1. Fly with the Wind
"Kau sudah mendapat gaji bulan ini, bukan? Segera kirimkan pada Ibu. Zafira butuh membeli pakaian baru karena miliknya sudah usang. Ibu juga harus membeli keperluan rumah."
Zemira memejamkan mata, berusaha menghalau perih di dada yang selalu saja muncul tanpa permisi lebih dahulu. Lalu seperti biasa, Zemira masih tidak mampu menahan air mata yang segera meluncur membasahi pipi putihnya.
"Nanti malam aku berencana pulang, Bu. Tidak masalah, bukan, jika Ibu dan Zafira berbelanja besok?"
"Tidak perlu pulang. Kamu kirim saja uangnya ke rekening Ibu dan fokus saja bekerja supaya bisa mendapat bonus."
Gadis itu tertegun mendengar ucapan yang selalu sama setiap kali mengatakan akan pulang pada sang ibu.
"Ibu tidak merindukanku? Aku sudah lama tidak kembali ke rumah, bukan? Besok akhir pekan, setidaknya aku akan menginap selama dua hari. Kita bisa pergi berbelanja bersama."
"Kau sudah besar, untuk apa Ibu masih merindukanmu? Sudahlah. Cepat kirimkan uangnya. Ibu tunggu hari ini."
Tidak ada ucapan perpisahan dan sambungan telepon terputus begitu saja. Gadis berkaki jenjang itu menggenggam erat ponselnya sembari menghapus basah di wajah. Sakit lagi hati Zemira. Berminggu-minggu tidak berjumpa, ternyata ibunya tidak merasakan kerinduan yang sama. Selain kasih sayang, sungguh Zemira tidak mengharapkan yang lain. Namun, hal itu serupa angan-angan yang sulit untuk Zemira gapai lagi. Benar gadis itu pernah merasakan derasnya cinta dari sang ibu, tapi ketika Zafira hadir, dunia Zemira berubah.
Zemira menatap miris tas yang teronggok di ranjang dengan beberapa pasang pakaian di dalamnya. Rencananya untuk pulang akan ia tunda, karena Zemira takut tidak sanggup melihat bagaimana sang ibu hanya mencurahkan kasih sayang untuk Zafira. Gadis itu cemburu pada adiknya, tapi tidak mampu melakukan apa pun karena perasaan Zemira selalu diabaikan oleh orang tuanya. Mau berapa kali pun mencoba, Zemira tidak bisa menjadi berani untuk memberontak dan meminta dengan lantang hak yang seharusnya didapatkan.
Air mata Zemira mulai kering, hatinya juga sedikit membaik setelah mengalihkan pikiran dengan hal-hal yang membuatnya senang seperti es krim dan permen kapas. Karena dua hal itu, Zemira gegas kembali ke dapur untuk memeriksa apakah makan malam untuk para tuannya sudah siap.
Setelah tidak ada lagi pekerjaan dan para tuannya sudah meninggalkan ruang makan, gadis berambut sedada itu gegas bersiap untuk menyenangkan perasaannya. Kalau tidak dapat menemukan penjual permen kapas, dia akan membeli es krim, begitulah yang Zemira pikirkan. Namun, siapa sangka, saat keluar dari paviliun khusus asisten rumah tangga, Zemira bertemu dengan Nata yang sedang berjalan mendekat. Tak biasanya Nata pergi ke paviliun asisten, sehingga Zemira jadi khawatir jika ada masalah.
"Selamat malam, Tuan Nata. Apakah terjadi sesuatu?"
Laki-laki bertubuh tinggi dengan aura serius itu menyunggingkan sedikit senyum pada Zemira. Hati Zemira jadi sedikit lega, karena jika Nata memberi senyum walau sedikit, itu artinya tidak ada masalah berarti.
"Tidak. Aku hanya penasaran kenapa kau masih di sini. Bukankah tadi pagi kau sudah meminta izin untuk kembali ke rumahmu? Kau bilang merindukan keluargamu."
Sesaat Zemira tertegun mendapat perhatian dari Nata. Selama ini Zemira terbiasa dengan sosok tuannya yang irit bicara dan terkesan tidak peduli pada sekitar. Sedikit mengherankan untuk Zemira jika ternyata Nata peduli pada salah satu pekerjanya yang berencana berakhir pekan dengan keluarga.
"Kurasa saat ini pun kau tidak sedang bersiap pulang ke rumah."
Zemira sadar penampilan kasualnya sedang diperhatikan Nata, bahkan tas tangan kecil yang dia genggam tak luput dari penglihatan laki-laki itu. Gadis itu sedikit canggung karena biasanya selalu tampil dengan seragam kerja di depan Nata.
"Saya mengubah rencana, Tuan. Sekarang saya memang hanya ingin pergi sebentar menikmati angin malam dan membeli makanan ringan. Apakah Tuan membutuhkan sesuatu?"
"Dengan laki-laki? Kekasihmu?"
"Tidak. Saya sendiri."
"Mau kutemani?"
"Tuan?"
Merasa pendengarannya salah, Zemira ingin memastikan ulang. Namun, jawaban Nata kembali mengejutkan gadis itu.
"Aku sedang tidak ada pekerjaan. Biar kutemani kau berjalan-jalan. Bagaimana?"
Udara malam memang dingin, tapi Zemira yakin saat ini sel-sel darahnya sampai nyaris membeku. Sikap Nata membuat Zemira merinding karena gadis itu sedang menerka-nerka apakah ia sudah berbuat kesalahan fatal, lalu Nata sengaja ingin menghukumnya dengan cara berbeda. Memang tuan mana yang mau menemani bawahannya membeli permen kapas? Zemira bahkan tidak pernah berani mengkhayalkan adegan semacam itu.
"Tuan, jika ada sesuatu tolong katakan. Sungguh, saya takut jika tanpa sadar membuat kesalahan dan Tuan saat ini ternyata sedang menyimpan amarah besar."
Agar tidak terlalu canggung, Zemira memaksakan senyum.
"Kau memang selugu ini, ya, Zemira? Sayang kau sudah akan menikah."
"Ya, Tuan?"
Lagi, Zemira dibuat kebingungan, apalagi Nata tiba-tiba tertawa kecil sambil berkacak pinggang.
"Sudahlah. Aku tidak suka memaksa. Pergilah selagi belum larut. Hubungi aku jika terjadi masalah."
Nata memunggungi Zemira, tapi tidak lama kemudian laki-laki itu kembali mengubah posisi. Zemira hanya diam menanti sang tuan yang terlihat akan bicara.
"Zemira, tidakkah kau memikirkan ulang tentang rencana pernikahanmu dan tentang kau yang akan berhenti bekerja di sini? Bibi Zoe akan pensiun, aku ingin kau yang menggantikannya."
Masih tidak mengerti situasi yang sebenarnya, Zemira hanya menatap punggung Nata yang menjauh. Lalu gadis itu mengumpat di dalam hati karena belum berhasil menemukan apa kiranya kesalahan yang telah ia perbuat sehingga salah satu tuannya jadi bersikap aneh. Nata juga sampai menyinggung soal pernikahan Zemira dan rencana pengunduran diri sebagai penanggung jawab kedua di rumah besar itu. Satu bulan lalu saat menyerahkan surat pengunduran diri Zemira merasa tidak ada masalah. Baik Nata maupun adik-adiknya dan kedua orang tua mereka memaklumi keinginan Zemira yang ingin berkeluarga.
"Makanan tadi semuanya enak. Teh Tuan Nata tidak manis. Kudapannya sudah sesuai pesanan. Argh! Lalu apa?! Kau bodoh, Zemira!"
Gadis itu mengoceh sambil berjalan menyusuri aspal. Daripada memesan taksi, Zemira memilih berjalan kaki dengan pertimbangan tubuhnya butuh bergerak lebih karena jarang memiliki waktu untuk berolahraga. Pejalan kaki yang cukup ramai juga membuat Zemira tidak merasa sendirian dan khawatir di jalan.
Lelah berpikir tentang sikap Nata, Zemira menyudahi kerumitan di kepalanya dan menghampiri penjual permen kapas setelah berjalan beberapa kilometer. Gadis itu duduk di kursi panjang sambil menunggu pembeli yang lebih dulu datang darinya. Saat gilirannya tiba, wajah Zemira begitu ceria. Namun, hal itu tidak berselang lama. Ada kalimat yang mengusik Zemira secara tiba-tiba.
"Wah! Kau juga di sini, Zemira? Beberapa menit lalu mantan kekasihmu juga kemari."
Hati Zemira mulai kacau. Satu-satunya laki-laki yang pernah Zemira ajak ke sana adalah Atlas. Dan Atlas masih menjadi kekasihnya. Hal lainnya, Zemira hanya pernah berpacaran satu kali.
"Hei, Julian, jangan sembarangan bicara. Aku tidak punya mantan kekasih."
Mulanya Zemira akan mengabaikan omongan pedagang permen kapas yang usianya lebih muda darinya itu. Namun, ternyata tidak bisa. Zemira malah makin terusik karena tahu Julian tidak mendapatkan keuntungan apa pun jika mengarang cerita itu.
"Aku bersungguh-sungguh. Laki-laki yang kau kenalkan dua bulan lalu sebagai kekasihmu tadi datang kemari bersama seorang gadis."
Melihat wajah Zemira yang memucat, Julian menutup bibirnya secara mendadak dengan satu tangan. Laki-laki itu segera menyelesaikan pesanan Zemira dan memberikannya. Akan tetapi, Zemira hanya bergeming dan membuat Julian panik.
"Zemira, kau baik-baik saja?"
Karena hanya mematung, Julian menuntun Zemira untuk duduk. Gadis itu masih meyakinkan diri kalau yang dia dengar adalah kesalahpahaman semata. Atlas tidak mungkin mengkhianatinya. Satu bulan lagi mereka akan menikah. Walau hanya dipersiapkan pernikahan sederhana, Zemira tidak mempermasalahkannya karena yakin cinta Atlas jauh lebih mewah dari apa pun.
"Apa kau yakin itu kekasihku?" Zemira bertanya getir.
"Maafkan aku, Zemira. Aku tidak bermaksud melukaimu. Kukira kalian sudah berakhir."
Pada siapa aku harus percaya? Atlas yang mengajak seorang gadis berjalan-jalan di taman kota pada malam hari? Atau Atlas yang setia dan saat ini sedang berada di rumah?
"Ke mana mereka pergi?"
"Entahlah. Aku tidak memperhatikannya. Kau butuh sesuatu? Kau membuatku khawatir, Zemira."
Lagi, Zemira terdiam, berusaha menepis keraguannya berdasarkan kepercayaan yang selama ini ia beri pada Atlas. Tidak ada yang salah selama ini, Atlas selalu menunjukkan sikap sebagai kekasih yang baik. Gadis itu menghela napas panjang dan membayar pesanannya serta berterima kasih pada Julian. Walau penjual permen kapas itu berkali-kali menyebut nama Zemira, tapi Zemira mengabaikannya dan tetap berjalan menjauh.
Mencari Atlas di antara puluhan pengunjung taman kota sudah lebih dulu Zemira coret dari daftar pembuktian laki-laki itu tidak setia. Bisa saja Atlas sudah pergi dan yang Zemira lakukan hanya akan sia-sia. Maka dari itu Zemira menghubungi kekasihnya. Ada kecemasan yang mulai memenuhi dada gadis bercelana jeans panjang itu ketika panggilannya tidak kunjung dijawab. Namun, detik berikutnya ia merasa lega. Atlas menyapanya dengan ramah. Dan yang paling penting bagi Zemira adalah tidak ada kebisingan di sekitar Atlas.
"Merindukanku, Zemira?"
Gadis itu berhenti melangkah. Nada ramah seperti biasa, godaan yang sama, dan perasaan yang tak berubah ketika mendengar suara Atlas. Zemira membuang semua kecurigaannya bersamaan dengan angin yang baru saja membuat beberapa helai rambutnya bergerak. Atlas tidak mengkhianatinya, Zemira yakin itu.
"Tidak. Aku hanya sedang mencari tahu apakah kau sedang berkeliaran dengan seorang gadis tanpa sepengetahuanku."
Di seberang sana kekasihnya tertawa.
"Aku sedang di kamar. Tapi, Zemira, aku punya kekasih yang membuat para bidadari iri, bagaimana mungkin aku akan menduakanmu?"
Senyum Zemira mengembang, keyakinannya pada Atlas makin kokoh ditambah dengan beberapa gambaran indah tentang pernikahan mereka selanjutnya. Bagi Zemira, jika seluruh dunia berpaling darinya, asalkan ada Atlas Zemira yakin akan tetap bisa bertahan. Karena hanya Atlas yang menerima Zemira tanpa syarat.
Tinggal menghitung hari bagi Zemira untuk menyandang status baru sebagai istri Atlas. Gadis itu berbunga setiap saat, menggebu, dan segera ingin sampai pada hari yang telah ia nantikan. Dengan memiliki pendamping, Zemira percaya kehidupannya akan berubah. Tekanan dari orang tuanya yang selalu minta uang akan bisa Zemira tangani dengan dalih ia sudah tidak bekerja.
Walau bukan rumah mewah, Zemira sangat bahagia membayangkan istana barunya dengan Atlas nanti. Rumah yang berhasil dibeli dengan hasil menyisihkan sedikit uang setiap bulan serta uang tambahan dari Atlas sudah membuat Zemira puas.
"Kau masih di sana, Zemira?"
"Ah, iya! Maaf aku melamun sesaat."
"Apa yang kau pikirkan?"
Zemira mengulum bibirnya, merasa malu sekaligus senang dengan apa yang dia pikirkan sejak tadi.
"Aku sangat bahagia akan menikah denganmu, Atlas. Kau yang duduk menemaniku sampai selesai menangis di taman hari itu membuatku terkesan sampai saat ini. Bagaimana jika hidupku tanpamu, ya?"
Pertemuan Zemira dan Atlas adalah ketidaksengajaan. Saat itu Zemira sedang menangis di taman tanpa peduli tatapan aneh orang-orang sekitar. Lalu sosok laki-laki berkulit eksotis itu muncul, duduk di samping Zemira dalam diam, dan menyediakan saputangan bersih untuk seorang gadis asing yang tengah bersedih. Zemira yang terluka untuk kesekian kali karena perkataan ibunya terbawa oleh kelembutan Atlas. Laki-laki itu tidak bertanya ada apa ataupun memaksa Zemira bercerita, Atlas sabar menanti Zemira tenang dan menghentikan tangis. Setelahnya, Atlas mengajak berkenalan, bahkan membawa Zemira ke kedai es krim demi menyenangkan hati gadis itu.
Kesan luar biasa Zemira pada pertemuan pertama itulah yang membuatnya jatuh hati tanpa henti pada Atlas.
"Kau tidak akan bisa hidup tanpaku, Zemira, karena aku pun begitu."
Terlena, Zemira menjatuhkan dirinya di ranjang, lalu memeluk bantal seolah-olah itu adalah Atlas.
"Zemira, hari ini kau pasti lelah bekerja. Hari-hari terakhir biasanya seperti itu, bukan? Aku masih ingin mengobrol denganmu, tapi aku masih punya pekerjaan yang belum kuselesaikan. Maafkan aku."
"Ah, tidak apa, Atlas! Jangan merasa bersalah! Aku akan mematikan teleponnya."
"Selamat beristirahat, Zemira."
Beberapa detik setelah sambungan berakhir Zemira baru teringat telah lupa menyampaikan sesuatu pada Atlas. Mulanya gadis itu hendak menghubungi kembali, tapi dia urungkan karena merasa kalaupun Atlas terlambat tahu bahwa malam ini sebenarnya ada pesta perpisahan kecil, Atlas tak akan marah.
"Zemira."
Panggilan Zoe dari luar pintu gegas membuat Zemira melompat turun. Asyik berbincang dengan Atlas gadis itu sampai tidak memperhatikan waktu.
"Ya, Bibi, masuk saja."
Seorang wanita berusia lebih dari setengah abad memasuki kamar Zemira. Di tangan Zoe ada sebuah kotak hitam dengan pita warna emas.
"Apa ini, Bibi?" Zemira bertanya seraya menerima pemberian Zoe.
"Tuan Nata bilang kau pasti tidak punya pakaian yang layak untuk menghadiri sebuah pesta, sekalipun pesta kecil ini memang untukmu. Jadi, Tuan membelikanmu gaun dan alas kaki, agar kau terlihat cantik malam ini. Dan kurasa Tuan memang benar. Ya Tuhan, Zemira, entah bagaimana Tuan akan mengataimu jika kau pergi ke restoran mahal dengan kaus lusuh dan jeans panjang itu."
Alih-alih marah karena Nata terang-terangan seperti sedang merendahkan dirinya, Zemira hanya tertawa kecil. Satu tahun bekerja melayani Nata, Zemira paling mengenal jika laki-laki itu memang suka mengatakan apa adanya tanpa peduli lawan bicaranya sakit hati.
"Baiklah, baiklah. Aku akan memakai gaun ini. Kuharap Tuan tidak menyesal sudah menghamburkan uangnya demi pelayan sepertiku."
Zemira terkekeh sebelum tatapannya berpusat pada penampilan Zoe.
"Bukankah Bibi juga ikut? Kenapa tidak berganti pakaian?"
Wajah Zoe diselimuti sesal, dalam seketika Zemira merasa tidak nyaman.
"Perut Tuan Shaquille bermasalah, jadi aku akan menemaninya di rumah. Tuan Kai akan mengajak beberapa temannya kemari, jadi aku harus tinggal untuk memastikan tidak ada masalah dalam melayani mereka. Zemira-"
"Jadi maksud Bibi aku hanya akan pergi berdua dengan Tuan Nata?"
Tidak perlu dijawab, Zemira sudah sangat memahami situasi saat ini. Gadis itu melempar kotak gaun ke ranjang, menyesal pada keputusannya yang menerima niat baik Nata kemarin untuk memberikan perpisahan manis. Kalau ada Zoe, Shaquille, dan Kai, Zemira yakin keadaan tidak akan terlalu canggung. Namun, apa jadinya jika hanya berdua dengan Nata?
"Ya Tuhan, Bibi. Apa sebaiknya kubatalkan saja?"
"Kau akan mengecewakan Tuan Nata, Zemira. Cepatlah berganti pakaian. Tuan sudah menunggumu di luar."
"Astagaaa! Kenapa Bibi tidak bilang dari tadi?!"
Zoe tertawa melihat kepanikan Zemira yang bertambah. Syukurnya gadis itu hanya perlu berganti pakaian dan merapikan rambut dengan bantuan Zoe. Sebelum mendatangi Nata, Zemira sempat memperhatikan dirinya di cermin. Walau tak dikatakan secara langsung, Zemira mengagumi keindahan dirinya berkat barang-barang mahal dari Nata.
Luar biasa, pujinya pada diri sendiri.
Karena pakaiannya berbeda dari biasanya, Zemira merasa berkali-kali lipat lebih cantik dari sebelumnya. Gaun mewah hitam berkilau serta sepatu hak tinggi yang Nata berikan berhasil membuat Zemira mengkhayal bahwa dirinya adalah Cinderella. Lucunya, Zemira jadi berdebar ketika berhadapan dengan Nata yang terang-terangan memperhatikan penampilannya secara detail. Laki-laki itu berpakaian dengan warna serupa milik Zemira. Aura maskulin Nata yang penuh kepercayaan diri, siapa pun itu Zemira yakin tak akan ada yang mampu menolaknya.
"Ada yang salah, Tuan?"
Canggung karena masih diperhatikan, Zemira ingin kembali saja ke dalam dan membatalkan makan malam itu. Ia tak mengerti kenapa Nata tetap bersandar di pintu mobil mewahnya dengan kedua tangan terlipat di dada. Zemira juga tidak tahu apakah penampilannya terlihat aneh sampai sang tuan tidak memberi respons.
"Tuan Nata?" Sekali lagi Zemira memanggil.
Kali ini Nata bereaksi, tapi itu malah membuat Zemira berdiri dengan tidak nyaman. Gadis itu merasa ada yang salah ketika tuannya berjalan mendekat dengan tatapan yang tak mampu Zemira pahami.
"Kau cocok dengan gaun ini, Zemira. Cantik, dan aku terpesona."
Mata Zemira melebar dan bibirnya sedikit terbuka, sedangkan Nata terlihat biasa saja seolah tidak mengatakan apa pun barusan.
Mungkin Zemira memang salah dengar, tapi sungguh ia ingin menghilang saja untuk saat ini.
To Be Continued...
Aku sedang mencari bintang. Kalian bisa menemukannya? Klik bintang itu, biar aku tahu kamu menemukan bintangnya;)
Jangan lupa kirimkan pendapat/perasaan kamu saat baca bab ini di kolom komentar🌹
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro