Halaman 6: Desa Elf
Angin malam berhembus membawakan dingin kepadaku. Langit di atas telah penuh oleh gemerlap titik-titik kecil. Malam belum terlalu larut, tapi suasananya sudah sangat sepi di luar sini. Terimakasih kepada lentera-lentera bercahaya yang berkatnya tempat ini jadi kelihatan lebih baik daripada sekadar hutan yang gelap.
“Alan? Maaf soal tadi, ya. Meskipun sikapnya agak kasar begitu, sebenarnya dia itu anak baik.”
Kualihkan pandanganku dari langit malam kepada Kak Leana yang sedang melangkah mendekatiku.
“Ah, bukan masalah Kak. Aku hanya menganggapnya sebagai candaan saja.”
“Kamu tahu? Kamu adalah orang kedua yang memanggilku dengan sebutan Kak.” Kak Leana mengulas senyum tipis.
“Ah, soal itu, maaf kalau itu mengganggumu.” Kupaksakan diri tersenyum.
“Tidak juga, aku malah merasa senang karena punya dua adik.” Kak Leana tertawa renyah.
Kak Leana memanglah orang yang baik. Meskipun penampilannya mirip dengan dia, rasanya sifatnya cukup berkebalikan. Kak Leana adalah orang yang ramah, murah senyum, baik hati, sedangkan dia adalah orang yang pemaksa, jahil, berlebihan ketika tertawa.
“Oh, iya. Aku lupa menanyakannya padamu, bagaimana kamu bisa tersesat di Hutan Terlarang ini?” tanya Kak Leana.
Aku benar-benar tidak tahu apapun mengenai Hutan Terlarang yang dimaksud Kak Leana. Namun, aku tak sungkan untuk menceritakan kejadian yang kualami sehingga dapat tiba di tempat semacam ini. Pertemuan dengan Ran, terbangun di tengah hutan, pertarungan melawan tuyul hijau dan kadal kekar, kuceritakan semua itu.
“Hmm, tuyul dan kadal? Dari ciri yang kamu sebutkan, kemungkinan besar makhluk yang kamu temui itu adalah goblin dan randal,” ucap Kak Leana sembari memegang dagunya.
Goblin! Bagaimana bisa aku tak menyadarinya? Makhluk hijau kecil yang hidup berkelompok. Mereka adalah monster yang umum dijumpai dalam beberapa seri video game. Sedangkan, untuk randal sendiri sepertinya baru kali ini kudengar. Lagipula, bukankah makhluk semacam itu seharusnya tidak eksis!?
Kali ini giliran aku yang bertanya kepada Kak Leana, “Jadi, sekarang aku sedang berada di mana, Kak? Di benua, negara, dan prefektur manakah ini?”
Untuk sesaat Kak Leana hanya diam, mungkin ia kurang paham akan pertanyaanku atau sedang memikirkan jawaban yang tepat. Setelah beberapa saat berlalu barulah suaranya kembali ke permukaan. Kak Leana berkata padaku kalau saat ini aku sedang berada di Elyve Thalor, desa kecil tempat para elf tinggal.
Aku yakin seratus persen kalau aku tidak salah dengar. Tempat ini adalah desa para elf, makhluk yang berkaitan erat dengan alam dan kekuatan magis juga terkenal akan kecantikannya. Untuk yang terakhir itu jelas sudah terbukti hanya dengan melihat paras Kak Leana. Benda agak runcing yang semula kukira hanyalah aksesoris belaka, ternyata adalah telinga khas elf. Maka jelaslah mengapa Kak Leana punya warna rambut, mata, dan kulit yang unik, berbeda dengan orang-orang yang pernah kutemui.
Entah kenapa, raut Kak Leana jadi tampak murung. Ia kini tengah berdiri membelakangiku, memandang ke langit. Tangannya saling mengait ke belakang. Aku baru saja hendak menanyainya ketika ia kembali berbicara.
Kak Leana menceritakan kepadaku tentang hubungan manusia dengan elf yang buruk. Sejak raja yang baru memerintah, pemburuan terhadap elf gencar dijalankan. Elf dan kemampuan sihirnya disebut sebagai bakal penghancur tatanan kehidupan baru yang harus dilenyapkan. Satu demi satu elf yang ada berguguran, membuat yang lainnya memilih untuk menjauh dan bersembunyi di tempat yang tersembunyi. Salah satu yang terbesar dari kelompok elf yang tersisa adalah Elyve Thalor ini.
“Semuanya mulai berubah ketika seorang manusia masuk ke desa ini dan menikahi salah satu dari kami. Itulah ayah Anna.”
Anna, panggilan untuk Maraianna, perempuan yang mengataiku dengan sebutan manusia mesum, ya? Putri hasil perkawinan antara manusia dengan elf--sering muncul dalam banyak literatur fiksi--yang kerap disebut sebagai half elf. Umumnya, half elf digambarkan sebagai sosok yang mewarisi paras dan sifat elf, tapi tetap dapat menua layaknya manusia biasa. Rasanya, aku masih belum percaya kalau elf itu benar-benar ada walaupun bukti terpampang di depan mata.
“Mereka yang sebelumnya amat membenci manusia lama kelamaan jadi melunak setelah mengenal ayah Anna lebih jauh, beliau adalah manusia yang sangat baik. Begitu juga denganmu, kan, Alan?.” Kak Leana menghadapku sembari mengulas senyum yang kelihatan manis di wajahnya.
Untuk sesaat, rasanya aku terpana oleh senyuman Kak Leana. Namun, segera kukuasai diri lalu kujawab tanya Kak Leana, “Mungkin begitu dan mungkin juga aku lebih buruk dari perkiraanmu.”
Kak Leana belum menghapus senyum dari wajahnya. Ia melangkah mendekatiku dan langsung memelukku. Diusapnya rambutku dengan lembut.
“Terkadang, Anna menunjukkan wajah yang sama seperti yang kamu lakukan barusan. Kemudian, yang kulakukan adalah memeluk dan menenangkannya. Ia selalu saja menangis kalau sudah begitu,” ucap Kak Leana disertai tawa kecil.
Pelukannya terasa hangat. Rasanya semua beban dan tekanan yang masih menghantuiku, bahkan sampai sekarang ini, meluruh seketika. Mataku rasanya panas dan irama jantungku juga tidak beraturan.
“Lagi-lagi...”
Sebuah suara yang muncul tiba-tiba menarik atensiku dan membuatku menoleh kepadanya.
“Sudah kubilang, bukan!? Jangan dekati Kak Leana dasar manusia mesum!” Anna berlari ke arahku lalu memukulku tepat di pinggang.
*****
-to be continued-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro