Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I Love You, Ra

Dulu, aku anak yang ceria dan punya banyak teman. Bahkan ketika dokter memvonisku mengidap leukemia stadium tiga, aku tetap tersenyum dan tertawa.

Iya, menertawakan nasibku, haha.

Di saat anak-anak lain bisa bermain dengan bebas, aku enggak bisa. Keluargaku jadi sangat membatasiku. Enggak boleh inilah, enggak boleh itulah. Tapi, aku sih tetap bandel.

Karena aku pengen hidup. Aku juga pengen merasakan apa yang dirasakan anak-anak lain. Aku enggak akan menyerah untuk tetap hidup.

Iya, tadinya kupikir begitu sebelum suatu ketika aku menguping pembicaraan orang tua dengan dokter, dan dokter memberi tahu bahwa hidupku sudah enggak lama lagi. Aku baru naik kelas 5 saat itu. Syok? Ya pasti. Tapi, aku enggak tahu ... kenapa aku enggak bisa nangis. Aku cuma diam sepanjang hari, sampai mengabaikan semuanya. 

Barulah beberapa hari kemudian, aku nangis. Nangis kejer. Sampai tantrum dan meraung-raung ke Mama, "Rian gak mau mati, Ma! Rian gak mau mati! Rian gak akan mati kan, Ma?! Dokter pasti bisa nyembuhin Rian kan, Ma?!"

Ah ... rasanya mengingat-ingat itu selalu bikin aku sedih.

Aku yang mulanya ceria, sempat berubah murung. Tapi aku pikir, kalau aku murung, gimana dengan Mama, Papa, dan teman-teman? Mereka pasti ikut sedih. Maka, aku tetap seperti dulu. Selalu tersenyum dan tertawa, seakan enggak terjadi apa-apa.

Di kelasku dulu, ada beberapa anak yang udah pacaran.  Bahkan aku pernah beberapa kali ditembak oleh teman sekelasku yang cewek. Tapi selalu kutolak dengan halus, sampai dibilang jahat sama mereka karena enggak pikirin perasaan mereka.

Habisnya ... aku merasa enggak pantas buat mencintai dan dicintai. Buat apa? Toh, sebentar lagi aku akan mati. Aku enggak ingin menyakiti hatiku maupun hati seseorang karena telah memberi harapan.

Lalu, masih di kelas 5, aku 'bangkit' dan bertemu seorang anak perempuan bernama Rara, orang yang kemudian mengubah hidupku.

Memang, pas pertama kali kami bertemu, aku enggak terlalu mengingatnya. Soalnya dia keliatan kayak anak pendiam yang antisosial dan susah didekati. Master Uta—esper pertama yang ditemui aku dan Rara saat kami diculik—berkata kalau aku dan Rara adalah 'mate'. Kami berbagi suka dan duka, berbagi kebahagiaan dan rasa sakit, dan akan terus bersama sampai ajal menjemput.

Aku kaget dan diliputi rasa takut. Gimana kalau Rara juga ikut merasakan rasa sakitku? Aku enggak mau orang lain merasakan yang aku rasakan. Apalagi Rara. Sungguh, aku enggak mau dia juga sakit. Cukup aku aja. Cukup aku aja yang sakit.

Aku overthink parah. Syukurnya Master Uta bilang padaku kalau aku sudah enggak sakit lagi. Sel kanker di tubuhku udah dimakan oleh 'mana' sejak aku 'bangkit'. Ditambah dengan kemampuan keduaku "Disease" yang dapat mengendalikan penyakit.

Setelah kejadian penculikan itu, aku baru ketemu Rara lagi di SMP. Ya, kami satu sekolah. Mulanya Rara duluan yang menyapaku. Tapi jujur, awalnya aku enggak begitu mengenali Rara, soalnya dia sekarang berjilbab dan berkacamata, walaupun badannya kayak enggak nambah tinggi, sih.

Pokoknya aku senang banget. Akhirnya aku ketemu Rara lagi setelah dua tahun!

Aku pernah bilang, kan, kalau Rara itu kayak anak antisosial? Terus dia juga pendiam dan kalem kalau sama orang. Kalau sama aku malah lebih cerewet. Karena itulah yang bikin aku jadi pengen jahilin dia terus biar dia lebih banyak ngomong dan ketawa.

Dan yes, rencanaku berhasil!

Suka banget kalau Rara udah ketawa. Tawanya itu manis banget. Kadang, aku enggak bisa bedain dia itu lagi ketawa atau senyum. Tapi yang mana pun, enggak apalah. Yang penting dia senang pas bersama aku.

Kami makin dekat, apalagi sejak dilatih oleh Master Uta dan masuk organisasi esper dunia bernama 'Elite Castavior'. Kami sempat jarang bertemu karena masing-masing sibuk dilatih untuk menjadi lebih kuat.

Lalu ketika naik ke kelas 8, ada kejadian yang membuat kami berdua dihukum dengan dinonaktifkan status espernya.

Aku kalang kabut. 'Mana' di tubuhku akan menghilang dan sel kanker itu bisa balik lagi!

Berhari-hari aku mikirin itu dan enggak tenang. Rara yang notis terus-terusan nanya aku kenapa. Tapi aku terus dan terus berbohong. Karena aku khawatir. Aku enggak mau Rara tau penyakitku. Aku enggak mau bikin Rara khawatir. Dan juga ... aku enggak mau dia tau kalau aku selemah ini.

Sayangnya, kekhawatiranku itu menjadi kenyataan. Kami diculik 'lagi' oleh para ilmuwan gila yang mencoba mengotak-atik tubuh kami untuk dijadikan kelinci percobaan atau subjek penelitian. Kebetulan tubuh kami memang sedang lemah karena tidak ada 'mana'. Sial.

Dan kini, aku lagi terbaring di ranjang di suatu di laboratorium milik mereka. Rara sudah tahu penyakitku karena aku langsung drop setelah mereka mengutak-atik tubuhku. Reaksinya? Dia kecewa, jelas. Dia marah sambil menangis histeris sampai matanya kering. Dia juga bilang dia kecewa pada dirinya. Dan itu tambah membuatku merasa sakit.

Andai aja ... andai aja aku bisa hidup lebih lama, aku ingin terus melindunginya. Aku ingin membahagiakannya. Ingin hidup bersamanya sampai tua.

Kami bisa saja mati bersama. Aku mati, Rara juga mati. Karena kami adalah 'mate'. Tapi sesaat setelah Master menjatuhkan hukuman pada kami, aku langsung paham, bahwa hubungan 'mate' kami terputus sementara bersamaan dengan dinonaktifkannya status esper kami.

Aku amat bersyukur dan lega. Karena jika aku mati, pun merasakan sakit yang teramat sangat akibat penyakit ini, Rara enggak turut merasakannya. Rara enggak perlu menjerit-jerit kesakitan sepanjang hari sepertiku.

"Ry, bengong aja. Lagi mikirin apa?"

"Kamu."

"Ha?"

"Gak, gak. Abaikan aja. Aku cuma asal ngomong."

Aku merutuk diri sendiri. Bego. Malah keceplosan.

Hening beberapa menit. Rara yang duduk di sebelah kanan ranjangku masih diam. Kemudian, aku memberanikan diri bertanya.

"Ra."

"Euy."

"Masih marah?"

Rara mengedikkan bahu. "Menurut kamu?"

Aku mendesah. "Masih, ya."

"Ya mikir aja." Rara memutar bola mata. "Tapi, aku udah maafin kamu. Aku juga enggak bisa nyalahin kamu. Kan bukan kamu yang minta dikasih penyakit itu. Enggak ada orang yang mau minta diberi penyakit mematikan dalam hidupnya."

Senyumku terulas. "Makasih, Ra."

Rara mengangguk. Lengang beberapa saat sampai dia berkata, "Kamu tahu, Ry? Kamu itu kuat banget."

Mendengarnya, aku tertawa hambar. "Kuat? Apanya yang kuat, Ra? Kamu enggak lihat aku lemah begini?"

"Kamu kuat, Ry. Orang-orang yang punya penyakit ini kebanyakan pada pasrah sama hidup, sedangkan kamu? Kamu masih bertahan sampai sekarang. Kamu selalu ceria, enggak pernah terlihat murung atau sedih, seakan-akan penyakit yang kamu derita bukan apa-apa." Rara mulai sesegukan, tapi dia tetap melanjutkan, "Sedangkan aku? Aku selemah ini, Ry. Kadang aku merasa ... aku merasa enggak pantes buat jadi partner ataupun teman kamu."

Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi Rara dengan ibu jari. "Dengar, Ra. Tatap aku."

Kepala Rara terangkat sedikit. Matanya yang sudah lembap menatapku. Ah, aku jadi ingin memeluk untuk menenangkannya, tapi enggak bisa. Tubuhku enggak cukup kuat buat bangkit dan bergerak.

"Kamu tahu ... selama ini kamu yang bikin aku kuat, Ra." Aku tersenyum lagi, sambil mengusap-usap pipinya yang basah. Tangis Rara belum juga berhenti.

"Ra, aku punya permintaan."

"Ya, Ry?" Rara yang masih sesegukan menjawab.

"Yang pertama, kalau aku tiada nanti, tolong sampaikan ke Mama, Papa, sama Lili kalau, 'Rian sayang banget sama kalian. Rian minta maaf selama ini udah jadi anak yang merepotkan Mama dan Papa. Kalau Rian pergi, kalian harus mengikhlaskan Rian.'"

Tangis Rara makin pecah. Dia sampai menunduk.

"Satu lagi, Ra."

Rara enggak merespons. Aku enggak ingin mengganggu tangisnya, jadi aku melanjutkan, "Kalau aku tiada, aku ingin kamu mengikhlaskan aku. Tapi, aku juga ingin kamu kamu enggak melupakan aku sebagai partner kamu."

"Pasti, Ry. Aku enggak akan lupain kamu. Tapi, aku juga enggak janji bakal mengikhlaskan kamu."

"Jangan gitu. Nanti aku gak tenang di alam sana," kataku diselingi tawa.

Aduh, aku malah merusak momen.

Tapi Rara ikut tertawa kecil. Tangannya terangkat seperti ingin memukulku, tapi diurungkannya. Mungkin lupa kondisiku enggak kayak biasanya yang bisa meladeni pukulannya.

"Nah, gitu ketawa. Kan cantik manis."

Rara enggak membalas kata-kataku. Biasanya di saat kayak begini dia suka mengelak, tapi sekarang dia tersenyum.

"Makasih ya, Ra."

Satu alisnya terangkat. "Untuk?"

"Udah hadir di hidup aku." Aku diam sejenak, mengambil napas. "Karena kamu, aku bisa melanjutkan hidup. Karena kamu, aku enggak jadi mengakhiri hidupku dengan pasrah begitu aja. Hidupku jadi lebih berwarna. Semuanya berkat seorang gadis esper bernama Rara Veronica, partner-nya Ryan Raitrama." Aku mengakhiri kata-kataku dengan senyuman paling tulus.

Ah, Rara tambah menangis.

"Aku juga makasih. Makasih banget. Kamu udah hadir di hidup aku. Kalau bukan karena aku, aku mungkin bakal tetap jadi orang yang asosial dan pendiam. Hari-hariku mungkin tetap monoton."

"Sama-sama, Ra. Ehmm, satu lagi. Aku pengen bilang sesuatu."

Tangis Rara udah berhenti. Kini dia menatapku dengan mata penuh binar penasaran.

"Aku pengen bilang, se-sebenernya ...." aku cinta kamu, Ra.

"Apa, Ry?" Rara tampak geregetan.

Aku menggeleng pasrah. "Nanti aja deh. Aku belum siap bilangnya."

Rara mendesah kecewa, tapi dia mengangguk.

Aku enggak bisa bilangnya. Belum. Bahkan sampai aku mengembuskan napas terakhir pun, aku masih belum bisa mengucapkan kepadanya,

'Aku mencintaimu, Ra.'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro