16 ~ Adu Tuntutan
"Semua pihak emang punya problem masing-masing, tapi sekarang bukan saatnya untuk itu. Perkara khusus bisa diselesaikan di rumah sendiri."
📢📢📢
Aura di dalam aula lantai sembilan terasa lebih panas dari sebelumnya, padahal AC di bagian samping dan belakang masih berfungsi dengan baik. Pintu dan jendela juga tertutup rapat, menyisakan gorden yg separuh terbuka karena terlalu silau. Alasan terbesar atas hawa yang kurang menyenangkan itu adalah kesunyian akibat pembukaan agenda yang terlambat lima belas menit. Salahkan bagian perlengkapan yang kalang kabut mencari kunci ruangan.
Sepuluh kepala berisikan ideologi yang berbeda tengah menatap kumpulan lembaran yang telah susah payah dikumpulkan, sedangkan empat sosok yang mendampingi di depan hanya menelan ludah dan menunggu seseorang berbaik hati mengawali percakapan. Bukan Sam tidak menjalankan tugasnya, melainkan ia sudah menyerahkan forum kepada para ketua BEMFA untuk melanjutkan pembahasan. Mau berbicara lagi juga tanggung, ia tidak ingin menggiring ke suatu isu dengan saran apa pun.
"Saya boleh berpendapat, Pres?" Akhirnya ketua BEM FISIP membuka mulutnya, membuat Sam dan Lena menghela napas lega bersamaan.
"Iya, silakan."
"Menurut saya, sepuluh permasalahan utama yang disimpulkan teman-teman kemendagri ini sudah cukup mewakili dan saya pribadi nggak ada masalah. Kurang tau kalau teman-teman lain, mungkin nanti bisa menambahkan. Hanya saja, dari sepuluh ini pasti ada sekian prioritas yang paling nggak harus disetujui nantinya, kan, dan yang saya lihat semua fakultas kompak mengeluhkan hal yang sama, yaitu kenaikan SPP-DPP di setiap tahun."
Sam membaca draf analisis yang Lena kumpulkan sebelum sidang pra-kongres ini. Gadis itu sengaja mengumpulkan data-data yang sekiranya akan dijawab jajaran rektorat saat diberi tuntutan demikian. Layaknya masalah SPP-DPP, ia sudah menanyakan pada pihak humas dan wakil rektor dua--yang membahas keuangan.
"Pihak kampus bilang inflasi ini karena kelompok pengeluaran, seperti biaya pendidikan, Gub. Kampus lain juga demikian," respons Sam saat ruangan kembali hening.
"Ya pasti, lah, kalau kampus lain juga gitu, tapi kenaikan di kampus kita di setiap tahun jumlahnya pasti. Sepuluh persen, baik SPP maupun DPP. Bayangkan, sekarang DPP Kedokteran sudah dua ratus juta, lima tahun lagi mau berapa?" Ketua BEM FEB menanggapi.
"Saya pikir masalah ini juga yang paling pokok dan patut diutamakan, Pres," timpal yang lain.
Sam melingkari nomor perkara SPP-DPP dan memberi catatan di bawahnya, begitu pula dengan Lena. Bedanya, sang ketua itu turut merekam pembahasan menggunakan recorder yang Sam berikan beberapa waktu lalu. Seketika raut lelaki yang semula tak acuh dan malas-malasan pun mengembang. Senyum tipisnya lekas muncul, meski detik berikutnya langsung sirna karena ketua BEM FT mengangkat tangan dan menginterupsi.
"Kalau boleh saya ngasih opsi lain, masalah pembayaran remedial mata kuliah di fakultas kami bisa dipertimbangkan, Pres," ucapnya sambil bersandar pada kursi.
"Itu permasalahan khusus di fakultas Anda, Gub, bisa dijadikan turunan. Prioritaskan yang lain dulu."
Sebagai penggagas pertama, ketua BEM FISIP mempertahankan pendapatnya. Entah kalimat atau cara penyampaian yang salah, hal itu memancing ketua BEM FT untuk duduk tegap dan sedikit membanting kertas yang ia pegang. Lena dan Sam yang duduk bersandingan sontak saling pandang lalu menatap dua pemimpin yang tampak tengah berancang-ancang tersebut.
"Saya baca data di sini, kok. Banyak yang mempermasalahkan biaya praktikum, jadi bisa angkat tuntutan itu. Nggak perlu munafik, lah, SPP-DPP terlalu sulit ditembus. Pikir yang lebih rasional aja."
"Solusi apa yang mau ditawarkan? Jangan tutup mata, lah. Kampus mana aja nggak mungkin mem-backup seluruh dana yang dikeluarkan mahasiswa dalam proses pembelajaran, apalagi praktikum."
"Bisa aja ke-backup. Toh, harusnya dana yang dikeluarkan untuk praktikum udah termasuk di anggaran SPP-DPP yang dibayarkan. Buat apa mengeluarkan uang sebanyak itu kalau harus bayar dan bayar lagi ke depannya?"
"Berarti, secara nggak langsung, Anda menawarkan kenaikan SPP-DPP menjadi solusi permasalahan biaya praktikum?"
"Lho, kok gitu? Saya juga kontra dengan kenaikan SPP-DPP, Gub. Jangan salah paham."
"Semua pihak emang punya problem masing-masing, tapi sekarang bukan saatnya untuk itu. Perkara khusus bisa diselesaikan di rumah sendiri," sambung ketua BEM lain.
Sam mulai memijat kening. Adu mulut itu makin intens, bahkan intonasi keduanya kian meninggi. Tidak ada yang berani menyela karena poin demi poin yang mereka ucapkan layak didiskusikan. Presma yang menyatukan kedua tangan di atas meja pun menyimak dengan serius sambil manggut-manggut.
Ingin rasanya Sam menyenggol lengan lelaki di sebelahnya tersebut, tetapi Lena menahannya karena para pemikir di sekitar mereka tengah beraksi. Urusan akan runyam kalau tiba-tiba dipotong begitu saja. Bisa-bisa, apa yang ada di otak lantas lenyap dan pembahasan terhenti tanpa keputusan yang jelas.
Gadis yang terlihat santai itu meraih tangan Sam dan membawanya ke bawah meja. Ia sempat menggenggam sekian detik sebelum melepasnya. Perlahan, punggung tangan yang terasa dingin dan kaku itu diusap lembut. Sam yang tak tahu-menahu akan maksud Lena hanya bisa bergeming.
"Kalau udah agak reda, lo tengahi mereka," bisik gadis yang memakai masker karena tak sempat berdandan.
"Kenapa harus gue?"
"Belajar, lagian itu fakultas yang lo cekcok."
"Fakultas lo juga."
Lena memutar bola matanya. "Iya, sih, tapi fakultas lo yang mulai. Dia yang beda sendiri."
Sam pun mengangguk. Ia sudah berjanji untuk mencoba berdamai dengan keegoisan. Lagi pula, apa yang dikatakan Lena memang benar. Ketua BEM FT yang kebetulan teman sesama jurusannya itu tidak memiliki kawan lain yang memperjuangkan masalah biaya praktikum. Meski dalam hati sangat menyetujui opsi ini, Sam harus meredamnya.
"Ee--"
"Gini saja, Gub. Keduanya kami tampung. Tapi, berhubung sembilan fakultas lain sepakat masalah SPP-DPP, praktikum akan dijadikan prioritas kedua."
Presma terlebih dulu mengeluarkan suaranya. Sam yang hampir membuka mulut lantas kembali menelan ludah dan melirik ke arah Lena yang menahan tawa. Sial, batinnya. Ia pun refleks menyentuh sepatu gadis itu dan berakhir saling injak-menginjak.
Detik tiba-tiba terasa melambat. Siapa saja yang ada di ruangan seolah mematung hingga membiarkan Sam menghirup udara segar barang sejenak. Lewat Lena, lewat tendangan-tendangan kecil yang dilayangkan ke kakinya, ia tersenyum payah dan memancarkan rona keteduhan.
"Oiya, sebelumnya tuntutan biaya remedial ini sudah pernah dilakukan, ya, Sam?"
Aksi menyenangkan tersebut sontak berhenti dan sang empunya nama pun menoleh. "I-iya, Pres. Udah, udah pernah."
Lena lagi-lagi berusaha keras menutup mulut untuk menahan tawa. Ia lekas sedikit menggeser duduknya agar Sam tidak dapat balas dendam. Laki-laki itu hanya menunduk dan berdecak, sebelum kembali mengangkat dagu lalu memperbincangkan memori di depan dekanat tempo lalu.
"Kalau gitu, masalah ini nanti bisa dibicarakan sama dekan. Saya yang bantu. Nanti Sam juga ikut mem-follow up perkembangannya."
Pundak yang awalnya terasa ringan berubah sebaliknya saat presma menepuknya berulang kali. Tepat bersamaan pula dengan tatapan ketua BEM FT padanya. Sam pun tersenyum paksa dan mengiakan hal itu, sekadar berbasa-basi agar bisa cepat membahas hal lain.
Setelahnya, Sam kembali memimpin diskusi dengan beberapa tuntutan kecil yang dirasa perlu disorot, sedangkan Lena malah menemukan objek baru yang baginya lebih penting. Ia bahkan menopang dagu dan menatap sosok tersebut, sebelum memalingkan wajah agar tidak ketahuan. Ia turut memainkan bolpoin dan mencatat hal yang tak masuk sama sekali ke otaknya.
Dua kalimat yang mengambil alih fokusnya: Sam merasa kalah karena usulan dari fakultasnya tidak dijadikan tuntutan utama dan Sam merasa tertekan karena presma memintanya untuk kembali mengurus masalah yang dulu gagal ia tuntaskan. Itu saja sudah membuatnya mengerutkan kening dan mendengkus, apalagi kalau komisariatnya nanti protes segala macam yang 'omong doang'. Entahlah, Lena justru berlagak menjadi cenayang di saat seperti ini.
"Kalau begitu, saya cukupkan sekian. Pertemuan selanjutnya akan diinformasikan melalui grup. Terima kasih sebelumnya."
Lena terperanjat saat Sam mengucap salam dan berdiri. Ia sontak melakukan hal yang sama sampai presma izin untuk mengobrol dengan para gubma di depan aula. Kini, hanya sejoli ketua-wakil kemendagri yang kembali duduk dan bersandar.
"Capek, ya?" tanya Lena bodoh. Sudah jelas ia tahu jawabannya.
"Hem." Sam menjawabnya sambil menatap langit-langit.
"Gue pengin bantu lo. Apa yang bisa gue lakuin?"
Sam tak lekas menjawab, malah memejamkan mata dan menutupi wajahnya dengan lengan kanan. Ia berkali-kali mengembuskan napas panjang dan membuat Lena makin gemas. Gadis itu sampai menyeret kursinya agar makin dekat dengan Sam.
"Kalau lo diem aja, dari mana gue bisa tau?"
"Masalah teknik, lo nggak perlu repot-repot. Gue udah pernah lewatin ini, jadi tau apa yang kudu dievaluasi buat nanti."
"Yang lain, deh. Masalah lain. Apa yang bisa gue bantu?"
Sam membuka matanya dan menatap binar mata Lena. Sorot indah yang juga tegas itu pelan-pelan menenangkan dan menuntunnya untuk membuka hati. Ia pun menegapkan duduknya dan menghadap Lena yang belum mengalihkan pandangan.
"Ada satu yang bisa lo lakuin."
"Apa?" Lena menelan ludah.
"Bantu gue buat jatuh cinta sama hal yang nggak gue suka dan nggak gue prioritaskan juga."
Lena tersenyum lebar lalu mengangguk. "Dengan senang hati."
7 Desember 2021
1416 Kata
Btw, support Xdinary Heroes, yuk 😊
(Lagunya di mulmed)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro