Dansa (Fantasia Academy)
"Aryan?"
Panggilan dari arah belakang membuatku yang sedang memandang langit dari balkon tersentak. Hampir terjungkal ke bawah jika saja tidak ada sekat yang membatasi. Kepalaku refleks tertoleh ke asal suara dan mendapati gadis bergaun merah muda tanpa lengan yang roknya mengembang.
Aku terperangah sejenak. Cantik. Yah, dia memang cantik-maksudku, biasanya, tapi kali ini dia benar-benar sangat cantik dan menawan dengan balutan gaun merah muda yang serasi dengan helai serta iris rubi. Rambutnya yang sepanjang punggung digerai rapi, serta dihiasi dengan aksesori mawar. Tingginya bertambah beberapa senti karena menggunakan high heels setinggi kira-kira lima senti yang berwarna senada dengan gaunnya.
Saking fokus memandang dirinya, aku sampai tak sadar tidak berkedip.
"Aku tahu aku cantik, tapi jangan menatapku seperti itu." Rosella tertawa kecil, sedangkan aku mendengkus malu.
"Maaf," ucapku pelan seraya menggaruk kepala. Canggung sekali rasanya.
Rosella melangkah dengan anggun, menghampiriku yang berada di ujung balkon. "Aku mencarimu ke mana-mana, tahunya kamu di sini."
"Kamu sendiri? Kenapa ke sini? Pestanya belum selesai, kan?" tanyaku heran.
Pesta? Iya. Saat ini kami sedang berada di semacam acara prom night. Fantasia Academy selalu mengadakan pesta prom night setiap akhir semester. Dan selama dua tahun aku bersekolah di sini, ini pertama kalinya aku menghadiri acara prom night.
Sangat ramai. Aku tidak suka. Lagi pula aku tak punya satu pun teman yang bisa diajak mengobrol atau berdansa.
Sekarang, di hadapanku ada Rosella, gadis tercantik kedua di akademi-kata orang-orang. Kami baru dekat beberapa hari ini karena kebetulan menjadi partner. Dan sejak saat itu dia semakin gencar mendekatiku. Contohnya saat ini.
Tidak biasanya dia memisahkan diri dari teman-temannya. Untuk menemui orang sepertiku pula. Bukankah ini sangat aneh?
"Pestanya membosankan." Jawaban Rosella sukses membuatku terkejut. "Melihat kamu sendirian di sini, sepertinya kamu tidak suka pesta ya?"
Rosella berdiri di sampingku. Iris rubinya beradu pandang dengan iris hazel milikku.
Aku menganggukkan kepala lantas kembali mendongak menatap langit, dengan kedua tangan terlipat di atas sekat. "Di dalam terlalu ramai dan bising. Aku juga tidak punya teman untuk diajak bicara atau berdansa," jawabku santai.
"Kalau begitu, mau berdansa denganku?"
Aku refleks mengernyit dan menoleh menatap Rosella. Gadis berambut semerah mawar itu juga menatapku, seakan menunggu jawaban.
"Maaf, kamu bilang apa tadi?" tanyaku hati-hati. Siapa tahu indra pendengaranku rusak dan aku salah tangkap. Mana mungkin gadis seperti Rosella mau berdansa dengan laki-laki aneh dan pendiam sepertiku.
Namun, yang kuharapkan justru sebaliknya.
"Mau berdansa denganku?" ulangnya lagi seraya mengulurkan tangan. Bibirnya yang dilapisi lipstik berwarna merah mawar mengulas senyum.
Jadi, aku tak salah dengar.
Aku mengerjap. Masih tak percaya dengan apa yang kudengar. Tapi saying sekali aku harus menolaknya. Berdansa dengan gadis cantik dan populer seperti Rosella mungkin sebuah kesempatan besar yang tak datang dua kali. Namun, aku masih menyayangi nyawaku yang tidak ingin habis dibantai oleh teman-teman dan fansnya.
Aku menggeleng kecil dan mengulas senyum tipis. "Maaf, aku tidak bisa. Aku juga tidak pandai berdansa," tolakku halus.
Ah, aku takut ucapanku menyakiti hati Rosella.
Kulihat senyumannya memudar dan berganti dengan raut kecewa. Dia mendengkus lantas menatapku kembali dan tersenyum. "Tidak apa-apa, aku tidak memaksa."
Aku mengembuskan napas lega. Syukurlah dia tidak sakit hati dan mengerti. Tapi aku jadi sedikit merasa bersalah.
"Oh, ya. Aku mau ke dalam dulu. Sepertinya teman-temanku mencariku," pamit Rosella yang dibalas anggukan kecil dariku.
"Nikmati saja pestanya. Jangan menyendiri seperti itu," lanjutnya kemudian berlalu.
Yah, dia sudah pergi. Aku tidak peduli, sih-maksudku, kepergian dan ucapannya barusan. Aku tidak akan ke dalam. Lebih baik aku menunggu di sini sampai pesta selesai. Kemudian, aku kembali merenung dan memandang langit sebelum akhirnya ada seseorang yang menikam dadaku dari belakang dengan benda tajam.
***
"Sudah kaulakukan?" Gadis dengan balutan gaun merah muda bertanya lewat alat komunikasi yang ada di genggamannya,
"Sudah, Nona," jawab suara yang terdengar berat dan serak dari balik alat itu.
Kedua ujung bibir si gadis tanpa sadar terangkat ke atas. "Bagus. Setelah itu, bawa saja dia ke kamarku. Ingat, diam-diam dan jangan sampai ada seorang pun yang tahu. Sisanya biar aku yang urus."
Puas. Sangat puas rasanya.
"Baik, Nona," sahut suara itu lagi. Dia terdiam sejenak lantas bertanya, "tapi, untuk apa Nona melakukan semua ini? Apa salah pemuda itu pada Nona?"
"Salahnya?" Seringai si gadis kian melebar. "Salahnya tentu saja karena menolak ajakan dansa dariku! Berani sekali dia menolak gadis cantik dan populer sepertiku? Itu tidak bisa dimaafkan!"
Gadis itu tergelak. Untung saja dia sedang berada di tempat yang sepi dan jauh dari keramaian. Jika ada yang melihat, bisa-bisa orang lain akan menganggapnya gila.
"Oh, ya," jeda sejenak, "kalau kau bertanya lagi, aku akan memotong lidahmu. Paham?"
Dan orang di seberang sana pun mengangguk takut dengan seluruh tubuh yang bergetar. "Pa-paham, Nona."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro