Halaman 1: Buku
Belakangan, dunia pendidikan menengah atas mulai memasuki era di mana setiap siswa dianggap "unik". Setiap individu adalah unik, memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Singkatnya, siswa dapat memilih untuk lulus dari sekolah dengan cepat, biasa, atau lambat.
Jika memang keunikan itu dianggap, lantas mengapa kami harus repot-repot mengikuti dan mematuhi satu acuan tetap? Bukankah harusnya sistem pendidikanlah yang disesuaikan dengan keunikan kami?
Jawaban atas semua itu mungkin tak akan pernah kudapatkan. Menanyakannya langsung ke guru-guru yang ada mungkin hanya akan disebut sebagai wujud pembenaran diriku semata. Yah, lagipula hari ini adalah hari Kamis 07.10 yang cerah.
"Ah, kamu lagi? Lain kali bangunnya lebih pagi, dong," ucap seorang pegawai magang menyebalkan di balik meja.
Kuumbar senyum tipisku sesaat dalam rangka menanggapi ucapannya lantas langsung aku melenggang menuju ruang baca. Kuedarkan pandanganku kepada rak-rak buku yang tegak di hadapanku. Kumulai pencarian dari rak satu. Dari ujung kanan ke ujung kiri, dari atas beranjak ke bawah.
Sepagi ini, hanya akulah satu-satunya siswa yang berada di tempat suci ini. Tempat di mana buku-buku sangat jarang terjamah oleh tangan kotor manusia, tersimpan dan tertata dengan rapi. Mulanya, sejumlah staff yang kerap berada di perpustakaan ini memujiku dengan sebutan siswa teladan. Namun, mereka berhenti setelah tahu kebenarannya.
Ya, berada di perpustakaan pada pagi hari bukanlah panggilan jiwaku. Di hari Kamis yang cerah ini, di mana seharusnya aku tengah duduk santai di kelas, hukuman dijatuhkan atas diriku. Untuk setiap keterlambatan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia akan diganjar dengan hukuman membaca buku.
Siswa dari kelas lain yang tidak diajar oleh Bu Marinten mengatakan bahwa hukuman itu sangatlah enteng, malah menyenangkan karena bisa membuat pelanggar bebas dari pelajaran. Mana ada!? Selain membaca sebuah buku, diharuskan juga memahami isinya untuk kemudian diceritakan di hadapan anak-anak sekelas!
Sungguh sebuah bentuk hukuman yang sempurna. Di samping mampu membuat kepala terasa panas, juga mampu memunculkan rasa risih karena harus berhadapan dengan orang banyak. Bukannya aku tak jera atas hukuman yang rutin kudapatkan ini. Hanya saja, banyak alasan atas keterlambatanku yang bahkan aku sendiri tidak terlalu paham.
Untuk bacaan hari ini akan kugunakan buku paling tipis yang ada di sini. Sungguh banyak sekali buku di sini, tapi sebuah buku dengan kriteriaku tak kunjung kutemukan. Ada sih, satu buku ramping yang baru saja kutemukan dan langsung kukembalikan ke tempatnya begitu saja. Bagaimana tidak, buku itu agaknya adalah buku dongeng bergambar dengan bahasa Mandarin.
Tak tanggung-tanggung, lima rak buku sudah kujelajahi hingga hanya tersisa satu rak buku saja. Rak ini terletak hampir di ujung kiri ruangan bersebelahan dengan lemari-lemari setinggi pusar yang memanjang memenuhi sisi kiri ruangan.
Beberapa buku ringan yang telah kutemukan sepanjang pencarianku melalui lima rak buku sebelumnya adalah buku dongeng mandarin, buku saku pramuka atas nama Subagyo, Antologi Anekdot 11 IPS-1, Sebuah stofmap berisi fotokopi ijazah SMP milik Bima Syahputra, dan sebuah buku tulis sepuluh lembar yang dipenuhi angka dan coretan tidak jelas.
Semoga saja tidak ada akte tanah yang ikut tertata di rak buku terakhir ini. Sekilas lihat, rak ini lebih berdebu. Dibandingkan rak buku yang lain, yang satu ini agaknya lebih jarang lagi disentuh manusia. Wajar saja, hanya bendel-bendel kliping dan laporan tugas siswa saja yang memenuhi rak ini.
Lima belas menit telah berlalu sejak aku tiba di perpustakaan ini. Waktuku tinggal 25 menit lagi. Kupercepat pencarianku di rak keenam ini. Sejak tadi ada sesuatu yang rasanya mengganjal di saku celana kananku dan aku sudah tidak tahan lagi.
Kurogoh sakuku lalu kukeluarkan isinya. Belum kuamati dengan jelas rupanya ketika benda tak beraturan itu terjatuh lalu menggelinding masuk ke kolong lemari. Akan lebih mudah jadinya jika benda itu hanyalah bola sampah kertas. Sayangnya, itu adalah kertas ulangan Matematika milikku dengan nilai lima puluh.
Mau tak mau sampah tadi harus kuambil untuk kumasukkan ke dalam "kotak kebencian" di kamarku. Jadilah aku membungkuk, bahkan sampai telungkup di lantai yang dingin karena sampah itu masuk terlalu dalam.
Bukannya nilai lima puluhku, tanganku malah mendapati sesuatu yang rasanya lain. Setelah kutarik keluar, barulah terlihat jelas penampakannya. Sebuah buku tebal dengan debu yang tebal pula.
Aku beranjak dari lantai yang dingin menuju ke meja baca yang juga terasa dingin karena tepat berada di bawah AC. Kutiup dan kutebahi dengan tanganku debu yang menempel di buku lalu kuletakkan buku di atas meja.
Judulnya ditulis dengan huruf tegak bersambung yang kalau tidak salah dibaca Jayabaya. Sekali waktu kilau emas terpancar dari judulnya yang berwarna emas juga. Entah kenapa batinku serasa ditarik untuk mengetahui isinya.
Duduklah aku di kursi. Kubalik sampulnya dilanjutkan dengan beberapa halaman setelahnya. Kosong. Tak kujumpai satu huruf bahkan goresan tinta di manapun.
Tiba-tiba saja lembaran buku ini terbalik dengan sendirinya. Angin rasanya bertiup dengan kencang dari buku di hadapanku ini. Aku terkejut, bahkan sampai terjatuh dari kursi dibuatnya. Halaman-halaman buku itu terbalik lebih cepat dan semakin cepat.
Detak jantung yang menggila dan napas yang memburu terhenti seketika. Kudapati diriku tengah terduduk di hamparan rumput yang luas. Dalam satu kedipan mata berikutnya, aku berada di gerbang sekolah.
"Lan! Sehat lo?" Seseorang menepuk bahuku.
Hentak jantung kembali ke dadaku juga hembus napas sanggup lagi kunikmati. Di sampingku kini tengah berdiri teman sekelasku, Satria.
"Makasih udah nungguin, bro," ucap Satria.
Aku sendiri cukup bingung dengan keadaanku saat ini, tentang apa yang baru saja terjadi. Bagaimana aku bisa ada di sini dan kenapa aku bersama Satria?
"Eh, nungguin apa ya gua?" tanyaku kepada Satria dengan nada senormal mungkin.
Untungnya aku tidak cukup kacau sehingga lupa memakai lo-gua saat berbicara dengan Satria. Dia murid pindahan dari Jakarta dan lucunya akulah yang menyesuaikan lidah dengan logatnya.
"Yaelah, lo sakit apa gimana kok bisa lupa? Barusan gue ke toilet sebentar, kan mau nebeng ke fotokopian." jawabnya.
"Oh iya, fotokopi," balasku sekenanya.
"Ayo, udah jam empat ini keburu tutup," Satria duduk di boncengan sepeda yang belum juga kunaiki.
"O-oke, ayo berangkat!" seruku disertai tawa yang bahkan menurutku sendiri terdengar aneh.
"Gas, Lan!" seru Satria antusias.
Kunaiki sepedaku lalu kukayuh menuju tempat penyedia layanan fotokopi terdekat. Kudengar Satria menyenandungkan sebuah lagu dengan senangnya di belakang.
Eh, kapan ya dia minta tumpangan? Kenapa aku sudah menggandeng sepedaku di depan gerbang sekolah? Sejak kapan hari terasa sesingkat ini? BAGAIMANA DENGAN RESENSIKU!?
*****
-to be continued-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro