Halaman 2: Ujung
"Jadi, aku menemukan sebuah buku. Saat kubuka, tiba-tiba saja aku berada di tempat yang asing lalu tanpa kusadari aku sudah berada di gerbang sekolah dengan sepedaku bersama Satria." Kutatap diriku yang ada di cermin lemari baju.
Sesampainya di rumah, tak henti-hentinya aku menelaah hal yang kualami di sekolah tadi. Otakku mencium bau daripada sebuah keganjilan. Tapi apa? Semakin kuulangi semua fakta yang ada, semakin ragu pula aku akan kebenarannya.
Mandi! Dengan air yang dingin tentunya pikiran ikut dingin juga. Saat badan dan kepala lebih segar nanti, mungkin aku akan mampu menarik kesimpulan atas semua kejadian ganjil ini! Ya, singkirkan semuanya dan fokuslah mandi!
Sebelum aku kehilangan akal sehat, kuambil handuk merahku lalu segera kubergegas masuk ke kamar mandi. Kutanggalkan bajuku lalu kugantungkan di gantungan baju yang ada di pintu kamar mandi. Siraman pertama dengan gayung besar berbentuk hati menimbulkan sensasi kejut di badan.
Jam beker di kamarku menunjukkan angka 19.30. Itu berarti kurang lebih lima belas menit sudah kuhabiskan untuk mandi. Seember penuh air juga sudah benar-benar kuhabiskan. Kini badanku sudah jauh lebih segar dan wangi dengan kaos hitam lengan panjang kesukaanku.
Oh, iya! Mengenai jam, rasanya aku luput menyertakan itu dalam kerangka pikirku. Hari Kamis pukul 06.50, aku terlambat datang ke sekolah. Sekitar pukul 07.05, kepala kesiswaan selesai menceramahi siswa yang terlambat. Setelahnya, aku bergegas menuju kelas.
Pukul 07.10, berdasarkan perintah Bu Marinten, aku telah berada di dalam perpustakaan. Pukul 07.25, aku telah selesai berurusan dengan lima rak buku. Beberapa menit setelahnya, aku menemukan lalu membuka sebuah buku yang tadinya berdebu.
Berdasarkan ucapan Satria, aku berada di gerbang sekitar pukul 16.00. Lantas, apa yang kulakukan pada kurang lebih delapan jam antara pukul 07.25-16.00?
"Mungkinkah... aku melompati waktu!? Time leap!?" Seruku pada pantulan diriku di cermin lemari baju.
Jika memang benar seperti itu, bagaimana caranya? Apa yang menjadi pemicu kejadian semacam itu? Lubang hitam? Ruang yang berputar dengan kecepatan cahaya? Tidak mungkin kalau sebuah buku aneh yang jadi pemicunya, kan?
Bunyi gemelontang kaleng sedikit mengejutkanku. Pasti asalnya dari tempat sampah di depan rumahku ini. Cukup sering tempat sampahku berantakan gara-gara ulah hewan lucu tak bertanggung jawab. Peliknya masalah ditambah lagi kegaduhan dari luar menguras habis kesabaranku.
"Dasar kucing-kucing tak beradab! Tak hanya lauk, tempat sampahku juga mau kalian jarah, hah!?" seruku.
Segera aku melangkah menuju pintu depan lalu kubuka dengan keras. Aku tertegun mendapati kenyataan tak sesuai dengan perkiraan.
Ternyata bukan kucing yang sedang mengacak-acak tempat sampahku, melainkan sekumpulan makhluk hijau kecil. Tiga, tidak, ada lima! Mereka sedang memakan roti tawar yang kubuang karena kadaluarsa saat menyadari keberadaanku.
Aku berteriak meluapkan keterkejutanku. Setelah mengambil beberapa langkah ke belakang, kubanting pintu lalu kukunci. Sesuatu rasanya menancap di sisi lain pintuku ini. Makhluk-makhluk aneh itu menguik? Mendengking? Aku tak bisa menggambarkan suaranya di tengah kepanikanku ini.
Mereka menggedor-gedor pintuku. Keringat dingin mulai membasahi keningku. Kudorong benda-benda yang menurutku berat untuk mengokohkan pertahanan pintuku. Lemari kayu kecil, sofa, meja, semoga cukup untuk menahan pintu ini.
Setelah beberapa saat, suara makhluk aneh itu tak lagi terdengar. Selama beberapa detik, kumantapkan tekadku untuk mengecek keadaan di luar. Kutarik napas dalam-dalam lalu kulangkahkan kaki dengan hati-hati menuju jendela yang berjarak kurang lebih satu meter dari pintu.
Titik yang menjadi pusat fokus awalku adalah tempat sampah yang isinya telah berserakan. Mataku tengah memastikan kenihilan makhluk tadi saat wajah hijau dengan lidah yang menjulur tiba-tiba menempel di sisi lain jendela.
Aku yang terkejutnya bukan main berteriak lalu terjatuh ke belakang. Rupanya mereka masih ada di sana dan sedang mencari jalan untuk masuk ke dalam rumahku.
Dua di antara mereka menghunjamkan mata tombaknya ke jendela. Pecahlah kaca jendela ku, serpihannya bertaburan.
Aku terpaku di tempat, ketakutan. Kurasa aku tidak punya waktu barang semenit sampai monster itu membersihkan kaca yang ada di bingkai jendela.
Kupaksa kakiku yang gemetaran untuk berdiri. Kucoba berlari menuju pintu belakang. Pintunya terkunci! Kembalilah aku ke kamar untuk mengambil kunci di laci meja belajarku.
Sulit rasanya menemukan benda kecil dengan pikiran yang tertekan dan badan yang gemetaran. Untunglah kuncinya benar ada di laci mejaku.
Bergegaslah aku keluar kamar menuju pintu belakang lagi. Belum sampai tanganku meraih daun pintu, sesuatu terasa melesat melalui samping wajahku lalu menancap di pintu. Rupanya itu adalah sebuah tombak! Semakin paniklah aku.
Tanpa menoleh ke belakang, kugunakan kunci yang kubawa untuk membuka pintu. Jantungku berdetak semakin kencang seiringan suara langkah yang kedengarannya semakin mendekat.
Untunglah kuncinya tidak macet jadi aku bisa segera keluar dari rumah ini. Kubanting pintunya keras-keras, tepat mengenai wajah monster yang telah berada di belakangku. Monster itu menjerit kesakitan di dalam.
Aku sedang mempertimbangkan untuk memanjat tembok ketika kusadari monster-monster hijau telah mengepungku. Aku benar-benar terpojok dalam artian harfiah, di sudut tembok.
Monster-monster hijau yang mengepungku perlahan mendekat sembari mengumbar senyum yang mengerikan. Apakah makhluk-makhluk ini yang kerap disebut tuyul? Bukankah mereka hanya mencuri uang!?
Pintu belakangku terbuka. Dari dalamnya keluar tuyul yang mukanya kemerahan. Mungkin karena hantaman pintu tadi. Ia jugaberjalan mendekati kawanannya sambil memegangi hidung dan tombak di tangan berlainan.
Sadar tak lagi dapat berbuat apa-apa, kupejamkan mataku. Kurenungkan masa-masa hidupku yang suram sehingga aku mendapatkan akhir tragis nan aneh seperti ini. Pasrah, ya, aku harus belajar merelakan.
"Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau"
Eh? Ini hanya perasaanku saja, atau...? Rasanya familiar di telingaku.
Kubuka mataku dan kudapati tuyul-tuyul yang mengepungku tidak lagi mengunci tatapannya kepadaku. Sepertinya sesuatu di atasku telah merebut atensi mereka dariku.
"Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang"
Binatang jalang! Puisi Chairil Anwar!? Siapa orang gila yang membacakan puisi legendaris di hadapan tuyul-tuyul beringas ini?
"Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari"
Kubalik badanku lalu kudongakkan kepalaku demi dapat melihat sosok yang tengah berpuisi. Terimakasih kepada terangnya sinar bulan, berkatnya aku dapat melihat cukup jelas. Sesosok perempuan berdiri di atas tembok dengan blazer berwarna hitam.
"Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi!"
Bersamaan dengan seruan baris terakhir, perempuan itu melompat ke arah kumpulan tuyul. Dengan tombak yang entah kapan ada di genggamannya, tumbanglah satu tuyul akibat tusukan yang menembus kepalanya.
Tuyul lainnya terkejut atas serangan tiba-tiba dari si perempuan. Dalam keterkejutan tuyul-tuyul yang sesaat, perempuan itu bergerak cepat dengan tombaknya. Menusuk dada, menebas kepala, sebuah pertunjukkan yang membuat perutku serasa bergejolak.
Tak lama bagi pengguna tombak itu untuk menghabisi sekumpulan tuyul yang tadinya ada di hadapanku. Anehnya, tuyul yang mati kemudian lenyap menjadi debu dan asap hitam yang berpencar ke segala arah. Tak ada bangkai satu pun. Mungkin karena itu juga mereka disebut makhluk halus?
Tombak yang dipegang si perempuan menghilang dengan sendirinya. Ia lalu berjalan mendekatiku dan menjulurkan tangannya ke arahku.
Aku agak kebingungan dengan hal yang terjadi di depan mataku. Pun begitu, tanpa pikir panjang kuraih tangan penyelamatku ini.
Wajahnya jadi tampak lebih jelas dari dekat, tampak lebih cantik. Namun, siapakah gerangan perempuan ini? Berpuisi di hadapan tuyul-tuyul lalu membunuhnya dengan tombak?
"Eh, kamu...siapa?" tanyaku dengan grogi.
"Oh, saya Chairil Anwar," jawabnya disertai seulas senyuman.
Tak hanya namanya, aku juga dibuat terkejut oleh bunyi lain yang hampir sama mengerikannya dengan bunyi yang dikeluarkan tuyul-tuyul tadi.
"Dan saya lapar." Si perempuan tersenyum kikuk sambil memegangi perutnya.
*****
-to be continued-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro