Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 ~ Dengarkan

"Seperti orasi, lo bakal jatuh cinta sama dialog ini. Gue jamin. Jadi, dicoba dulu."

📢📢📢

Walau ada alasan untuk luruh dan lari sejauh mungkin dari hadapan Sam, Lena tetap berdiri tegak di tempatnya. Tatapan sinis yang dilayangkan tak lantas membuatnya mundur atau menghindar, meski sadar betapa bodohnya ia saat mengungkit masalah lelaki itu. Ia tidak bermaksud, tetapi relungnya mendorong situasi lain untuk memperkuat hal yang tertolak mentah-mentah. Semua sudah telanjur.

Keduanya tak berhenti menatap, bahkan ketika aura dingin mengambil alih ruangan pun, baik Sam maupun Lena tetap berdiri. Sama-sama menanti sang lawan bicara untuk melanjutkan pembahasan yang entah bisa dikatakan perlu atau tidak. Lena tidak ingin menambah luka atau menguliti masa lalu lelaki itu, tetapi ia akan melakukannya jika diminta, layaknya sekarang.

"Dari mana lo tau?"

"Bang Zaki," jawabnya jujur.

"Sejak kapan?"

"Sebelum diklat."

"Udah se-lama itu, tapi lo baru ngomong sekarang?" Sam menekan setiap kata yang ia ucapkan dengan suara lirih, berharap para anggotanya tak ada yang mendengar.

Lena menelan ludah lalu menghela napas. "Karena gue nggak ada alasan buat bahas ini."

"Terus? Setelah merasa disudutkan, lo punya alasan buat keluarin senjata lo, iya?"

"Kapan gue nyebut ini sebagai senjata?"

"Lo bilang nggak ada alasan, tapi nyatanya sekarang ngebahas."

"Siapa yang bahas? Gue cuma nanya." Lena berjinjit untuk mendekatkan wajahnya. "Kenapa? Lo ngerasa hanya karena pernah celaka, semua orang bisa ngeremehin keputusan lo?"

"Emangnya enggak?"

"Ck, masih nanya? Masih nggak bisa lihat? Lo sendiri yang sebenernya merendahkan diri, Sam. Lo! Bukan gue atau siapa pun."

Lemas, Sam yang semula mengepalkan tangannya kuat-kuat lekas terkulai. Kerutan di keningnya berkurang dan rautnya berubah datar. Matanya berbinar sendu, memandangi gadis yang mengatakan kalimat itu dengan sungguh-sungguh. Sakit, memang, tetapi ia mencoba mencernanya pelan-pelan. Benarkah demikian? batinnya.

Lena tak menambahkan apa-apa lagi. Ia cukup mengatur napas karena sudah mengeluarkan isi hati. Sejak permasalahan OSPEK, Zaki telah memperingatinya. Bukan masalah pengkhianatan atau yang lebih dari itu, melainkan sikap tajam Sam yang bagai roller coaster. Ia tak dapat memprediksi perubahan dan kengerian lonjakannya. Namun, ia masih bisa beradaptasi, membiasakan diri dengan sosok yang kemarin dengan lembut mengantarnya hingga gerbang indekos, sedang hari ini menyulut perselisihan di antara mereka.

Sifat Sam yang tak bisa ditebak mengantarnya ke peristiwa yang tak diduga pula. Waktu itu, kata Zaki, aliansi beberapa kampus di daerahnya mengadakan aksi di depan balai kota, tepatnya saat hari buruh. Tidak ada masalah apa pun, semua berjalan sesuai konsep, sampai akhirnya seorang polisi memukul salah satu barisan pelopor di bagian depan. Hal tersebut membuat massa refleks tergopoh-gopoh mundur dan saling injak, tak terkecuali Sam.

Amarah lelaki itu pun mendidih. Ia maju dan membuat rusuh. Aksi yang merambah ke mahasiswa lain membuat aparat mengeluarkan water cannon-nya untuk meredakan kegaduhan. Namun, bukannya surut, para gadis yang terkejut dengan volume air sontak kalang kabut dan menabrak Sam. Ia terjatuh dan sempat terinjak-injak hingga akhirnya dilarikan ke rumah sakit.

"Sori," ucap Lena akhirnya. "Gue udah lancang."

Sam menghela napas. Ia terduduk dan menunduk, juga mengusap wajah dan mengacak rambut. Kemudian memegangi kepalanya yang terasa pening. Sekuat tenaga ia menahan laju air matanya karena ini bukan sesuatu yang harus diratapi. Mungkin.

Kejadian yang tak hanya memberi pneumotoraks, tetapi juga larangan mengikuti segala jenis demonstrasi itu tetap akan menjadi aib terbesarnya. Mendengar gadis yang ia segani mengetahuinya lantas membuat Sam tak lebih baik dari apa pun. Kesempatan yang bisa mengembalikan keadaan seperti semula juga tertutup sebelum dimulai. Siapa yang bisa diam saja saat ditekan di setiap sisi seperti ini?

"Kalau lo merasa bersalah, tebus itu, Len. Pakai konsepan gue," pinta Sam pelan.

"Tapi--"

"Gue butuh tempat buat membuktikan diri."

"Lo bisa membuktikan itu lewat dialog rektorat nanti."

Sam mengangkat wajah dan menatap gadis yang berdiri menghadapnya. "Caranya?"

"Sama aja. Yang lo lakuin sama-sama beretorika, kan? Cuma tempatnya yang beda, Sam, dan itu nggak ngubah apa pun. Lo tetep lo, Sam yang nggak bisa diem kalau lihat sesuatu yang nggak beres."

Sam berkedip konstan, berusaha meresapi makna yang ingin Lena sampaikan. Dengan kepala dingin dan hati tenang, ia mau secara jernih mempertimbangkannya.

Sementara itu, gadis yang mempersempit jarak di antara mereka kembali mengucap, "Kita bikin dialog rektorat dulu. Kalau nantinya ini saja nggak cukup atau bahkan nggak berhasil, kita pakai cara yang lo mau, oke?"

Tak ada suara lain yang menanggapi. Sam hanya mengangguk dan mencoba tersenyum, meski sangatlah tipis dan hampir tak terlihat. Ia lekas mengembuskan napas panjang lalu menutupi wajah dengan kedua tangan. Ia tak ingin, sama sekali tak ingin, kalau Lena melihat tampangnya sekarang.

Bisa saja orang lain akan mengatakan ia gila hanya karena dilarang mengikuti demonstrasi, tetapi hal ini sudah menjadi bagian hidupnya sejak menginjak bangku perkuliahan. Ia dapat menemukan sisi lain para buruh dan petani lewat turun jalan yang biasa dilakukan. Ia juga membuka jaringan dan mengenal banyak orang saat di lapangan. Andai komisariatnya tidak menuntut pengabulan tuntutan dalam kongres, mungkin ia tak memikirkan cara seperti ini.

Melihat tubuh Sam yang terus bergetar, Lena lantas memberanikan diri untuk menyentuh bahu lelaki itu. Kemudian membawanya untuk bersandar di perutnya. Ia juga mengusap rambut Sam yang sedikit basah berkat keringat dingin. Semuanya lelah dan ini baru permulaan. Tak seharusnya dihiasi dengan banyak drama.

"Nggak semua keinginan sejalan dengan kebutuhan, kan?"

"Hem," jawab Sam samar.

"Kita cuma perlu bersikap dewasa buat memilah itu."

"Iya."

"Jadi, gue harap lo mulai paham, dan gue juga bakal belajar memahami lo."

Sam memundurkan tubuhnya perlahan dan membuat Lena menurunkan tangannya. Lelaki itu terus menatap gadis yang masih berdiri dan menunggu lanjutan kalimat tersebut.

"Bisa?"

Lena menyunggingkan senyum terbaiknya lalu berjongkok di depan Sam. Ia menepuk kedua tangan lelaki itu dan menggenggamnya sekian detik.

"Seperti orasi, lo bakal jatuh cinta sama dialog ini. Gue jamin. Jadi, dicoba dulu."

"Oke."

Keduanya kompak mengangguk dan berbaikan, mengaitkan jari kelingking mereka sebelum mengesahkan keputusan. Beberapa anggota yang menguping di dekat ruang makan lantas mengabarkan hal baik itu ke teman-temannya yang lain. Mendung dan gerimis di hari libur itu ditutup tanpa perdebatan berlarut-larut. Setidaknya, itu yang Lena harapkan.

Segera setelah sampai indekos, gadis yang selama penggarapan konsep dibantu oleh senior di komisariatnya itu lekas mengirim pesan tentang hasil yang diperoleh. Ia membagikannya sebagai bentuk follow up dan pertimbangan tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia juga tak lupa memberi informasi kepada presma karena ia-lah penggagas pertama agenda ini. Namun, bukan orang yang dituju, malah Zaki yang meneleponnya.

"Kenapa, Bang?" ucap Lena seraya menggantung tas dan jaketnya yang sedikit basah pada kapstok.

"Gue lagi sama presma. Syukurlah kalau udah beres."

"Ck, lo enak tinggal terima jadi. Gue yang kudu berurusan sama dia."

"Udah tugas lo."

"Iya," Lena menyalakan speaker dan meletakkan ponselnya di atas meja belajar, "gue ngeluh bukan berarti gue keberatan. Cuma pengin lo tau usaha gue aja."

"Paham, kok. Makasih, ya. Kalau Sam nggak diredam dan demo di kampus dengan skala yang lebih besar, risikonya jauh lebih gede dari yang kemarin. Bisa-bisa beneran banyak yang beasiswanya dicabut atau malah di-DO dari sini."

Gadis yang masih memilih baju mana yang akan dipakai seketika terpaku dan berpikir. Ia mengusap wajah dan memutar bola matanya. Hah, penyesalan memang selalu di akhir. Hal yang harus ia pastikan adalah tidak melakukan kesalahan apa pun agar Sam tak mengeluarkan kartu berisi janji yang terlontar.

"Sama-sama, Bang. Lo sendiri yang bilang kalau ini tugas gue."

"Oke, setelah ini, apa agenda kalian selanjutnya?"

Lena menggaruk kepalanya dan berjalan menuju kalender. "Ngatur jadwal pertemuan di setiap fakultas. UKM dan LSO juga, tapi belum dikomunikasikan lagi sama forum mereka. Belum masalah tempat, konsumsi dan yang lain. Banyak, lah, Bang."

"Nggak bentuk kepanitiaan?"

"Ada, kok." Lena mengangguk, meski tak ada yang melihatnya. "Cukup di internal kemendagri aja. Kemenhukam, kan, ada seminar RUU dan kemenpora juga ngadain festival budaya, jadi kita nggak mau nambah-nambahin kerjaan."

"Oke, lah. Kalau ada yang lo bingungin, langsung chat gue atau presma aja."

"Siap, Bang."

Meski terdengar antusias, Lena menutup panggilan tersebut dengan helaan napas panjang. Ia langsung merebahkan diri dan menatap langit-langit kamar. Gadis itu mengangkat tangan kanannya untuk menutupi kening. Kemudian memejamkan mata dan memikirkan letak kebingungan yang bisa ia bagikan ke mereka.

Haruskah semua itu dibebankan ke pundaknya?

5 Desember 2021
1347 Kata

Wattpad ada fitur stiker, udah tau/ nyobain?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro