Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Marah

Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas 6 SD, sedang membaca sebuah novel dengan anteng di ruang kelas yang sepi.

Seharusnya saat itu jam olahraga, tetapi karena sang guru tidak bisa hadir, murid-murid dibebaskan ingin melakukan apa. Kebanyakan anak laki-laki berada di lapangan untuk tanding bola atau voli, sedangkan anak perempuan nongkrong di kantin atau berkumpul di suatu tempat untuk menggosip. Lain halnya denganku yang memilih berdiam diri di kelas sembari membaca novel horor setebal 200-an halaman.

Aku tidak sendiri. Ada dua teman perempuanku yang lain di sini, sedang bercanda, bermain, atau entahlah—aku tidak terlalu memperhatikan mereka dan hanya fokus pada novel yang kubaca.

Samar-sama aku mendengar mereka berbisik sesuatu lalu tergelak. Merasa terganggu, aku pun menoleh dan mendekatkan jari telunjukku di depan bibir sembari berbisik, "Ssst!"

Kedua temanku itu—Nur dan Ghifani—tersentak. Bukannya diam, mereka malah tambah berisik disertai cengiran di wajah, seakan mengejekku.

Huh! Apa mereka tidak punya kuping? Lagi pula, aku jadi tidak fokus membaca!

Mereka bahkan tidak menyadari tatapan sinisku, tetapi aku juga tidak peduli. Jadi, aku kembali melanjutkan bacaan yang sempat tertunda.

Beberapa menit kemudian, aku sudah larut dalam bacaan, sedangkan mereka masih tertawa cekikikan sambil menjahiliku. Bola kertas yang dua-tiga kali terlempar ke arahku dan mengenai kepala kuabaikan dengan alasan yang cukup sederhana: aku sedang fokus membaca. Jadi, aku tidak peduli apa pun.

Tadinya, kupikir begitu. Akan tetapi, lama kelamaan, mereka semakin menyebalkan. Terutama Ghifani yang sesekali menghampiri bangkuku dan iseng menginjak kaki, mengambil buku, atau menarik jilbab putihku.

Sekali lagi, aku mengabaikannya. Bahkan ketika tangannya berhasil menarik jilbab putih yang kukenakan sehingga rambut bob berwarna hitam milikku terlihat. Kaget tentu saja. Segera kurebut jilbabku lantas memakainya kembali. Tak lupa dengan tatapan setajam elang yang ditujukan.

Dia diam dan kembali ke tempat duduknya, sementara aku duduk dan lanjut membaca walaupun hatiku merasa dongkol. Untunglah di kelas tidak orang selain kami bertiga. Jika tidak, aku akan malu setengah mati.

Sebenarnya aku sedikit ingin membalas perbuatan Ghifani. Namun, mengingat sifatnya yang begitu—maksudku, usil dan tidak bisa diam—membuatku malas untuk bertindak. Bukan hanya kali ini saja dia begini, tetapi cukup sering. Entah kenapa rasanya dia suka sekali menjahili dan membuatku kesal.

Bully? Kurasa tidak begitu. Kuakui, dia baik. Hubungan kami baik-baik saja biarpun sempat bertengkar kecil. Tidak, tidak. Dia bukan sahabatku, hanya teman. Hanya saja, sikap usilnya itu yang sangat menyebalkan.  Dia tidak akan kapok dan aku juga malas membuang tenaga hanya untuk sekadar membalas perbuatannya.

Lain halnya dengan Nur, perempuan yang diam saja di bangkunya dan hanya menonton seraya cekikikan bisa dibilang teman dekatku. Kami cukup dekat, kurasa. Akan tetapi, terkadang dia juga suka iseng menjahiliku atau ikut-ikutan Ghifani.

Jangan khawatirkan hubungan pertemanan kami karena hal ini. Aku dan Nur cukup sering berselisih, entah itu karena masalah internal atau adanya orang ketiga. Akan tetapi, kami punya prinsip yang sama, yaitu: bertengkar tidak boleh lebih dari tiga hari, sesuai hadits nabi. Hal itu yang menjadikan kami mudah berbaikan pula.

Tetapi untuk kali ini, aku sangat kesal dengan Nur karena dia hanya diam saja tanpa berniat membantu—walaupun yah, aku tidak terlalu berharap.

Sekarang, mood membacaku hilang gara-gara mereka berdua. Kesan horor yang selama tadi kubaca raib begitu saja. Bagaimana aku bisa larut dalam novel lagi kalau begini? Ditambah lagi, tampaknya Ghifani masih ingin menjahiliku.

Untuk pertama kali sejak sejam lalu diganggu olehnya, aku bangkit berdiri dan menatapnya kesal dengan kedua telapak tangan terkepal di samping.

"Diem, Ghifani! Awas aja kalau kamu jahilin aku lagi!" ucapku dengan nada setengah membentak. Aku tidak yakin wajahku terlihat marah, tetapi nada bicaraku yang meninggi menunjukkan bahwa aku sudah benar-benar kesal dengan tingkahnya.

Aku hanya ingin membaca novel dengan tenang tanpa diganggu! Apa sesulit itu?

Berlainan dengan ekspektasiku, Ghifani menjawab, "Nggak kok!" dengan wajah tidak berdosa, masih cengangas-cengenges.

Tentu aku tidak mempercayainya begitu saja. 
Namun, karena beberapa menit kemudian dia tidak melakukan apa pun selain memainkan permainan aneh dengan Nur, aku melepas kewaspadaanku begitu saja.

Benar saja, tak berapa lama, Ghifani tiba-tiba muncul di dekatku lalu menyentuh bagian tubuh yang paling sensitif, tetapi sering dijadikan bahan candaan oleh anak lain. Bagiku yang tidak suka tubuhnya disentuh, tindakan Ghifani tadi termasuk pelecehan. Ditambah lagi, dia juga merebut novel yang sedang kubaca. Belum sempat aku bereaksi, Ghifani sudah melarikan diri dan menghindar.

Aku telat bereaksi karena terlalu kaget, sedangkan yang pertama kali menjadi atensiku adalah Nur yang tertawa terpingkal-pingkal di ujung sana.

Dan saat itu pula, aku merasa emosi.

"GHIFANIII!" pekikku dengan nada penuh penekanan lantas segera mengejar Ghifani yang tangan kanannya melambai-lambaikan novel itu.

Ghifani dengan tubuh mungilnya sigap menghindar dan melompati bangku serta meja yang ada di kelas. Aku yang sedang emosi dengan jiwa membara merasa kelincahanku meningkat. Tak sadar aku sudah membanting beberapa bangku karena emosi.

Alasanku untuk tidak bisa tidak marah padanya ada dua: satu, tubuhku disentuh di bagian 'itu' dan dua, dia mengambil novel yang sedang kubaca! Itu novel orang, tahu! Kalau rusak bagaimana?!

Katakanlah aku lebih khawatir pada novel yang kupinjam dari Nana, teman sekelas. Tetapi saat marah ... emosiku menjadi tidak stabil.

Beberapa saat bermain kejar-kejaran, akhirnya aku berhasil menangkap Ghifani dan merebut novelnya. Akan tetapi, Ghifani tak melepaskan novel yang ada di genggamannya. Alhasil, kami berebutan dan saling menarik novelnya.

"Ghifani! Lepas! Ini novel punya Nana!" kataku sambil menarik novel itu dengan kedua tangan.

"Ya terus kenapa?" balas Ghifani yang membuatku tambah murka.

Tanpa sadar, aku menarik novel itu terlalu kencang dan berhasil merebutnya. Namun, satu tangan Ghifani masih memegang kover bagian belakang novel. Saat aku menariknya ... 'sreet!'

Kertas kover bagian bagian belakang robek sebagian. Itu sebelum Ghifani dengan sengaja menariknya, membuat robekan bertambah lebar dan akhirnya robek seutuhnya.

"Kamu, sih!" ujar Ghifani, melihatku dengan tatapan menyalahkan.

Aku tidak menjawab, sementara pupilku membulat sempurna. Tanpa aba-aba, aku langsung menjambak rambut Ghifani yang panjangnya sebahu dengan kencang sampai-sampai beberapa helainya rontok. Kedua tangannya meraba tanganku, memberontak meminta dilepaskan. Begitu juga dengan Nur yang segera menghampiri dan mencoba melerai.

Tetapi aku tidak peduli. Begitu tanganku melepaskan jambakan, refleks aku menbanting-banting meja di sekitar dan entah bagaimana, tubuh mungil Ghifani tertiban salah satu meja dan terjatuh ke lantai. Di saat yang bersamaan, rombongan teman sekelas yang baru memasuki kelas mematung di pintu dengan wajah terkejut.

Lalu ... aku pun tersadar.

Untuk pertama dan terakhir kalinya, emosiku menjadi tidak terkendali dan berakhir melukai seseorang.

Aduh, harusnya aku tetap ikuti kata-kata Ayah untuk menahan amarah dan tidak bermain fisik, karena sekarang, banyak anak-anak yang menyalahkan dan menghakimiku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro