The Kingdom and the Holy Sword
"Menyebalkan sekali, ya, hidup di kerajaan ini. Semenjak sang Raja mangkat dan tiada, kerajaan jadi kacau. Para bangsawan bodoh itu malah saling berkudeta untuk memperebutkan takhta. Hah, sialan. Kenapa aku bisa tinggal di kerajaan hancur ini?" Shera tiba-tiba saja bercerita dengan menggebu-gebu saat kami sedang mencuci pakaian di sungai.
Aku terdiam sambil menggosok kerah pakaian yang kucuci, tidak berniat membalas karena tahu Shera pasti akan melanjutkan kata-katanya.
"Padahal kerajaan kita sudah amat tenteram dipimpin sang Raja. Beliau selalu memperhatikan dan menyejahterakan rakyatnya. Bahkan selama aku hidup, kerajaan ini hampir tidak pernah berperang dengan negara atau kerajaan lain. Akan tetapi, kenapa beliau malah mangkat seenaknya?" Shera masih terus berceloteh sambil membilas rok cokelatnya ke sungai.
"Kudengar beliau sakit parah. Aku bisa membayangkan betapa kesulitannya beliau jika tetap memerintah dalam kondisi seperti itu." Akhirnya aku menanggapi.
"Meski demikian, aku benar-benar tidak menyangka kalau kerajaan akan sekacau ini karena perebutan takhta kosong. Andai saja beliau memilih untuk menikah dan punya anak, mungkin kondisinya tidak akan seperti ini," timpal Shera.
Memang kalau dipikir-pikir, kami sebagai rakyat biasa tidak tahu alasan mengapa sang Raja memilih untuk tidak menikah dan memiliki anak. Beliau sudah mendirikan dan memerintah kerajaan ini selama 50 tahun lamanya. Kurasa itu waktu yang lebih dari cukup untuk menemukan wanita yang dicintai. Hmm ... misalnya, menikah dengan putri para bangsawan. Oh, dengan putri kerajaan lain boleh juga.
Kerajaan kami, Avalon, sebenarnya adalah kerajaan yang cukup terpencil. Kerajaan ini dibangun 60 tahun lalu di antara lembah Pegunungan Adlonia oleh sang Raja yang satu setengah tahun lalu telah mangkat dan tiada. Meski umur Avalon terhitung sangat muda ketimbang kerajaan lain, kerajaan ini bisa berkembang secepat dan semakmur ini berkat sang Raja, sebelum beliau tidak menjabat lagi.
"Kaira, aku duluan, ya. Setelah ini aku harus ke kebun Bibi Yari untuk membantunya memetik buah yang sudah panen." Shera bangkit berdiri sambil membawa bakul berisi pakaian.
Oh? Sepertinya aku terlalu larut dalam pikiranku sampai tidak sadar kalau Shera sudah selesai mencuci.
"Baiklah. Hati-hati, Shera," kataku sebelum Shera mengangguk dan pergi meninggalkanku.
Tidak lama kemudian, aku juga sudah menyelesaikan pakaian yang kucuci. Jadi aku memilih untuk kembali ke rumah dan memasak untuk makan malam.
"Oh, Kaira? Akhirnya kau pulang," sambut Ibu begitu aku memasuki rumah. "Tuan Reil sudah menunggumu dari tadi."
Aku menoleh pada seorang pria berusia tiga puluh tahunan yang duduk di ruang tamu, lalu mengembuskan napas pelan.
Aduh, aku baru saja pulang, lho. Kenapa ada pria itu di sini? Kalau tahu begitu, lebih baik tadi aku ikut Shera ke kebun Bibi Yari daripada harus bertemu dengan pria ini.
Dia Reil Gresshan, putra pertama Baron Gresshan yang berkuasa di desa kami. Dia terus-terusan mendekatiku yang hanya seorang putri dari petani, mendesakku untuk menikah dengannya. Padahal, dia sudah beristri.
Sejujurnya aku belum ingin menikah. Apalagi dengan pria mata keranjang dan boros sepertinya. Lagipula, aku tidak ingin merusak rumah tangga Nyonya Malerin. Akan tetapi, Ibu terus-terusan mendesakku untuk menikah dengan pria itu. Untuk mengangkat derajat kami, katanya. Tapi, hei, usiaku baru menginjak dua puluh! Meski sebenarnya, usiaku sudah terbilang matang untuk membangun keluarga.
Pria itu bangkit dari duduk, lalu berlutut di hadapanku dan meraih tanganku. Sebelum dia sempat mencium punggung tanganku, aku buru-buru menarik tanganku dan melengos ke kamar.
"Kaira! Apa yang kau lakukan? Kau tidak sopan!" teriak Ibu sebelum aku menghilang dari pandangan mereka. Dari balik pintu kamar, samar-samar aku mendengar Ibu meminta maaf berkali-kali pada pria itu.
Aku mendengkus.
Maaf, Bu. Bukannya aku ingin berlagak tidak sopan, tetapi aku benar-benar tidak ingin menjalin hubungan apalagi menikah dengannya.
Aku menaruh bakul pakaian yang barusan kucuci, lalu pergi ke luar lewat pintu belakang untuk menjemurnya. Kemudian, aku memilih untuk pergi ke tepi danau, tidak jauh dari hutan Arga. Sambil duduk memeluk lutut, aku memandang lurus ke permukaan danau yang tenang, memikirkan berbagai hal mulai dari perjodohanku dengan Tuan Riel sampai keadaan kerajaan yang kacau balau.
"Hei, rakyat jelata."
Aku spontan menoleh ke belakang dan mendapati tiga orang pria berbeda usia dan berpakaian mewah menatapku dengan tatapan merendahkan.
Aku bangkit berdiri. "Iya, Tuan?" balasku mencoba sopan.
"Kau sering ke tempat ini?" tanya pria yang mengenakan setelan merah marun.
Aku mengangguk singkat. "Benar, Tuan. Saya sering ke tempat ini."
"Kau pernah ke Hutan Arga?" tanya pria lain yang bersetelan cokelat muda.
Aku mengangguk lagi. "Pernah, Tuan. Beberapa kali."
Mereka bertiga saling pandang.
"Kalau begitu, kau pernah melihat sebuah pedang tertancap di dalam hutan itu?" tanya pria lainnya yang mengenakan setelan putih.
Namun, pertanyaan terakhir itu membuatku mengerutkan kening. "Maaf, Tuan. Saya tidak pernah melihatnya."
Pria bersetelan ungu berdecih. "Dasar rakyat jelata yang tidak berguna," katanya, kemudian membalikkan badan. "Ayo, Tuan Ambersen, Tuan Karfinn."
Lantas, mereka bertiga pergi. Akan tetapi, pikiranku malah melayang pada pertanyaan dari pria bersetelan putih.
Pedang yang tertancap di hutan? Selama enam kali aku pergi ke Hutan Arga, tidak pernah sekalipun aku melihat ada pedang yang tertancap di dalamnya. Lagipula, memangnya ada apa dengan pedang itu?
"Kau penasaran, Nona Calon Raja?"
Suara seorang laki-laki spontan membuatku menoleh ke asal suara.
"Maaf, Anda siapa?" tanyaku pada seorang laki-laki muda berompi cokelat dan mengenakan topi lebar yang duduk di atas batu besar di samping kananku. Dari penampilannya, dia jelas bukan seorang bangsawan, tetapi aku ragu kalau dia adalah rakyat jelata. Mungkin pengelana.
"Aku?" Dia menunjuk dirinya sendiri sebelum mengulas senyum. "Aku adalah seorang Penunjuk."
"Maaf?"
"Kau tahu soal legenda Pedang Suci, wahai Nona Calon Raja?" tanyanya tanpa membalas kebingunganku. Lebih-lebih saat dia memanggilku 'Nona Calon Raja'.
Aku menggeleng. "Saya tidak tahu, Tuan."
Senyumnya kian melebar. Kemudian, dia melompat turun dan duduk di sebelahku.
"Kalau begitu, biar kuceritakan. Duduklah," ucapnya sambil menepuk-nepuk tanah berumput.
Entah mengapa, aku malah mengikuti intruksi laki-laki itu.
"Dahulu kala, ada seorang pemuda baik hati dan bijaksana yang bertemu seorang Penunjuk. Pemuda itu bercerita pada Penunjuk bahwa ia seorang pengelana yang tidak punya apa-apa. Ia tak punya keluarga, juga tempat tinggal. Ia tidak tahu dari mana dirinya berasal. Ia pun bercerita jikalau ia ingin punya tempat tinggal dan merasakan kebahagiaan serta kemakmuran yang tidak pernah didapatnya selama ia hidup.
"Sang Penunjuk akhirnya membawa pemuda itu ke Hutan Pejangkau Burung dan menuntunnya sampai mereka menemukan sebuah pedang yang tertancap di bumi. Sang Penunjuk memerintahkan pemuda itu mencabutnya. Lalu dicabutlah pedang itu oleh sang pemuda, membuat lembah Pegunungan Adlonia dikelilingi cahaya nan menyilaukan mata.
"Sang Penunjuk berpesan, 'Kau adalah pemuda yang adil, baik hati, dan bijaksana. Bangunlah kerajaanmu sendiri menggunakan Pedang Suci itu. Maka, kau akan menemukan kebahagiaan dan kemakmuran yang selama ini kau cari.' Kemudian, berkat kebaikan hati dan ketelatenannya, sang pemuda berhasil membangun kerajaannya sendiri dengan bantuan orang-orang yang memercayai ia. Kerajaan yang pemuda itu bangun, kini dikenal sangat makmur dan tenteram, sebelum akhirnya ia tiada dan para bangsawan serakah saling berkudeta dan berburu mencari Pedang Suci untuk memperebutkan takhta kosong sang pemuda. Tamat."
Aku membisu sejenak. Sebenarnya, tidak butuh waktu lama bagiku untuk mencerna cerita laki-laki ini. Namun, entah mengapa, aku merasa ada bagian dari diriku yang bergejolak ketika mendengar ceritanya.
"Bagaimana dengan ceritaku, Nona Calon Raja? Hebat, bukan?" tanyanya riang.
"Anda ...," aku menjeda ucapanku, "apa Anda-lah 'sang Penunjuk' itu? Lalu, pemuda yang Anda ceritakan adalah sang Raja dan kerajaan yang ia bangun adalah kerajaan ini, Avalon. Apa saya benar?" terkaku, hati-hati.
Laki-laki itu tergelak. "Tepat sekali. Seperti yang diharapkan dari Nona Calon Raja!"
"... Saya tidak mengerti," gumamku lirih. "Kenapa Anda memanggil saya Nona Calon Raja?"
Dia menghentikan tawanya, lalu menatapku dengan senyum tipis. "Aku tahu kau pasti akan segera mengerti. Karena kau adalah gadis yang baik hati, cerdas, dan adil, sepeti pemuda itu."
"Terima kasih, tetapi tolong jangan memuji saya seperti itu. Karena saya benar-benar belum mengerti."
Aku tidak berbohong. Biasanya aku cepat tangkap, tetapi untuk kali ini, aku benar-benar tidak bisa memahami maksud laki-laki itu. Lagipula, ada satu hal yang mengganggu pikiranku ....
"Tuan, bolehkah saya bertanya beberapa hal?" pintaku.
"Silakan, Nona Calon Raja."
"Terima kasih, Tuan. Pertama, jika benar Anda adalah sang Penunjuk yang ditemui sang Raja dahulu, itu berarti Anda berumur panjang. Siapakah Anda? Kedua, mengapa Anda menemui saya? Dan terakhir, mengapa para bangsawan mencari-cari Pedang Suci sang pemuda? Ada apa dengan pedang tersebut?" cecarku.
"Baiklah, Nona. Pertama, ya, umurku memang panjang. Siapa aku, untuk saat ini Nona hanya perlu tahu bahwa aku adalah 'sang Penunjuk'. Kedua, alasan aku menemui Nona adalah karena aku ingin 'menunjukkan' sesuatu kepada Nona. Ketiga, Pedang Suci tersebut adalah cikal bakal terpilihnya pemimpin dan pendiri kerajaan ini. Karena itulah, seseorang yang dapat menemukan dan mencabut Pedang Suci itu seperti sang pemuda, akan terpilih menjadi pemimpin atau raja dari kerajaan ini. Apakah jawabanku memuaskanmu, Nona Calon Raja?"
Sebenarnya, tidak terlalu karena pertanyaan pertamaku belum terjawab sepenuhnya. Namun, karena jawabannya sudah cukup memuaskanku, aku mengangguk. "Terima kasih, Tuan."
"Sudah tugasku, Nona," jawabnya, kemudian mengulas senyum. "Nona, tolong izinkan saya untuk melakukan tugas terakhir saya."
"Tugas terakhir?"
"Menuntunmu, Nona. Seperti yang dilakukan oleh sang Pemuda dahulu."
Jawaban dari sang Penunjuk membuatku meneguk saliva. Aku ... sepertinya aku mulai mengerti.
"Sebelum itu, aku ingin menanyakan suatu hal padamu." Sang Penunjuk lantas bangkit berdiri. Ia mengulurkan tangannya padaku, membantuku untuk bangkit.
"Silakan, Tuan."
"Apa kau menginginkan perdamaian dan kemakmuran di kerajaan ini, Nona?"
Aku mengangguk mantap. "Tentu saja, Tuan. Siapa yang tidak menginginkan hal itu?"
"Lantas, jika diberi kesempatan dan tanggung jawab, apakah kau bersedia menuntun kerajaan ini kepada kemakmuran itu, wahai Nona Calon Raja?"
Aku terdiam sejenak.
Aku makin tahu ke mana arah percakapan ini. Meski demikian, aku masih membutuhkan alasan atas semua ini. Namun kemudian, aku teringat. Para bangsawan yang semena-mena kepada kami, rakyat jelata, semenjak sang Raja tiada. Hasil panen dijarah, pernikahan paksa, ekonomi yang merosot, sampai tindak kekerasan dan perundungan para bangsawan kepada kami. Hal itu membuat emosiku sedikit memuncak hingga kedua telapak tanganku terkepal. Lantas, aku menatap sang Penunjuk.
"Ya, saya bersedia, Tuan. Jikalau kesempatan itu diberikan kepada saya, saya tidak akan melakukannya setengah-setengah," jawabku yakin.
Sang Penunjuk tertawa. "Baguslah. Itu jawaban yang kuharapkan. Ikuti aku."
Lantas, sang Penunjuk beranjak mendahuluiku, sementara aku mengekorinya. Kami berhenti di belakang sebuah gua.
"Cabutlah pedang itu, Nona Calon Raja," titah sang Penunjuk.
Pedang? Namun, yang kulihat hanya semak-semak dan rerumputan panjang ... oh, tunggu.
Aku berjalan mendekat, kemudian mencabut rerumputan itu dan menyibak semak-semak sampai akhirnya sebuah pedang terlihat di mataku. Aku meneguk saliva.
Sebilah pedang yang terlihat mengilap, berukuran cukup panjang serta bergagang perak tertancap di tanah. Tubuhku bergerak sendirinya untuk mendekat, hingga ... aku memberanikan diri untuk mencabut pedang itu.
Berat, tetapi di saat yang bersamaan, ringan sekali.
Aku membalikkan badan hanya untuk menatap sang Penunjuk yang tersenyum sambil merentangkan tangan.
"Izinkan saya, sang Penunjuk, mengucapkan selamat atas terpilihnya Anda menjadi pemimpin Kerajaan Avalon, wahai Raja Kaira da Avalon!"
Aku memejam cukup lama. Entah mengapa ingatan 40 tahun lalu tiba-tiba menghampiriku. Saat-saat ketika aku bertemu dengan sang Penunjuk dan mencabut Pedang Suci, serta caci maki para bangsawan dan rakyat yang tidak terima karena seorang gadis muda terpilih menjadi raja oleh sang Pedang Suci, malah terekam jelas di detik-detik sebelum aku mangkat dari jabatanku.
Aku membuka kelopak mata, lantas menatap sebilah pedang yang berada di genggamanku sebelum akhirnya kutancapkan pedang itu di suatu tempat di dalam Hutan Arga. Persis seperti yang dilakukan sang Raja terdahulu.
Aku tertawa pelan. Aku jadi teringat ... dahulu aku selalu penasaran, mengapa sang Raja memilih untuk tidak menikah dan mempunyai anak. Namun sekarang, setelah aku menjadi raja, aku jadi paham alasan sang Raja. Benar kata sang Penunjuk, semuanya tentangku, sangat mirip dengan sang Raja terdahulu.
Akan tetapi, kuharap ... kau, Calon Raja, memiliki takdir yang berbeda dari kami berdua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro