Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 ~ Latte dan Recorder

"Fasilitas ini nggak setara dengan materi yang dikeluarkan. Kalau masih awal dan ke depannya diperbaiki, mungkin masih bisa dimaklumi. Kalau nggak?"

📢📢📢

Lena memangku dagu, memperhatikan Sam yang berdiri di depan kasir sambil memilah menu. Ia dilarang untuk mendekat, memesan, apalagi mengeluarkan uang. Mungkin, lelaki itu ingin mengejutkannya dengan sesuatu yang entah apa. Ia tak mau menebak-nebak hal sepele yang kurang penting.

Lebih baik, ia mempersiapkan diri untuk menghadapi kesepuluh gubma yang berkumpul malam ini. Harusnya, jadwal ngopi mereka baru tiga atau empat hari ke depan. Namun, karena hasil sidak kemarin cukup membuat pening dan mengernyit, Zaki meminta Lena untuk mempercepat pembahasan.

Bagaimana tidak? Tiga tahun lebih kuliah di Universitas Pelita Bahasa, baru kemarin Lena menginjak Kampus II yang ada di Jalan Bandung. Agak jauh, memang, dan sebelumnya ia tak memiliki urusan untuk bermain-main di sana, jadi tak heran kalau malam yang dingin semalam menjadi saksi bisu kebodohannya. Gadis yang menduga gedung berisi mahasiswa kedokteran dan kesehatan itu akan megah memesona--mengingat di kalender terlihat demikian--sontak menganga karena tertipu kertas 2D.

Satu-satunya lapangan di sana tak dapat dikatakan layak karena rusak dan berlubang. Ring basket saja tampak memprihatinkan. Bukan salah cahaya malam atau lampu kampus yang remang-remang karena tanpanya pun masih jelas terlihat. Area itu memang seharusnya segera diperbaiki.

Jangankan lapangan, parkiran saja tidak disediakan. Kata Sam, yang didapat dari Gubma FK tahun lalu, mahasiswa di sini menaruh motornya di tempat penitipan--tepat di dekat gerbang belakang. Tentu saja tidak gratis karena dua ribu harus keluar dari saku mereka setiap hari. Terlebih kalau sudah lewat pukul sembilan malam, harga itu bisa meningkat dua kali lipat.

"Fasilitas ini nggak setara dengan materi yang dikeluarkan. Kalau masih awal dan ke depannya diperbaiki, mungkin masih bisa dimaklumi. Kalau nggak?" tanyanya kemarin pada sekelompok lelaki yang selesai memeriksa seluruh stopkontak.

Perasaan gemas dan tak habis pikir itulah yang Lena telan bulat-bulat hingga mengagendakan ngopi dadakan ini. Kalau sudah terasa tidak sehat, bukannya akan lebih baik jika ditangani sedini mungkin? Toh, cepat atau lambat, masalah kongres memang harus mereka bahas.

"Ngelamunin apa?"

"Hem?" Lena tersentak dan mendongak, menatap Sam yang menarik kursi lalu duduk di sampingnya.

"Lo lagi mikir apa? Nyusun kata-kata di kepala?"

"Nggak usah ngeledek."

"Salahnya di mana? Lo sebelum ngomong, kan, pasti dipikir dulu. Lama lagi. Tekstual banget, kayak pidato kebesaran."

Lena berdecak, ingin menanggapi dengan kalimat 'tidak sembarangan berbicara', tetapi terlalu malas berdebat dengan lelaki satu itu. Ia memilih untuk meminum greentea latte hangat yang datang bersama sepiring kentang goreng.

"Makasih, ya," ucapnya tak lupa.

"Sama-sama. Bener, kan?"

"Apanya?"

"Pesanan lo."

Lena mengangguk. "Nggak susah juga ngingetnya."

"Iya, nggak susah, dan nggak wajar juga buat diinget-inget."

"Maksudnya?" Lena menautkan alis dan menoleh ke arah Sam yang menyeduh kopi.

"Bukan apa-apa."

Ck, sekarang siapa yang kayak perempuan? batin Lena.

Tak lama setelah itu, satu per satu ketua BEM fakultas melambaikan tangan dan mengisi kursi yang sengaja dipesan untuk mereka. Tempat duduk sekumpulan orang penting--di daerahnya masing-masing--itu lumayan jauh dari pusat kafe sehingga tidak terlalu bising. Lena sengaja menjadikan pojok ruangan sebagai tempat favoritnya karena selain dekat kamar mandi, Wi-Fi di sana juga lebih lancar dan terhindar dari live music yang terus menemani waktu malam.

"Gimana kabarnya, Gub?" Lena berbasa-basi pada pada Ketua BEM FK yang sangat tepat waktu.

"Standar, Kak. Oiya, katanya kemarin ke kampus dua. Gimana ceritanya? Kok nggak kabar-kabar? Harusnya bilang, biar ada sambutan kecil-kecilan."

"Waduh, kayak apa aja, Gub. Santai, lah. Kami ke sana udah malam, jadi sepi. Cuma ada satpam dan beberapa anak farmasi yang masih di laboratorium."

"Kalau boleh tau, tahun ini DPP Kedokteran berapa, Mas?" Bukan Lena, melainkan Sam yang bertanya.

"Angkatan ini kalau nggak salah sekitar dua ratus juta. Itu bisa dibayar dua kali, 75 persen saat daftar ulang dan 25 persen sebelum ujian blok."

"Kalau SPP-nya?" Lena ikut penasaran.

"Tiap tahun beda, Kak. Angkatan saya lima belas juta per semester. Adek tingkat ada yang delapan belas dan dua puluh."

Sam dan Lena sontak saling tatap tanpa ekspresi. Meski sudah membaca buku panduan mahasiswa baru tahun ini, mereka masih syok setelah mendengar dari yang bersangkutan secara langsung. Angka yang tak sedikit itu seolah diucapkan dengan mudah, walau apa yang didengar seakan tak sepadan dengan yang terlihat.

"Mahal banget, ya," respons Lena kemudian.

"Ya, gimana lagi, Kak. Nasib swasta. Akreditasi tinggi pula."

Hanya anggukan dan tidak ada tanggapan lain, berhubung kursi makin penuh hingga tak tersisa lagi. Setidaknya, apa yang baru Lena dengar makin memicunya untuk merealisasikan program kerja dengan baik. Ia lantas meminta Sam untuk membuka acara secara semi-formal agar urgensi pembicaraan mereka tetap dianggap, walau tempat dan situasinya terlampau santai.

"Jadi, di proker terbesar kemendagri nanti ingin mengumpulkan aspirasi dari teman-teman di setiap fakultas. Setiap keluhan, baik secara akademis maupun bukan, akan ditampung dan disertai bukti agar lebih konkrit." Lena menyampaikan inti setelah Sam berbaik hati menyampaikan basa-basi.

"Bukannya itu ranah SEMU, Kak?" tanya Gubma FKIP.

"BEMFA, HMJ, UKM dan LSO ada di bawah naungan kemendagri, jadi pengumpulan aspirasi jauh lebih efektif kalau kami yang bergerak. Untuk pengajuan secara legislatif, tentu akan melibatkan teman-teman dari senat."

"Sistemnya nanti bagaimana?"

"Kalau masalah itu, kami sendiri belum membahasnya lebih lanjut karena ingin meminta pendapat teman-teman terlebih dulu. Mau nggak mau, kan, ini agenda bersama. Jadi, saya, Sam, anggota kemendagri, bahkan Kabinet Bahtera sendiri tidak ingin mengambil keputusan yang tanpa didiskusikan dengan pihak yang terlibat."

"Saya setuju-setuju saja, sih, Kak. Ini gebrakan baru dari BEMU karena tahun kemarin nggak ada kegiatan apa-apa dari kemendagri."

"Saya juga nggak keberatan, asal lanjutannya bagaimana tetap dikomunikasikan."

Lena dapat bernapas lega saat masing-masing gubma menyampaikan tanggapan mereka dan tak satu pun yang menentang. Justru, tawaran dari kemendagri dianggap angin segar yang membuat mereka bisa bergerak dan tak bingung-bingung lagi dengan agenda mendatang. Untuk saat ini, ia benar-benar bisa tidur dengan nyenyak.

Lain dengan Sam, yang ketika Lena mengembuskan napas panjang, ia malah cengar-cengir dan menatap gadis di sampingnya tanpa berkedip. Sesekali mungkin, saat ia tersadar karena matanya terasa perih. Ia lekas menghabiskan kopinya yang sudah dingin dan meminum cangkir baru, sebab obrolan para ketua yang telah ditutup itu masih berlanjut hingga pukul setengah sepuluh.

"Nanti kabar-kabar lagi, ya, Kak."

Lena mengangguk sambil menyalami gubma yang pamit satu per satu. Ada yang langsung pulang, ada pula yang belok ke meja sebelah. Malam makin larut, mereka makin peka pula bahwa satu-satunya gadis di sana ingin segera memakai skincare dan merebahkan diri. Kini, hanya ada Sam dan Lena yang kompak menyandarkan kepala pada kursi.

"Boleh nebeng, nggak? Tadi ke sini sama Riki. Orangnya ditelpon nggak ngangkat sama sekali," ucap Sam.

"Boleh, tapi turun di kos gue terus jalan kaki ke kos lo sendiri."

"Iya, deh."

Sam segera beranjak saat Lena mengemasi barangnya. Ia berjalan di belakang gadis itu karena tak tahu keberadaan motor yang merek dan warnanya memiliki banyak kembaran. Setelah ketemu, dengan cepat ia mengambil alih tugas Lena untuk mengeluarkan motor dari impitan kendaraan lain. Ia juga yang memberi uang tip pada penjaga parkir. Gadis yang sudah ngantuk berat hanya bisa mengerutkan kening dan menggaruk kepala.

"Oiya, ini buat lo."

"Apa?"

"Buka aja."

Sebelum naik ke motornya, Lena lebih dulu membuka bingkisan berisi kotak putih yang sangat tak asing. Seketika ia terbelalak saat nama brand yang ia incar tertulis jelas di bungkusnya. Ini adalah recorder yang ia mau beberapa waktu lalu, tepatnya saat jalan-jalan ke mal dekat kampus.

"Maksudnya?" Lena tidak memahami apa pun.

"Buat lo."

"Atas dasar apa? Kenapa lo ngasih ini ke gue?"

"Bukannya lo sendiri yang bilang?"

Lena menelan ludah. Tidak, ia tidak lupa sama sekali. Memang, waktu itu, ia mengunggah sebuah status ke akun media sosialnya. Berisi tentang betapa inginnya ia untuk memiliki recorder klasik yang bisa dipakai saat meliput. Ia bahkan menambahkan kalau benda tersebut setara cincin, yang berarti sangatlah berharga untuknya. Namun, semuanya hanya karena ia bermulut besar. Tanpa bermaksud membuat seseorang benar-benar membelikannya.

"Nggak, gue nggak bisa nerima. Makasih sebelumnya," ucapnya seraya mengembalikan recorder itu pada Sam. Ia lekas naik ke motornya dan mengenakan helm.

"Oke, lah."

Tidak ada untungnya kalau Sam memperpanjang urusan. Lebih baik, sebelum menyalakan mesin, ia menyimpan recorder yang tak seberapa besar itu ke dalam dashboard motor. Berharap, Lena akan menyadari keberadaannya, memutar sekelumit kalimat iseng yang terucapkan, menerima baik-baik dan menjaganya.

4 Desember 2021
1386 Kata

Pengin ngopi 🥺

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro