20 ~ Demo
"Suatu hal tidak bisa dibicarakan baik-baik kalau sudah ditunggangi berbagai macam kepentingan."
📢📢📢
Udara siang yang bercampur debu panas dihirup pelan, disaring oleh masker hitam yang didesain khusus untuk hari ini. Sam mengencangkan kain merah di lengan kirinya, lalu mengangkat dan mengarahkan megafon pada gedung perkuliahan Fakultas Teknik, tempat terakhir sebelum berjalan ke hellypad. Seruannya tetap sama. Tak ada sedikit pun getaran dalam suaranya. Siapa saja yang dapat mendengar sontak menoleh, meski tak semua tahu-menahu dengan apa yang terjadi.
"Ayo bangun, Kawan! Masalah ini tidak akan selesai di bangku kalian …."
Setelah berminggu-minggu, bahkan hingga berganti bulan, akhirnya Kementerian Dalam Negeri dapat mengadakan aksi sebagai bentuk lanjutan Kongres Mahasiswa. Izin yang begitu pelik dan persiapan yang sungguh panjang seakan terbayar saat melihat jumlah massa yang melebihi ekspektasi. Meski begitu, Sam tak mengenal puas dan tetap mengajak mahasiswa Pelita Bahasa untuk turut turun.
Sejak lima hari lalu, Sam dan perangkat aksi lainnya sudah menyebarkan ajakan di setiap kelas. Tadi, pagi-pagi buta pula mereka kembali mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Kemudian pengumpulan massa dimulai di jam pertama perkuliahan sampai tepat pukul sebelas, Sam menggiring mereka ke hellypad sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor rektorat.
"Wakor-nya siapa, Kak?"
Lena yang sejak tadi memandangi Sam sontak terperanjat hingga hampir menjatuhkan kameranya. Gadis itu kemudian mengelus dada dan melirik sinis ke tersangka yang malah cengar-cengir tanpa dosa. Ia pun mendengkus lalu kembali mengambil foto Sam yang tengah menjelaskan kekhawatirannya--juga anggota kemendagri lain--terhadap regulasi kampus. Rambut yang dikucir rapi menambah aura tersendiri dan Lena cukup menyukainya ….
"Si Haris. Lo nggak kenal, kayaknya."
"Yang mana?" Junior Lena di LPM benar-benar cerewet dan mau tahu.
"Di belakang Sam, sebelah kanan."
"Oohh."
Lagi, Lena mengembuskan napas panjang. Kalau memang tidak penting, untuk apa mengusik seperti itu? batinnya. Ia pun memperbesar volume ponsel yang memperdengarkan percakapan para anggotanya. Beberapa kalimat mengejutkan samar-samar tertangkap, meski ia tak begitu yakin. Namun, melihat gerak-gerik Sam yang seketika berubah, bahkan alisnya dari kejauhan tampak bertaut, Lena rasa yang ada di belakang sana tidak sedang baik-baik saja.
Gadis yang menggelung rambut itu buru-buru menjauh dari massa aksi lalu berlari ke depan lewat samping. Ia menghampiri Aji yang berjaga di dekat logistik sambil mengatur napas. Tanpa basa-basi, ia mengambil alih ponsel anggotanya tersebut dan membaca pesan yang dikirim di grup jurusan.
"Tampaknya bapak rektor yang terhormat betul-betul ingin kami bersilaturahmi."
Lena mendongak saat Sam bersuara demikian. Kalimatnya bergetar dan berat, membuat ia dan (mungkin) siapa pun yang mendengar lekas menelan ludah. Ia pun mendekat dan menatap lekat, berharap keberadaannya terlihat. Namun, lelaki itu masih sibuk mengepalkan tangan dan memandangi massa aksi serta kantor rektorat bergantian.
"Saya baru mendapat informasi bahwa salah satu dosen Pendidikan Bahasa Indonesia mengirim pesan ke seluruh mahasiswanya untuk tidak ikut demo hari ini. Bagi yang absen di kelas, dipastikan akan mendapat nilai E dan harus mengulang."
Sam menyeringai. Ia mengusap wajah dan menitipkan megafon pada Haris. Kemudian ia melepas ikat rambut dan mengacaknya frustrasi. Sudah sejauh ini, mengapa para pengajar itu masih bergerak mengancam mereka? Sungguh tak habis pikir. Ia pun mengirim pesan pada negosiator yang tengah berdiskusi dengan rektor dan jajarannya, meminta agar segera diberi keputusan.
"Cukup kemarin teman-teman yang mendapat beasiswa dilarang untuk menyuarakan aspirasinya. Sekarang kami yang hanya berniat menuntut hak juga ingin dibungkam? Kenapa, Bapak Rektor yang Terhormat? Apa yang kalian katakan pada dosen-dosen sampai mereka serentak berkata demikian?"
Haris mengambil alih orasi sebab Sam langsung turun panggung saat Zaki dan dua anggota BEMU keluar dari kantor. Lena yang sempat bertatapan dengan sang wakil lekas mengangguk dan memberi isyarat pada awak media untuk turut menanyakan hasil. Mereka berbondong-bondong menghampiri tiga lelaki yang tampak kusut dan berkali-kali menghela napas.
"Gimana, Bang?" tanya Lena.
Zaki menggeleng. "Tetep nggak dapet apa-apa."
Sam berdecak. Ia kembali berlari ke hellypad, tetapi Lena segera menahannya. Lelaki itu sontak menatap lengan yang digenggam erat lalu berusaha melepasnya perlahan.
"Lo oke, kan?" Lena menggigit bibir panik.
"Nggak ada yang oke di saat seperti ini, Len."
"I know, tapi lo pucat."
"Bohong kalau gue bilang nggak capek, tapi lo nggak perlu khawatir, Len. Lo bakal jadi orang pertama yang tau misal nanti gue nggak baik-baik aja. Oke?"
Gadis yang masih mengernyit dan enggan berpisah itu mau tak mau harus mengangguk. Mereka berpisah dan balik ke posisi masing-masing. Sam sebagai koordinator lapangan lekas mengarahkan massa untuk berjalan ke depan gedung rektorat. Lena yang berkutat dengan dokumentasi lantas mendekati seniornya di peminatan jurnalistik dan menanyakan pengunggahan berita terbaru.
Sesuai konsep dan kesepakatan, aksi teatrikal dari UKM Teater mengawali aksi mereka. Diiringi dengan bakar buku yang terbuat dari kardus bekas sebagai representasi masalah hari ini. Gubma-gubma juga ikut menyampaikan keresahan di setiap fakultasnya guna memancing perhatian media dan para rektor untuk menemui massa. Makin banyak penyelewengan yang terungkap, makin tertarik pula mereka.
Sam melihat dari pinggir. Kobaran api yang menghangatkan justru membuat tubuhnya berkeringat dingin. Kilatan memori beberapa waktu lalu mengusik benaknya hingga susah fokus dan gemetaran. Ketika rektor dan wakil rektor dua muncul pun, degup jantungnya kian tak karuan. Terlebih saat wartawan lekas maju dan berkerumun di depan rektor, pening Sam makin menjadi-jadi.
"Saya sudah membicarakan hal ini dengan presma, bahkan korlap di sebelah sana yang memimpin diskusi dan saya pikir keputusannya sudah jelas," ucap rektor sambil sempat menunjuk Sam. "Semua bisa diselesaikan baik-baik. Demo-demo begini buat apa? Mahasiswa tidak sepantasnya anarkis seperti itu, apalagi di lingkungan kampus."
Kalimat-kalimat rektor terus melembut di setiap detik. Senyumnya pun tak luntur (mungkin) untuk mencairkan suasana. Namun, bagi Sam, hal itu justru tampak meremehkan dan menginjak-injaknya. Suatu hal tidak bisa dibicarakan baik-baik kalau sudah ditunggangi berbagai macam kepentingan. Ia tak kuasa menahan cengkeraman pada celana, juga gigitannya pada bibir bawah sampai sedikit berdarah. Lena yang memandang dari samping turut memainkan kukunya mengentak-entak kaki.
Tak berselang lama, rektor kembali masuk setelah menjawab sekian pertanyaan. Sam pun meminta negosiatornya untuk kembali masuk dan membicarakan tuntutan mereka.
"Gue perlu ikut, Bang?" tanyanya pada Zaki dengan suara bergetar.
"Nggak usah. Lo mending istirahat aja."
Lena segera mengambil kesempatan dan meraih tangan Sam. Anehnya, lelaki yang bergeming itu menurut tanpa mengelak. Haris yang berada di dekat mereka hanya melirik sekilas sambil bersedekap.
"Minta tolong lo ambil alih dulu, ya, Ris," pinta Lena halus.
Rekan beda organisasi itu mengangguk, sedangkan Sam masih tak mengerti. Ke mana Lena mau membawanya? Mereka terus berjalan ke belakang sampai akhirnya berhenti dan duduk di dekat tim kesehatan.
Sam masih celingak-celinguk melihat Lena yang mendudukkannya lalu segera mengambil tisu dan air minum. Gadis itu juga menyodorkan tas Sam ke sang empunya.
"Cari dan minum obat lo."
"Gue belum merasa kenapa-napa."
"Kuping congek juga bisa denger suara napas lo, Sam. Batuk lo juga nggak berhenti. Lo teriak-teriak dari kapan, sih, sampai serek begitu? Cepet minum!"
"Lo cerewet." Sam mengangkat dagu dan menatap gadis yang berkacak pinggang di depannya.
"Bodo amat! Cepetan! Mumpung Bang Zaki masih diskusi di dalem."
Lelaki yang memang sejak tadi merasa kehabisan udara itu lekas mengambil obatnya di kantong tas bagian dalam. Namun, belum sampai ketemu, ia tiba-tiba tersentak akan kegaduhan dari barisan depan. Lena pun ikut menoleh dan mengusap dada. Seketika Sam berdiri lalu berlari lewat samping, diikuti Lena yang menitipkan kameranya terlebih dulu di meja anggota KSR-PMI.
Beberapa mahasiswa saling cela sampai terlibat baku hantam. Mahasiswi di belakangnya pun kalang kabut dan tergesa-gesa mundur. Tak sedikit yang berteriak dan meminta untuk berhenti hingga satpam yang berjaga turut ikut campur. Tali merah yang dipasang mengelilingi massa lantas diputus agar satu per satu dari mereka bisa keluar dari barisan.
"Sam!"
Sang empunya nama mengabaikan panggilan tersebut lalu masuk ke pertikaian. Ia mencoba memisahkan dua lelaki yang diduga kompor perkelahian ini, membantu Haris yang sedari tadi telah mencoba. Barisan pelopor yang tersebar di depan dan belakang diperintahkan untuk mengatur massa yang keluar dan meninggalkan area rektorat.
"Bangsat! Lo kalau nggak mau tau mending pulang aja, tai!"
"Bego kayak lo masih untung bisa diterima di sini! Lo pikir dengan beginian bakal diturutin?"
"Oh, lo bener-bener anteknya mereka, ya. Bajingan!"
Sam merentangkan tangan seraya meneriakkan kata setop. Namun, lelaki di samping kirinya justru menghadiahkan sebuah pukulan ke rahang kanannya hingga ia tersungkur. Tak menyerah, Sam kembali bangkit dan mendorong mahasiswa satu fakultasnya itu untuk mundur. Sayangnya, hal tersebut dibalas dengan perilaku yang lebih kuat hingga Sam jatuh lagi. Saking tiba-tiba, mahasiswa FISIP yang tak sempat melihat pun tak sengaja melangkah ke depan dan menginjak dadanya.
"Sat! Berhenti bisa, nggak, sih?" Haris berteriak lalu berjongkok di samping Sam.
Kericuhan tersebut perlahan mereda setelah mahasiswa di depan berhenti dan tidak melakukan apa-apa. Semua kompak melihat Sam yang meringkuk dan meringis, menikmati luka luar-dalam yang mendera. Lena yang sibuk memanggil petugas kesehatan segera menghampiri Sam hingga tak sengaja mendorong Haris. Lelaki itu pun berdiri dan menenangkan massa melalui megafon.
"Sam, Sam, lo denger gue, nggak?"
Lena memukuli pipi Sam panik. Ia juga berusaha menyingkirkan rambut yang menutupi wajah lelaki itu. Helaan napas pun terdengar dan senyumnya sedikit mengembang saat Sam mengangguk pelan dan berusaha duduk.
"Gue bantu," tawar Lena.
Sam mengiakan. Ia biarkan Lena menuntunnya ke pinggir. Ia pasrah pula saat diminta duduk bersandar oleh anggota KSR-PMI. Ia lebih memilih memikirkan cara untuk dapat mengurangi nyeri yang menusuk sekitar dada tanpa henti. Terlebih pening akibat benturan di lantai tadi juga menyiksanya.
Namun, itu tak berarti apa-apa tanpa rasa yang sama pada beberapa waktu lalu. Apa yang Sam rasakan seolah bertambah setelah ingatan-ingatannya berdatangan. Saat ia ditolak dekan, saat ia ditolak walikota, juga saat ia terinjak massa aksi. Semuanya bersatu hingga seakan-akan tak ada lagi oksigen yang mau masuk ke paru-parunya.
"Kita ke rumah sakit, ya?" Lena mengusap keringat di pelipis Sam.
Lelaki itu tak segera menjawab. Cukup sesak dan penat yang ada di pikirannya. Napasnya benar-benar tercekat sampai pandangan pun berbayang lalu pelan-pelan menghitam. Tubuhnya seketika melemas dan luruh. Mata yang beberapa hari ini dipaksa terbuka kini benar-benar terpejam rapat.
"Sam! Sam! Shit! Anaknya udah nggak sadar, njir. Tolongin, dong! Eh, lo, jangan bengong aja. Sini cepet!"
Hanya sayup-sayup kepanikan Lena yang dapat Sam tangkap. Kesadarannya ditutup dengan teriakan yang membuat tarikan napasnya sedikit melonggar. Andai hal ini cukup untuk memperbaiki semuanya, Sam akan membuka mata lalu memeluk gadis itu erat-erat.
Sayangnya, belum mungkin.
"Kita bawa ke UGD terdekat."
18 Desember 2021
1720 Kata
Maaf ngilang berhari-hari. Aku sebelumnya nomaden dari Blitar-Malang-Magetan jadi capek banget kalau kelar nyetir kudu nulis.
Enjoy ✨
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro