Taksanta yang Ambigu.
"Buna, Buna, itu apa?" Taksanta kecil yang dua hari lalu baru menyentuh usia lima tahun menunjuk benda melayang di langit kala mereka melintasi jembatan rambut.
"Itu bulan, Sayang. Bulan yang menerangi kita dan makhluk di dunia ini pada malam hari," jawab wanita semampai di sebelahnya yang menggandeng tangan kiri Taksanta.
Namun, agaknya, jawaban itu membuat Taksanta kecil makin penasaran. Ia menatap sang Ibu dengan raut polos.
"Tapi, bulan kok bentuknya seperti itu? Kenapa bulan punya mata, hidung, dan mulut seperti kita? Bulan, kan, bukan makhluk hidup!"
Wanita itu terkekeh mendengar tuturan polos putrinya.
"Kamu baru melihatnya, ya?" Ia mengacak-acak rambut Taksanta dengan gemas. "Bulan makhluk hidup kok, Sayang. Setidaknya, di dunia kita."
Taksanta tak berani berkomentar. Kakinya kembali melangkah mengikuti sang Ibu sembari sesekali melirik wanita itu.
Dunia kita.
Anak itu mengembuskan napas pelan, kemudian mendongak. Sang Bulan dengan matanya yang bulat itu menyipit, yang lalu barulah Taksanta sadari jikalau makhluk itu tengah tersenyum kepadanya.
Taksanta menghentikan langkah untuk memastikan apa yang ia lihat. Namun, sang Ibu yang menyadari hal itu segera bertanya, "Ada apa, Sayang?"
"Buna ... bulannya tersenyum," bisik Taksanta lirih.
Wanita itu terbahak. "Itu artinya kau anak baik, Taksa," ujarnya kemudian. "Nah, sekarang ayo kembali ke rumah."
"Baik."
Diam-diam Taksanta kembali mendongak. Bibir sang Bulan bergerak sedikit, seakan membisikkan sesuatu. Taksanta tak dapat menangkapnya—oh, tentu karena jarak yang ada di antara mereka. Ia hanya dapat menangkap dan mengira-ngira dua kata yang mungkin diucapkan oleh sang Bulan: kembali dan pergi.
Apa maksudnya? batin Taksanta.
"Jangan dengarkan apa pun, Taksa," celetuk sang wanita. "Bulan memang memiliki mulut, tetapi ia tak bisa berbicara kepadamu. Apa yang keluar dari mulutnya adalah Sesat."
Taksanta tak membalas. Pandangannya lurus menghadap depan hingga sebuah jamur besar dengan batang putih dan atap merah polkadot terlihat olehnya. Di depan pintu, Amaris kecil melambaikan tangan.
"Taksanta! Buna!" panggilnya keras.
Taksanta seketika menyunggingkan senyum. Dilepasnya genggaman sang Ibu, lantas berlari dan berhambur memeluk Amaris yang baru berkembang biak kemarin; kuncupnya makin cantik saja.
"Sudah selesai memancingnya, Sayang?" tanya sang wanita kepada Amaris, mengecup kelopaknya lembut lalu matanya beralih pada keranjang berisi makhluk sebesar bola pingpong yang mencuat.
"Sudah, Buna. Ayah justru mendapat banyak!" sahut Amaris, menunjuk pria yang berada di dalam jamur.
"Masuklah, kalian. Aku baru membuat burung goreng saus asam manis," kata sebuah suara dari dalam.
Senyum di wajah Taksanta dan Amaris terbit. Lantas keduanya berhambur masuk, disusul sang Ibu di belakang.
***
"Taksanta yang ambigu. Kembalikan maknamu.
Jangan buat ragu.
Sang Sesat menunggumu."
Syair itu kembali terngiang.
Taksanta bangkit dari tidur, mengelap peluh yang membasahi kening dan lehernya. Selimut yang semula membalut tubuhnya berantakan; pertanda ia tidak tidur dengan benar—atau mungkin gelisah.
Ia membuka gorden, sang Bulan masih setia di sana. Senyumnya terulas kembali, membisikkan kata demi kata yang tentu tak dapat Taksanta tangkap.
Sudah hari kelima sejak kejadian yang sama terulang; sang Bulan membisik, syair mengalun, dan ... suatu bau yang tak mengenakkan tercium.
Kini, Taksanta tak mampu menahan rasa penasarannya. Ia bangkit dari ranjang, perlahan mengendap keluar lewat jendela yang tak berkaca. Namun, baru saja ia keluar, kakinya seperti menginjak sesuatu yang lembek, dan ... bau.
Taksanta menunduk, mengangkat kakinya yang tak beralas untuk mendapati bahwa sesuatu berwarna cokelat menempel di kakinya.
Ia tak terkejut karena kotoran itu, melainkan dua mata dan satu mulut yang komat-kamit dari balik kakinyalah yang membuatnya tersentak.
"Hei! Hei! Jangan injak aku, Bodoh!" keluh sebuah suara.
Taksanta menoleh kanan kiri, yang tentu saja tak mendapati siapa pun di tengah hutan ini. Maka, ia yakin sang pemilik suara adalah sesuatu berwarna cokelat yang menempel di tanah dan kakinya.
"Sudah sadar? Aku 'Tahi!'"
Taksanta mengerjap bingung. "Apa?"
"Syukurlah kau mendengar panggilanku," lanjutnya, kemudian melepaskan dirinya pada kaki Taksanta, membuat entitas yang baru.
"Maksud Tuan Tahi, apa?"
"Aku yakin kau sudah mendapatkan petunjuk dari sang Bulan, juga larangan dari sang Ular."
Taksanta semakin tidak mengerti.
"Pergi dari sini, kembali ke duniamu."
Satu kalimat itu membuat Taksanta terkesiap.
Itu! Kata yang diucapkan Bulan!
"Yang kotor, dan sesat tak selalu terlihat buruk. Dan yang terlihat indah tak selalu terlihat baik."
Tahi menyeret tubuhnya mendekati Taksanta. "Ia sudah menunggumu. Pergilah, kembali ke tempatmu berasal, tinggalkan Wanita Bunga itu, tinggalkan kami yang ambigu."
"Injak aku." Diakhirinya dengan titah.
Taksanta menggeleng.
"Buna baik!"
"Injak aku, sebelum wanita itu—mereka menyadarinya."
"Tidak! Buna, Ayah, dan Amaris baik!" Taksanta masih kukuh.
"TAKSANTA!" Suara wanita yang tak asing muncul.
Taksanta menoleh. Sang Ibu.
"CEPAT. KEMBALI." Tahi bertitah penuh penekanan.
Taksanta kalut. Ia mendongak, sang Bulan tersenyum dan mengangguk. Maka, sebelum Buna si Wanita Bunga menghampirinya, Taksanta menginjak Tahi, hingga cahaya menyelimutinya. Lantas, ia terbawa pada dunianya kembali; Bumi.
"KAU! SUDAH KUDUGA INI ULAHMU DAN BULAN!" bentak wanita itu.
"Oh, Lily of the Valley. Terlihat indah, tetapi mematikan. Persis seperti namamu. Sudah anak keberapa yang kau culik ke dunia ini, wahai Lily?" Pertanyaan retoris membuat Lily makin marah. Warna putih pada kelopaknya perlahan berubah menjadi merah padam.
"Kenapa kau—tidak, tapi kalian—melakukan ini? Kau adalah makhluk dunia ini! Tak seharusnya kau ikut campur, dasar bedebah kotor!"
"Lelah, Lily. Makhluk Bumi senantiasa menyalahkanku yang terlihat 'kotor' ini, tak mempercayaiku yang tanpa mereka ketahui membawa banyak manfaat," kata Tahi, "tak sepertimu. Ratusan orang kaujebak. Ratusan anak kau dan keluargamu makan. Kini akhirnya ada satu anak yang berhasil memutus rantai dunia ini dan Bumi."
"Taksa tak akan tertipu makhluk sepertimu. Karena dia percaya, bahwa yang buruk seperti Tahi justru dapat menyelamatkannya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro