Mortala; Eksistensi yang Abadi
Lulu Thea tidak menyangka siang tadi pukul dua adalah saat terakhir ia bertemu Pussy. Di depan mata, tepat di bawah kolong meja tempat biasa Pussy bermain, seonggok jasad hewan tergeletak dengan bagian perut terbuka. Bulu-bulu putih bersih yang biasa Lulu Thea kagumkan tak lagi ada. Sesuatu yang kenyal berwarna merah kecokelatan di perut Pussy agak berceceran ke lantai. Darah menggenang di sekitarnya. Tidak terlalu banyak, tetapi lebih dari cukup untuk membuat lantai keramik bermotif persegi yang baru Lulu Thea pel beberapa jam lalu kotor dan meninggalkan bekas bau amis.
Dua kantong kresek besar di tangannya ia pindahkan ke kursi beroda di samping meja. Lulu Thea berjongkok, agak melongokkan kepalanya ke bawah kolong meja berukuran 1 x 2 meter. Ia bisa melihat Pussy lebih dekat. Penampilannya jauh lebih mengenaskan. Salah dua kaki bagian depan Pussy tidak ada di tempatnya. Bekasnya terlihat seperti potongan tidak rata.
Lulu Thea tidak bergerak untuk beberapa saat. Air mukanya pun tak berubah sejak sebelum ia pergi ke minimarket untuk membeli makanan kucing dan kebutuhan lain. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia tak mempercayai apa yang dilihatnya sekarang. Ia yakin seonggok daging jelek itu bukanlah Pussy.
Pasti bukan. Ya ... pasti bukan.
Pussy takkan mati.
Pussy ....
Lulu Thea terus menerus menyebut nama Pussy dengan lirih. Tenggorokannya kering melihat seonggok daging itu. Ia bangkit berdiri, lantas mengambil botol air mineral dari kantong kresek dan menengguknya hingga setengah. Haus. Sekarang, ia juga lapar. Kembali menoleh, seonggok daging itu nampak menjijikan, dan segar. Dan, tidak masalah jika Lulu Thea mencicipinya sedikit, bukan?
Tangannya terulur, mengambil sedikit daging yang bercecer di lantai. Agaknya usus atau hati. Bagian yang tak terlalu enak, pikir Lulu Thea. Namun, tetap dimasukkannya ke dalam mulut, menelan bulat-bulat hingga ke kerongkongan. Lulu Thea mengulum bibir, mengecap telunjuk kanannya beberapa kali. Lalu, senyumnya merekah.
Lulu Thea sudah menduga. Jasad itu bukan milik Pussy. Sebab, daging Pussy rasanya gurih agak manis. Sementara ini tidak enak, terutama baunya. Seperti bangkai. Tapi, Lulu Thea lapar. Jadi ia habiskan seonggok daging itu, menyisakan tulang-tulang dan darah menggenang. Dan ia harus mengepel lagi. Menyebalkan.
"Pussy, kemari," panggil Lulu Thea dengan suara parau sembari mengintip kolong-kolong meja dan lemari. Namun, kucing betina berbulu putih itu tak kunjung terlihat batang hidungnya. Bahkan di kasur tempat Pussy tidur pun tidak ada. Lulu Thea bertanya-tanya ke mana perginya kucing satu itu. Bajunya sudah basah oleh keringat. Ia menyeka kening serta lehernya dengan handuk kecil.
Sejenak Lulu Thea melupakan apa yang terjadi sebelumnya. Tentang mengapa Pussy menghilang dan digantikan jasad kucing putih lain yang terlihat seperti Pussy. Sebenarnya, siapa yang melakukannya? Dan apa tujuannya? Lulu Thea sudah habis pikir. Namun, jika tebakannya tak salah, ada seseorang yang ingin menjebaknya. Sebab, banyak yang membencinya; mengharapkannya mati. Dan itu berimbas pada Pussy.
Atau justru-
Pussy-lah penyebabnya?
Lulu Thea tak sanggup berpikir lebih jauh. Ia memegangi kepalanya yang mendadak terasa berat. Gelas yang ada di depannya berbayang, lalu memburam. Tangannya terulur, nyaris menyentuh ujung gelas andai tubuhnya tak ambruk dan mencium lantai keramik yang dingin. Lagi, pandangannya memburam. Sebelum kelopak mata Lulu Thea tertutup, siluet berwarna putih menghampirinya sambil berjalan terseok-seok.
***
Ketika Lulu Thea membuka kelopak mata, ia berada di tengah-tengah ruangan serba putih yang hampa bagai tak berujung. Tiada orang sama sekali, hanya desah napasnya yang terdengar berat. Juga suara langkah kakinya yang menggema. Kemudian, ia berhenti dan membalikkan badan, mengamati baik-baik kehampaan yang menyelimutinya.
Ia pernah berada di situasi ini. Seperti mimpinya dua hari lalu, seminggu lalu, juga tiga minggu lalu. Mimpi yang sama; berada di ruangan putih yang hampa. Kalau tak salah ingat, setelah Lulu Thea terus melangkah tanpa henti-mencoba menuju ujung yang tak pasti-sesosok makhluk hitam tak berwujud akan muncul dan mengeluarkan suara-suara aneh nan memekakkan telinga.
Detik selanjutnya, makhluk hitam tak berwujud, tetapi bermata dan bermulut seolah jatuh dari atas, lalu menempel pada lantai, kemudian meliuk-liuk di depan Lulu Thea dengan pekikan-pekikan histeris yang membuat ia menutup kedua telinga selama beberapa saat. Makhluk Tak Berwujud akhirnya berhenti dan menatap lamat-lamat Lulu Thea. Mata sebesar bola sepak dengan pupil seukuran bola tenis mengerling beberapa kali, sementara lidah merah terang menjulur keluar seperti ular.
Lulu Thea refleks melangkah mundur. Sebelum lidah ramping dan panjang itu menyentuhnya, ia membalikkan badan dan segera berlari sejauh yang ia bisa. Namun, tubuh Makhluk Tak Berwujud melayang-layang di udara, bergerak cepat ke arahnya. Lulu Thea terbeliak. Makhluk Tak Berwujud kini berwujud; seekor kucing berbulu putih halus yang salah satu kakinya pincang, tampak seperti luka baru. Sebelah matanya berbeda, kanan jingga dan kiri biru safir. Menilik lamat-lamat pada sepasang mata hijau milik Lulu Thea.
Raganya mendadak tak dapat digerakkan. Dalam posisi berlari, tubuh condong ke kanan dan wajah menoleh ke belakang, serta mata melebar. Bahkan sekadar menghela napas saja tak mampu. Kini ia bagai maneken di etalase toko. Sementara Makhluk Tak Berwujud yang mengambil wujud Pussy-terlihat seperti Pussy atau kucing tadi entahlah-terus melangkah mendekatinya.
Benak Lulu Thea berkecamuk. Selanjutnya, apa? Kenapa ia mendadak lupa akan mimpi-mimpinya lalu? Ia tak ingat apa yang seharusnya terjadi setelah ini. Pussy semakin mendekat dan Lulu Thea masih tak bisa bergerak. Kali ini ia benar-benar berharap terbangun secepatnya, lalu menemukan Pussy yang mengeong-ngeong di kasur.
Sayangnya realitas tak sejalan harapan. Pussy-Makhluk Tak Berwujud-kembali tak berwujud. Terlepas seperti cairan hitam dan berkumpul menjadi pusara yang melayang di udara. Makhluk Tak Berwujud menjadi satu gumpalan oval yang berputar-putar. Kali ini ia mengeluarkan suara-suara lagi. Lulu Thea dapat mendengarnya. Tapi, untuk pertama kalinya, ia menolak mendengar. Bahkan jika ia tidak ingin, makhluk itu terus bersuara, menyadarkan Lulu Thea pada kenyataan yang belum mampu ia terima hingga sekarang. Fakta sesungguhnya tentang Pussy, dan tentang siapa kucing itu, dan ia.
Lulu Thea merasa sangat tersiksa. Suara-suara itu mulai berubah menjadi bisik-bisikan halus dan lagu pengantar tidur yang Lulu Thea dengar sebelum usianya sepuluh tahun. Perlahan kelopak matanya terpejam; ia mengantuk. Lalu, tubuhnya kembali ambruk. Dan matanya tak terbuka lagi.
Bisik-bisikan bak lagu pengantar tidur masih mengalun, terngiang-ngiang dalam kepala.
"Wahai makhluk berdarah abadi,
yang memakan sesama
yang menyantap daging
dan meminum darah.
Kami ciptakan sebuah penjaga untukmu
demi menahan hasrat dan nafsu
nan bergejolak dalam jiwa
nan meronta-ronta keluar.
Sebagai bayaran atas kebaikan,
bahaya 'kan terus mengikutimu
hingga kematian menyapamu
dan darahmu tak lagi abadi,
selamat tinggal,
kar'na dunia 'kan tenang tanpamu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro