tuan. Semoga hubungan Tuan dengan gadis itu selalu baik-baik saja."
"Ya, kuharap juga begitu."
Nata mengucapkan kalimat tadi dengan pelan sambil melirik Zemira.
Mereka tiba di sebuah butik, para pekerja menyambut mereka dengan ramah, menyediakan minuman serta camilan. Awalnya Zemira mengira hanya akan disuruh mencoba satu pakaian, tetapi ternyata sampai lima puluh pieces. Gadis itu masih bingung kenapa dirinya yang diajak kemari, bukan gadis yang Nata sukai saja. Zemira sampai kelelahan, karena penilaian Nata cukup ketat dan mengharuskan Zemira bolak-balik menunjukkan pakaiannya.
"Ganti."
"Aku tidak suka."
"Terlihat sangat tua."
"Warnanya membuatku tidak tertarik."
"Bakar saja butik kalian jika tidak punya koleksi yang bagus lagi."
Dan Zemira benar-benar kehilangan tenaga setelah mendengar semua komentar Nata. Ujung-ujungnya ada lima belas pieces produk yang Nata sukai. Apakah sampai di situ saja? Tentu tidak. Mereka pergi ke butik yang lain dengan komentar yang rata-rata hampir sama.
"Kalian kira gadis itu cocok dengan model dada terbuka seperti ini? Ganti."
"Aku bilang berikan yang bagus, bukan yang membuatnya akan terlihat seperti ibuku."
Gadis itu nyaris frustrasi karena Nata sama sekali tidak memfilter ucapannya. Wajah-wajah para pekerja butik itu sampai tegang dan Zemira yang merasa tidak enak hati. Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa, karena yang punya uang yang berkuasa.
Jam makan siang tiba, Nata mengajak gadis itu ke restoran setelah membayar lima gaun saja di butik sebelumnya. Sesungguhnya Zemira sangat lapar, tetapi nafsu makannya berkurang setelah mereka ulang kegilaan yang tuannya lakukan sejak tadi.
"Maaf, Tuan. Kenapa Anda tidak langsung mengajaknya berbelanja? Bukankah itu akan mempersingkat waktu."
"Kenapa? Kau keberatan menemaniku? Kau ingin berkencan dengan kekasihmu?"
Bulu kuduk Zemira berdiri mendapat tatapan tajam dari Nata. Ia buru-buru menggeleng dan melanjutkan makan. Di dalam hati gadis itu mengumpat habis-habisan. Demi Nata, Zemira bahkan rela tidak melirik ponselnya sedikit pun sejak tadi. Perubahan suasana hati tuannya yang tidak menentu sudah lebih dulu Zemira antisipasi. Sayangnya, tetap saja Zemira mendengar nada tanpa perasaan khas Nata.
"Setelah ini kita harus pergi ke toko sepatu."
"Apakah ukuran kaki gadis itu sama dengan saya, Tuan?"
"Sama. Aku bisa memastikannya."
"Ah, baiklah."
Kelangsungan pekerjaannya ada pada Nata, jadi Zemira hanya bisa menuruti kemauan laki-laki itu. Setelah dari restoran ada dua toko sepatu yang mereka datangi. Zemira tidak bisa membayangkan setiap harga yang ia lihat di sepatu-sepatu hak tinggi tersebut. Jika digabungkan, seluruh pakaian yang sudah Nata bayar dan sepatu-sepatu ini, mungkin gaji Zemira selama lima tahun pun belum cukup untuk membelinya.
Ia lelah, tetapi ia juga menikmati setiap kali pekerja butik membawakan dan membantunya memakai sepatu baru. Bagaimana Nata melihatnya, menilainya, juga membuat Zemira sedikit berkhayal bahwa ia-lah Cinderella yang sedang dimanjakan. Naif memang, tetapi tentu saja ia tahu batasan diri dan sangat mensyukuri bisa mencicipi kehidupan ala milyuner selama satu hari.
Sore tiba dan aksi Nata belum berhenti juga. Zemira yang sudah lesu dipaksa untuk turun dan memilih model lemari untuk semua pakaian dan sepatu yang sudah terbeli tadi. Gadis itu hanya berharap satu hal, bahwa semua hadiah ini akan diterima dengan baik oleh seseorang yang istimewa bagi Nata tersebut. Jika tidak, rasanya sangat rugi karena Zemira sampai melambaikan tangan untuk mengganti pakaian di butik keenam tadi.
Pemilihan lemari sudah selesai. Zemira menunjuk yang menurutnya cantik. Lemari panjang yang terbuat dari kayu berkualitas dan terlihat sangat kokoh. Warna krem dan ukiran di bagian-bagian tepinya membuat Zemira jatuh hati. Begitu melihat harganya, lagi-lagi Zemira menghela napas panjang. Itu sangat setara untuk sebuah karya yang indah. Sungguh beruntung gadis yang Nata sukai, pikir Zemira.
"Kau pasti lelah."
"Terima kasih karena mengerti perasaan saya, Tuan."
"Kau sudah lapar?"
"Belum."
"Baguslah. Akan kuajak kau ke suatu tempat lagi."
Zemira yang tadinya bersandar lesu kini tiba-tiba duduk tegap. Ia kembali tersadar bahwa berduaan dengan Nata apa saja bisa terjadi. Jantung Zemira berdentam-dentam ketika Nata mengarahkan mobil mereka ke sebuah hotel bintang enam. Gadis itu menatap curiga pada tuannya yang masih menyetir dengan santai.
"Tuan ...."
"Apa yang kau pikirkan, Zemira?"
"Saya harap ini tidak seperti yang saya pikirkan, Tuan."
Wajah Zemira semakin pucat saat mobil mereka sudah melewati petugas pemeriksaan. Mereka sungguh-sungguh masuk ke area hotel itu.
"Apa? Aku membawamu ke sini untuk ditiduri?"
Gadis itu syok karena Nata menebak dengan benar ditambah ekspresi datar sang tuan.
"Astaga, Tuan. Tolong jangan bicara tanpa sensor seperti itu."
"Memang kau yakin aku bersedia menghabiskan malam denganmu?"
Dada Zemira sesaat seperti terbakar, tetapi mau kesal seperti apa pun, ia tak bisa. Ini Nata yang hampir tidak pernah memikirkan perasaan lawan bicaranya. Pada adik-adiknya saja ia tega, apalagi hanya sebatas pada pembantu. Pemikiran itulah yang membuat Zemira lebih rileks walau kini Nata sudah mengajaknya turun dari mobil.
"Saya sedang berpikir haruskah saya berteriak pada diri sendiri."
Sebelah alis Nata terangkat.
"Teriakan seperti apa?"
"Lari, Zemira, lari!"
Gadis itu mengucapkannya penuh semangat, sehingga seorang pegawai wanita di sebelahnya ikut tertawa.
"Kau tahu, Zemira? Terkadang berlari hanya membuat lelah jika pada akhirnya kau berhasil ditangkap. Jadi, bagaimana? Kau mau mencoba lari dariku? Aku tidak keberatan untuk terus mengejarmu."
Saat ini pikiran Zemira buntu. Susah payah ia membiasakan diri dengan Nata selama seharian, berusaha berpikir positif, tetapi baru saja laki-laki itu kembali mematahkan keyakinan Zemira. Masih terlalu cepat untuk menilai, tetapi juga terlalu lambat jika Zemira tidak paham sama sekali sinyal-sinyal yang Nata beri sejak mereka meninggalkan rumah tadi pagi.
Gadis itu hanya terdiam walau sudah mengetahui Nata ternyata mengajaknya untuk bersantai di spa, bahkan ... di ruangan yang sama.
Kemarin adalah hari yang tidak ingin Zemira ulangi lagi. Ia sudah puas menjadi Cinderella selama satu hari dan juga merasa cukup atas tekanan yang ia dapat setelah Nata mengucapkan maksud hati. Ia kini hanya perlu menjaga jarak dengan Nata yang bisa saja hanya sedang ingin bermain-main. Lagi pula Nata sudah memiliki gadis istimewa yang rela membuat sang tuan muda menghabiskan begitu banyak uang kemarin.
Zemira masih merasa penat, sehingga ia tidak membantu yang lainnya atas pekerjaan rumah karena ini masih hari liburnya. Namun, seperti yang sudah-sudah, Zemira tidak bisa beristirahat dengan benar karena Nora terus saja mengganggunya lewat telepon. Zemira bingung bagaimana cara membuat mereka paham bahwa ia tidak akan lagi memberikan uang sebanyak yang dulu-dulu.
"Ibu—"
"Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu, Zemira! Uang yang kau kirimkan sudah habis, sekarang bagaimana kami akan hidup?! Kenapa kau jadi tidak tahu diri seperti ini?!"
Seketika Zemira sakit kepala mendengar nada tinggi Nora.
"Ibu, aku tahu kalian memiliki tabungan. Bahkan seharusnya kalian masih punya hasil uang panen sebelumnya, 'kan? Apa Ibu lupa bahwa aku tidak pernah menikmati uang itu?"
"Kau! Apa yang kau bicarakan?! Uang apa?!"
"Jangan berbohong, Bu. Aku tahu semuanya. Ibu hanya memerasku untuk menimbunnya menjadi milik Ibu, lalu mengajak Zafira bersenang-senang."
"Kurang ajar! Mulutmu benar-benar seperti ular, Zemira! Aku menyekolahkanmu, memberikanmu status di masyarakat, tapi makin hari kau makin keterlaluan saja!"
Gadis itu menghela napas panjang, lelah pada pembicaraan yang terus-menerus berputar tentang uang. Zemira harus mencari cara terlepas dari keluarganya itu, karena ia tidak memiliki utang apa pun yang mengharuskannya untuk menerima ketidakadilan.
"Bu, jangan lupa, aku yang menyekolahkan Zafira. Kalau Ibu menganggapku berutang, bukankah Ibu juga memiliki utang yang lebih besar padaku?"
Zemira yang lemah di hadapan Nora sudah mati. Ia tidak ingin lagi diam ketika dihina. Gadis itu sudah berada di titik yang mana hatinya tidak peduli lagi sekalipun Nora dan Arvan sakit hati atas kata-katanya.
"Kau keterlaluan, Zemira."
"Dan Ibu, jika Ibu masih merasa kurang dengan uang yang aku kirim, mulai bulan depan aku tidak akan mengirimnya lagi "
"Apa?! Heh?! Apa yang kau kata—"
Nora tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Zemira memutuskan secara sepihak. Gadis itu menelungkupkan ponsel, mengabaikan getarnya yang sudah pasti panggilan ulang dari Nora. Berkali-kali panggilan tidak terjawab Nora gagal menggoyahkan sisi iba Zemira. Satu pesan yang masuk penuh dengan emosi itu pun tak membuat Zemira luluh untuk kembali membiayai orang tuanya seperti dulu.
'Kalau kau terus-terusan seperti ini, aku tidak akan segan mencoretmu dari daftar kartu keluarga. Kau paham? Aku tidak main-main. Kuberi waktu satu minggu. Jangan sampai kau menyesal, Zemira.'
Gadis itu tertawa geli membaca pesan Nora.
'Bu, apakah Ibu tahu untuk mengeluarkan seseorang dari daftar keluarga tidaklah mudah? Negara kita sangat ketat akan peraturan itu. Kalau Ibu punya uang untuk mengurusnya, silahkan lakukan. Aku akan menunggu kabar baiknya.'
Kini dicap sebagai apa pun Zemira sudah enggan memikirkannya. Hanya ia yang tersakiti dan itu jelas sangat tidak adil. Hatinya telah ia bekukan untuk Nora, Arvan, dan Zafira. Sudah cukup Zemira mengorbankan banyak hal demi mereka hanya karena ia pernah diadopsi. Bahkan jika Zemira bisa kembali lagi ke masa lalu, ia akan memilih tinggal di panti asuhan daripada menyanggupi permintaan Nora untuk menjadi putrinya hari itu.
"Hah. Hariku kacau lagi," keluh Zemira seraya bangkit dari ranjang untuk mengambil susu dari lemari pendingin.
"Ya Tuhan! Zemira! Zemira! Astaga! Kau di mana?!"
Teriakan Zoe membuat Zemira membelalak. Gadis itu buru-buru keluar dari kamar dan mendapati Zoe terengah-engah datang dari luar paviliun.
"Ya Tuhan, Zemira! Kau harus melihatnya!"
"Ada apa, Bibi? Tenanglah sebentar. Katakan dengan pelan-pelan."
Zoe mengatur napas sesuai perintah Zemira sebelum ia kembali menggebu-gebu.
"Ada kiriman yang sangat banyak untukmu, Zemira!"
"Untukku?" Gadis itu kebingungan.
"Ya, ya! Itu! Mereka datang!"
Zemira mengikuti arah telunjuk Zoe dan kini Zemira kehilangan kata-kata melihat beberapa orang mengangkut lemari yang sangat besar. Lemari itu ... sangat familier untuk Zemira, sebab baru kemarin ia melihatnya dan memilih untuk gadis yang akan Nata beri hadiah.
Tapi kenapa dibawa kemari?
"Tuan Nata memberikannya untukmu."
"Bibi pasti bercanda," Zemira meragu.
"Untuk apa aku melakukannya, Zemira? Lihatlah. Mereka akan benar-benar membawanya kemari."
Zemira dan Zoe terpaksa berpindah posisi sebab orang-orang itu menggotong lemari ke kamar yang ada di sebelah Zemira berkat instruksi Nata yang ternyata ada di belakang orang-orang itu. Tidak ingin membuang waktu, Zemira menghampiri Nata yang tengah memperhatikan posisi lemari itu diletakkan.
"Tuan, saya harap Anda menjelaskannya."
"Apa?"
"Anda masih bertanya? Bukankah lemari ini untuk gadis yang Anda sukai?"
"Benar."
"Lalu kenapa dibawa kemari?"
"Karena gadis itu adalah kau."
Terlalu syok, Zemira sampai mundur beberapa langkah. Ia kehilangan kata-kata, apalagi melihat reaksi rekan-rekan kerjanya yang menunjukkan terkejut. Dan Zoe, wanita itu menganga beberapa saat atas pengumuman yang baru saja Nata beri.
"Kalau lemari ini untuk saya, berarti—"
Kalimat Zemira terputus karena ada belasan orang yang datang ke paviliun dengan berbagai pakaian terbungkus plastik bening dan kotak-kotak yang sudah Zemira duga isinya adalah sepatu. Gadis itu berjongkok, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia tidak memahami situasi ini dengan baik. Zemira tidak bisa berkata-kata atas aksi Nata ini. Semua pakaian mahal dan sepatu yang ia coba kemarin ternyata untuk dirinya sendiri.
"Tuan, kalau bercanda pun ada batasnya. Tolong katakan bahwa ini semua bukan untuk saya."
Gadis itu mendongak untuk menatap Nata yang berdiri di hadapannya.
"Siapa yang bercanda? Aku bersungguh-sungguh menyukaimu, walau agak telat menyadarinya. Dan aku membelikan ini semua agar kau senang."
Jeritan para gadis di paviliun itu membuat Zemira hanya bisa menunduk dalam. Ia malu, bingung, dan tidak tahu harus bagaimana menyikapi tuannya yang gila itu.
"Bagaimana Anda bisa tiba-tiba menyukai saya? Mustahil, Tuan."
Nata berjongkok, menatap Zemira penuh keseriusan.
"Temanku yang mengatakan jika aku selalu memikirkan seseorang, artinya aku menyukainya."
Lelucon apa ini? tanya Zemira dalam hati.
"Baiklah, Tuan. Anggap saja Anda benar-benar menyukai saya dan ingin memberikan hadiah. Tapi kenapa harus sebanyak ini? Anda cukup memberi saya satu barang saja. Sekarang saya bahkan bisa membuka dua toko dengan koleksi barang-barang itu."
Zemira terlihat putus asa pada sikap Nata yang terlalu santai. Tuannya itu benar-benar tidak peduli bagaimana pandangan para pelayan yang lain.
"Kenapa aku harus memberi satu kalau aku bisa memberi puluhan atau ratusan, Zemira?"
Lagi, para pelayan menjerit girang mendengar Nata yang blak-blakan, sedangkan Zemira terus geleng-geleng tidak percaya bahwa ia mengalami hal tidak terduga seperti itu.
To Be Continued...
Ditulis oleh Putrie-W
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro