Halaman 4: Utopis
“Awas!” seru Ran.
Aku merunduk dan berguling cepat ke samping. Lagi-lagi sebuah anak panah dilesatkan ke arahku. Cukup sulit untuk mencari pelakunya di antara rimbunnya tumbuh-tumbuhan. Lagipula, badannya hijau senada dengan warna mayor tumbuhan yang ada.
Sesuatu melesat melewatiku. Satu lagi anak panah yang sepertinya dilepas dari busur yang sama. Si penembak tidak memiliki akurasi yang baik. Tembakannya kali ini meleset dan menancap pada batang pohon di belakangku, lebih buruk dari sebelumnya. Untungnya, dengan tembakan barusan aku dapat melacak si tuyul pemanah.
“Ran! Di pohon besar samping kirimu!” seruku kepada Ran.
Ran yang telah selesai dengan musuh di depannya mengangguk lalu berlari menuju pohon yang kumaksud. Tuyul yang bersembunyi di balik pohon agaknya menjerit ngeri melihat kedatangan Ran dengan tombak di tangannya. Hanya butuh satu tusukan di perut bagi tuyul itu untuk lenyap.
Sepertinya terlalu cepat untuk bisa bernapas dengan lega. Aku bangun dari tempatku. Kutebahi baju dan celana dengan tanganku. Kuedarkan pandangan menyapu sekeliling. Sejauh mataku memandang, hanya ada pohon dan rerumputan di mana-mana.
“Ran, apa yang terjadi?” tanyaku kepada Ran yang tengah berjalan mendekat.
“Saya pun tidak tahu. Ketika terbangun, makhluk-makhluk tadi tengah berusaha menyeret saya.” Ran berjalan ke sana kemari menyelidik tempat ini.
“Belum juga selesai masalah sebelumnya, sekarang sudah muncul lagi yang baru. Bagaimana bisa kita tiba-tiba berpindah ke dalam hutan ini?” gumamku.
Oh! Kalau tidak salah ingat, semalam Ran juga bilang kalau ia tersesat di hutan sebelum sampai ke rumahku. Aku penasaran, apakah ini hutan yang sama dengan tempatnya tersesat.
“Katamu, sebelumnya kamu tersesat di hutan,kan? Apakah hutan yang ini?” tanyaku kepada Ran.
“Mana saya tahu. Bisakah dengan mudah membedakan hutan dari dalamnya?” Ran mengatakannya dengan bibir yang mengerucut.
Yang dikatakan Ran ada benarnya juga, tapi tetap saja aku tak suka dengan ketidaktahuannya semacam itu. Maksudku, bagaimana mungkin seseorang seumuran dia tidak tau tempatnya berasal? Dan lagi, berkat semua ini rekor absensiku yang selalu penuh jadi ternoda. Selalu ada sesuatu yang bisa membuatku emosi belakangan ini.
Tenanglah, Januar Erlando. Tarik napas dalam-dalam lalu keluarkan. Yang pertama kali harus dilakukan adalah mencari sumber air, sungai. Setelahnya tinggal ikuti aliran sungai sampai tiba ke permukiman terdekat.
“Alan! Kemarilah!” Ran berteriak.
Ke mana dia berniat pergi? Akan sangat merepotkan jika aku terpisah dengannya. Berat untuk mengakuinya, tapi hanya dialah yang mampu diandalkan jika ada tuyul-tuyul lain yang menyerang.
Aku berjalan mendekati asal suara Ran. Berjalan saja sudah cukup membuatku kepayahan. Rumput-rumputan di sini berbeda dengan yang sering kulihat di rumah dan sekolah. Jauh lebih besar dan jauh lebih mengganggu. Semoga saja bukan karena masalah lagi Ran memanggilku .
Setelah menyelesaikan sejumlah langkah yang berat, akhirnya aku dapat bebas dari rimbunnya rumput-rumput ini. Di hadapanku, Ran tengah berjongkok di tepi sungai. Ya, Ran menemukan sungai. Hal baik pertama yang terjadi pagi ini.
“Kerja bagus, Ran! Selanjutnya, hanya tinggal ikuti arus ini sampai kita menemukan permukiman!” seruku.
Ran yang jongkok di tepian sungai ternyata tengah mengambil air dengan tangannya untuk diminum. Yah, kalau dipikir-pikir tidak ada salahnya rehat sejenak. Meskipun sebenarnya kami baru saja bangun tidur, kejadian aneh semacam ini rasanya memberi tekanan tersendiri pada batinku.
Aku melakukan seperti yang Ran lakukan. Jongkok di tepian sungai lalu meminum airnya. Setelahnya kubasuh wajahku yang terasa agak panas, mungkin karena rasa sebalku atas semua keanehan yang mengitariku.
Air sungainya terasa dingin juga menyegarkan. Sensasi dinginnya yang terasa menusuk mengingatkanku pada mandi pagiku saat studi wisata SMP ke daerah pegunungan.
Di sela-sela basuhan wajahku, tampak sekilas olehku sesuatu yang samar-samar tengah bergerak di seberang sungai. Kuabaikan pemandangan yang kukira hanya pohon tertiup angin itu sampai Ran menarik-narik bajuku.
Saat itulah aku menyadarinya. Sejumlah tujuh makhluk semacam kadal tengah berdiri di seberang memandangi kami. Ya, kadal-kadal itu berdiri dengan dua kakinya dan masing-masing membawa sebuah pemukul kayu. Pemukul kayu yang sama seperti yang sering digambarkan sebagai senjata manusia purba, bedanya ada runcing-runcingan di ujungnya.
Baru satu hal baik yang kudapat, sedang sial lagi-lagi mendatangi. Kadal-kadal itu, entah menggeram atau mendesis, berlari menyeberangi sungai menuju ke arahku dan Ran.
Aku menarik tangan Ran untuk kuajak berlari searah arus sungai. Namun, lebih sialnya lagi ada dua kadal yang menuju ke arah kami dari sana. Jadi, kutarik Ran dan berlari melawan arah arus sungai. Aksi ini kemungkinan besar akan membawa kami masuk lebih dalam ke hutan, yang mana lebih berbahaya, tapi aku juga tidak bisa berlari jauh-jauh dari sungai ini.
Sungai ini adalah satu-satunya petunjuk untuk keluar dari sini. Berlari ke arah lain hanya akan menjauhkan kami dari satu-satunya kunci untuk selamat. Namun, kadal-kadal itu sendiri juga mengurangi kemungkinan kami untuk dapat keluar hidup-hidup.
Aku dan Ran masih terus berlari. Di tepian sungai, tak ada rumput-rumputan rimbun seperti yang kulewati tadi. Hanya bebatuan dan sedikit lumut di atasnya. Meski sedikit licin, tapi berkat itu kami jadi bisa melangkah lebih cepat daripada melintasi rumput-rumput tinggi. Berkat itu juga, kadal-kadal tadi masih bisa terus mengikuti.
Gerakan mereka tak secepat kadal yang kukenal. Namun, badannya kokoh, lebih besar daripada tuyul hijau yang kutahu. Aku cukup terkesan sekaligus ngeri, dengan badan sebesar itu dan senjata yang tentunya juga berat mereka masih terus mengejar kami.
“Alan, jalan buntu!” Ran berseru menambah kepanikanku.
Yang benar saja! Sebuah air terjun!? Dan juga air terjun yang cukup tinggi. Bagaimana bisa kami naik ke atas? Sungguh, sampai kapan dunia ingin mengerjaiku? Aku hanyalah murid SMA biasa yang mendambakan kehidupan mapan! Apakah ini akhirnya? Dipukuli kadal?
“Sial! Pikirkan jalan lain!” Kupukuli kepalaku atas performanya yang kurang memuaskan.
“Alan, saya akan menahan makhluk-makhluk itu di sini. Pergilah, cari bantuan.” Ran berbalik, menghadap pengejar kami.
Ran merentangkan tangan kanannya, sebuah tombak muncul tiba-tiba di genggamannya. Ran berlari ke arah mereka sembari berteriak.
Pergi? Berlari? Itu sajakah yang bisa kulakukan? Aku tidak pernah merasa sehina ini, dilindungi oleh seorang perempuan yang baru kukenal. Cari bantuan? Seharusnya itulah kata-kataku!
Ran tengah beradu dengan kawanan kadal monster itu. Tak seperti tuyul yang bisa mati hanya dalam sekali tebas, kulit kadal agaknya lebih tebal. Ran berhasil menghabisi satu kadal dengan menusukkan mata tombaknya ke leher kadal. Namun, Ran terhempas juga hingga menghantam batang pohon akibat ayunan pemukul kayu kadal dari belakangnya.
Ran kesulitan bangkit. Kadal-kadal itu berkumpul mengerumuni Ran.
Cukup sudah. Bagaimana bisa kadal-kadal sialan itu mengabaikanku? Jadi, mereka tak tertarik dengan yang kelihatannya lemah, huh? Akan kutunjukkan siapa yang lemah! Saksikanlah amarah dari yang kalian anggap lemah!
“Woy! Kadal berengsek! Mana bisa kenyang kalau hanya satu!?” seruku keras-keras.
Kadal-kadal itu menoleh ke arahku. Tak lama kemudian, fokus mereka kembali kepada Ran. Tak kusangka berurusan dengan kadal bisa semenyebalkan ini. Entah kenapa kantong yang disebut sabar milikku tak lagi mampu menyimpan rapat emosi. Aku sudah mencapai batasanku.
Sesuatu, aku butuh sesuatu. Ya, kekuatan untuk menghabisi mereka yang layak dihabisi!
Sesuatu tiba-tiba muncul di hadapanku. Sebuah buku berwarna merah, mewujud dari ketiadaan. Entah kenapa dengan melihat kehadirannya membuat amarahku semakin membuncah. Kini, aku jadi tahu apa yang harus kulakukan dengan murka ini.
"Kala gegainya rasaku diluka
Masa kemurkaan membajak jiwa
Bahamku beradu, kaku
Pahamku jua tak lagi baku"
Buku di hadapanku mulai membalik halaman dengan sendirinya. Aku tahu itu adalah hal yang aneh, tapi sama halnya dengan diriku yang tak sanggup berhenti.
"Surya dengan kuningnya
Candra dengan putihnya"
Buku di hadapanku membalik halamannya dengan lebih cepat. Cahaya kehijauan memancar darinya.
"Berlari, secepat garong yang semakin larat
Berkayuh, terus dan terus hingga kakiku aus"
Terdengar olehku, desir angin yang menghembus kencang dedaunan pohon.
"Kencangnya gerak
Padamkan rebak gelora angkara
Ya, angin. Sebuah pusaran angin yang semakin besar dengan aku sebagai pusatnya.
"Melintas, menabrak raga tanpa kata
Disertanya panas pun desah"
Kadal-kadal itu mulai menaruh atensinya kepadaku, ya? Baguslah kalau begitu, saksikanlah!
"Lagi, jangan berhenti!
Berhembuslah seret emosi
Bertiuplah tak satu perlu ditangisi
Hanya ada aku dan angin di dunia ini!"
“Rasakanlah amarah dariku yang lemah!” Aku berteriak sekuatku.
Diiringi teriakanku, ragaku telah melesat ke kawanan kadal. Tinjuku, melesak perut kadal dan membuatnya terpental menabrak pohon hingga tumbang. Kulesakkan lagi tinjuku ke kepala kadal lainnya hingga menghantam tanah, darahnya muncrat membasahi bajuku.
Tak hanya berhenti sampai di situ, aku masih membabi buta. Kuhantam, kutendang kadal-kadal itu dengan kepala sebagai sasaran utama. Tak butuh waktu lama bagiku untuk memegat nyawa mereka dari raga kadalnya.
Setelah selesai dengan kadal, kudapati Ran tengah terbaring tanpa kesadaran. Baru saja aku ingin mengecek hembus napasnya dengan tanganku kalau tidak terhenti oleh bercak darah yang melapisi sekujur tanganku.
Kemudian, kusadari kalau aku sendiri juga monster. Entah kemana perginya rasa kemanusiaanku. Melihat bangkai-bangkai kadal yang kuhabisi membuatku tenang. Melakukan yang tadi itu, membuat batinku jadi ringan. Ada yang salah dengan diriku ini.
Aku jadi urung memastikan nadi atau hembus napas Ran karena barusan kulihat wajahnya mengernyit, mungkin karena kesakitan.
Kuposisikan Ran di punggungku. Akan kugendong dia sambil melangkah dan berharap agar dapat bertemu dengan seseorang di hutan yang agaknya masih perawan ini. Sangat kecil kemungkinannya, tapi tetap saja aku tak mau melepas nyawaku di tempat konyol ini.
Kali ini aku berjalan sedikit lebih jauh dari tepi sungai. Rasanya menyusuri sungai begitu saja lebih berbahaya. Setidaknya berjalan lebih dekat dengan hutan dapat melindungi diriku dari pertemuan dengan kadal-kadal seperti tadi.
Belum cukup jauh aku melangkah, kesialan kembali merundung. Kali ini, aku jatuh ke dalam sebuah lubang. Lubang yang dalamnya kira-kira dua kali tinggiku. Sebelum jatuh, aku masih sempat membalik badanku sehinga Ran jatuh di atas badanku.
Rasanya sangat sakit. Mungkin seperti ini juga yang sedang dirasakan oleh Ran. Tak pernah terbayangkan olehku, tersesat di tempat yang tak kuketahui dengan seorang perempuan yang belum amat kutahu juga. Setidaknya dengan ini, aku juga telah menyelamatkannya, sama seperti yang ia lakukan kepadaku. Walaupun, aku tak yakin sampai kapan kami bisa bertahan.
Aku kesulitan bergerak. Kesadarankulah yang bergerak, ia beranjak meninggalkanku di lubang ini.
*****
-to be continued-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro