Merah di Atas Ruang Putih
Putih. Di mataku, semuanya terlihat putih, polos, dan ... hampa.
Sofa yang kududuki berwarna putih. Mejanya berwarna putih. Dindingnya berwarna putih. Juga berbagai perabot yang menghiasi ruangan ini.
Aku mencoba mengentakkan kaki, serta mengetuk-etuk alas meja di hadapan hingga suaranya menggema di seluruh ruangan. Ini lebih baik ketimbang kesunyian yang menyelimutiku selama beberapa hari aku di sini. Saking sunyinya, aku bahkan bisa mendengar degup jantungku yang berdetak agak cepat.
Aku meraih kapur putih yang tergeletak di meja, lalu menggores garis vertikal di dinding, di samping empat garis vertikal lainnya dan satu garis miring. Dugaanku, ini hari keenam (meski aku tak tahu kapan tepatnya hari berganti). Itu artinya, tersisa 174 hari lagi sampai aku bisa menyapa dunia luar dan menemukan warna-warna lain selain putih.
Dan kala itu tiba, aku akan berhambur ke pelukan Ibu yang akan merentangkan tangannya lebar-lebar untuk menyambutku dengan senyum tulusnya. Lalu, aku akan melakukan high five dengan adik laki-lakiku yang mungkin nanti sudah mengalami masa pubertas dan tingginya melampauiku.
Kedua ujung bibirku naik. Ya, aku menanti hari itu tiba. Kendati hanya sebentar, aku ingin, kehadiranku disambut baik oleh keluargaku tercinta.
Mereka, mereka yang memisahkanku dengan keluargaku sungguh jahat! Aku ditempatkan di ruangan ini hanya karena melakukan kesalahan kecil. Bahkan Ibu sempat menangis saat terakhir kami bertemu beberapa hari lalu karena mereka memperlakukanku dengan kasar.
Kadang kala mereka masuk ke ruangan tanpa bersuara saat aku tidur-atau pura-pura tidur-untuk menaruh sepiring nasi putih. Catat, hanya sepiring nasi, tanpa lauk ataupun sayur seperti yang biasa Ibu masak saat di rumah sampai-sampai aroma masakannya tercium dari kamarku.
Embusan napas kasar terdengar. Aku membaringkan kepala di sofa, meluruskan kaki, kemudian menutup kedua mataku dengan lengan kiri. Ketimbang berdiam diri di sini, lebih baik aku tidur sebelum aku menjadi gila.
***
Hari ketiga puluh (mungkin), aku masih berada di sini, sebuah ruangan yang cukup luas dengan perabotan serba putih.
Namun, kali ini berbeda. Seorang sipir pria yang terlihat seumuran Ibu masuk ke ruangan. Di depan pintu, dua orang sipir lain mengawasi, seperti menatap tajam ke arahku.
Sipir pria itu berwajah datar. Mata bulat dengan kantung mata yang terlihat jelas menatap lurus ke arahku. Borgol yang dia bawa dipasang dan dikaitkan di kedua tanganku, kemudian menggiringku ke luar ruangan.
Saat retinaku akhirnya menangkap seberkas cahaya, sepasang bola mataku membulat. Akhirnya ... akhirnya aku menemukan warna lain selain putih!
Senyumku mengembang dan mataku berbinar-binar. Tatapan aneh dari dua sipir yang mengikuti kuabaikan. Ocehan demi ocehan yang keluar dari mulut sipir pria tak kuindahkan. Satu pikirku; aku melihat warna!
Kalau tak salah ingat, warna gelap itu hitam. Jika dicampur putih akan berwarna abu. Kukira warna inilah yang mendominasi.
Sekarang, aku ada di mana? Kakiku tanpa sadar melangkah mengikuti sipir. Dia membawaku ke dalam sebuah ruangan yang ... ck, sialan. Serba putih.
Punggungku didorong olehnya, membuatku masuk ke dalam ruangan dengan paksa. Aku berdecak dan mengumpat berkali-kali sambil melangkah mendekati seseorang di tengah-tengah ruangan yang tampak menungguku.
"Ethan, kemarilah."
Tanpa menjawab perkataannya, aku duduk di kursi warna putih, dengan meja putih di hadapan. Seorang wanita tiga puluhan dengan jas putih. Wajahnya tak asing. Aku seperti pernah melihatnya.
"Ethan, apa kau sudah menyadari kesalahanmu?" Dia bertanya. Tanpa menunggu jawabanku, dia berkata lagi, "Maukah kau mengaku?"
Aku tak menggeleng maupun mengangguk. "Tidak."
"Kau ingat apa yang terjadi saat itu?"
"Ya."
"Dan apa yang kau lakukan saat itu?"
"Aku membunuh ayahku."
Kening wanita itu mengerut. "Hanya itu?"
Aku mengangguk.
"Kau yakin?"
Yakin? Aku ... tidak.
Ah, kepalaku mendadak berat.
Sakit. Sakit. Sakit.
Aku memejamkan mata, mencoba menahan pening. Kedua tanganku diborgol, aku jadi tidak bisa memijit keningku.
"Baiklah, pertanyaan selanjutnya," dia tampak mengabaikanku yang merintih kesakitan, "kau ingat, kau hanya membunuh ayahmu. Kau menganggap itu bukan kesalahan?"
"Tentu," jawabku singkat, "seharusnya aku memukul kepalanya lebih keras dan menonjokinya berulang kali, agar dia menderita sebelum mati."
"Apa alasanmu?"
"Dia menyakiti kami, menyakiti Ibu."
Embusan napas wanita itu terdengar berat. Lalu dia menatapku serius dari balik kacamata berbingkai persegi miliknya.
"Tapi, kau tidak hanya membunuh ayahmu."
Keningku sontak mengernyit.
"Apa maksudmu?"
"Aku bertanya sekali lagi padamu, Ethan. Kau ingat apa yang terjadi saat itu?"
Aku bangkit berdiri. Emosiku mendadak memuncak. "SUDAH KUBILANG, AKU INGAT! AKU TIDAK MELAKUKAN KESALAHAN APA PUN, WANITA SIALAN!"
Dia tersentak, tapi aku tidak peduli.
Setelahnya, lututku melemas hingga tubuhku luruh ke lantai dengan tangan kiri bertopang pada meja.
Sekelebat memori muncul dan berputar-putar dalam kepalaku. Kilasan demi kilasan memperlihatkanku pada ruangan bernuansa merah. Ada genangan seperti banjir semata kaki di lantai keramik bingkai persegi. Merah, semuanya merah. Bahkan nodanya terciprat ke dinding, sofa, meja, hingga televisi yang tengah menampilkan berita.
Aku meneguk saliva. Mataku membulat lebar-lebar dengan napas terengah.
"Bu, lihat, aku menang lomba balap karung di RT lima!" Seorang laki-laki kecil berseru girang sambil menunjukkan pialanya pada seorang wanita yang tengah memasak di dapur.
Hari itu, tepat di saat negara merayakan hari jadinya, tragedi itu terjadi, tanpa kehendakku.
"Ethan Fabian, tersangka didakwa tujuh setengah tahun di lapas anak dan enam bulan di ruang putih atas pidana kasus pembunuhan tiga orang, yaitu ayah, ibu, serta adik pelaku."
Aku ... benci warna merah dan putih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro