Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dan Hujan pun Berhenti

Di tengah rinai hujan, kau berdiri. Payung berwarna biru yang semula kau genggam terlepas begitu saja dan tertiup angin, menerbangkannya sejauh beberapa meter di belakangmu.

Rintik-rintik air kau biarkan basahi tubuh dan pakaianmu. Semula gerimis, lalu mulai deras. Dan kau masih berdiri di jalan raya ditemani hujan serta angin kencang yang berembus.

Sweter cokelat yang kau kenakan mulai basah kuyup. Begitu pun dengan rambut cokelat sebahu yang semula mengembang, menjadi menipis. Namun, helainya tertiup silir angin dan kau tidak peduli meski anak rambutmu mengganggu pandangan.

Semburat jingga di barat menandakan malam akan segera tiba. Awan masih menggelap. Petir menyambar bersusul-susulan. Suara sambarannya yang keras sama sekali tak membuatmu terganggu.

Lampu-lampu taman mulai menyala ketika kau melangkah menerobos hujan. Payung yang tergeletak mengenaskan kau biarkan terlunta-lunta di jalan. Embus angin semakin menerbangkannya, hingga jauh dari pandanganmu. Namun kau tidak peduli. Seolah payung itu tidak ada harganya.

Tentu. Bagimu, sekarang ada sesuatu yang lebih berharga.

Kau melangkah agak gontai. Tubuhmu limbung, kakimu luruh. Namun kau tetap bertahan. Tidak boleh tumbang. Setidaknya, tidak sekarang.

Kakimu lemah, tetapi kau tetap melangkah mantap. Syal hijau yang terlingkar di sekitar lehermu nyaris terbang dan mencekik. Segera kau tangkap sebelum terbang seperti payungmu sebelumnya. Yang ini tidak boleh dilepas. Karena pemberian dari dia.

Kau sudah lelah melangkah, maka kau segera berlari. Rintik air makin menajam. Kepalamu seperti dihujam batu. Pening. Sekali lagi, kau tidak boleh tumbang di sini. Setidaknya, belum.

Semburat cahaya mulai terlihat olehmu dari kejauhan. Bahkan suara bising serta ingar bingar terdengar; dan kamu yakin sudah semakin dekat dengan perkotaan. Maka, kau menambah kecepatan. Langkahmu tak lagi gontai. Tubuhmu berdiri tegap sembari membusungkan dada.

Tanpa kau sadari bibirmu sedikit melengkung ke atas; dan matamu memancarkan binar harapan. Kau terus berlari dan berlari. Bahkan jalan raya tempat kendaraan-kendaraan melintas, kau terobos dengan tenang.

Pendar cahaya kekuningan membuat pandanganmu mengabur. Suara klakson bagai protesan terdengar berirama. Kau tidak peduli. Kau terus berlari tanpa henti, menyusuri jalan serta bangunan, bergerak secepat yang kau bisa.

Apa yang berharga bagiku?

Jawabannya ada di sana; sebuah gedung pencakar langit.

Setelah lama berlari, kau akhirnya berhenti di depan gedung yang menjulang tinggi hingga ke langit itu. Kau sampai harus mendongak, tak peduli rintik tajam yang menghujam. Sakitmu tak ada apa-apanya dibanding dia.

Kau meneguk saliva, lalu membulatkan tekad. Di atas sana, di ujung gedung, ada sesuatu—atau seseorang—yang berharga bagimu.

Kemudian kamu mulai melangkah kembali, berlari secepat yang kamu bisa dan menerobos keamanan yang ada. Bunyi alarm darurat terdengar kala kau melewati dua orang penjaga bertombak begitu saja, tanpa perlawanan dari mereka—tidak, itu karena mereka kalah cepat darimu.

Sekarang, kau berpikir kau adalah cheetah; dan kau memang harus menjadi cheetah untuk menyelamatkannya.

Lantai demi lantai kau tanjaki, meski ada benda bernama lift yang bisa membawamu ke atas lebih cepat. Bermenit-menit berlalu, suara alarm itu masih ada. Semakin nyaring berbunyi, semakin cepat kau bergerak.

Peluh keringat membanjiri tubuhmu, bercampur dengan air hujan yang sebelumnya membasahi tubuh. Ingin kau mengelap keningmu, tetapi kau tidak boleh berhenti. Setidaknya, tidak sekarang.

Tiba di persimpangan tangga bertuliskan angka dua puluh di dinding putih, kau mendobrak pintu tangga darurat. Sontak menghentikan langkah ketika kau dihadapkan pada koridor dengan banyak pintu berjejer.

Sebelah kanan, lurus, lalu belok kiri.

Kau pun mengikuti insting—aura—yang terasa itu. Segera berlari sebelum penjaga-penjaga bodoh tadi menyadari kehadiranmu dan mengejar. Namun koridor begitu sepi. Kau curiga, tetapi tak berhenti.

Hingga mendadak, kau tersungkur dan merasakan sakit luar biasa pada kaki kirimu. Kau tak sempat untuk meratapi, bahkan sekadar melihat. Akan tetapi, kau yakin kakimu terluka. Barang kali oleh peluru.

Kau segera bangkit, susah payah. Rintihan lolos dari bibirmu. Sekali lagi, kau tak punya waktu untuk meringis lagi dan menangisi rasa sakit yang kau rasakan pada kakimu.

Kau coba untuk melangkah. Goyah, tubuhmu nyaris limbung. Namun suara derap membuntutimu dari belakang, membuatmu spontan berlari kembali kendati terseok-seok.

Bertahanlah.

Kau bisa, kau kuat. Kau harus bertahan. Harus ... harus!

Kau memejamkan mata. Bahkan sampai menggigit bibir bagian bawah hingga berdarah guna menahan perih. Namun tak kuasa.

"AAAKKHH!" Kau memekik sekuat tenaga; pada akhirnya tak tahan dengan perih yang kau rasakan, pun melepas sesuatu yang mengganjal di hatimu.

Suara pekikanmu jelas mengundang mereka. Biarlah, mereka semakin mendekat. Setelah ini, semua usai.

Kau sampai di depan sebuah pintu. Aura yang kau rasakan makin pekat; kau yakin dia ada di sini. Mereka makin mendekat, suara peluru seperti ditembakkan. Dengan satu tangan terkepal, kau memusatkan tenaga di sana. Menghela napas, lalu kau dobrak pintu itu dengan kencang. Suaranya menggema di koridor.

Pupilmu melebar seketika. Dia benar-benar ada di sana; terjebak dalam sebuah tabung dengan masing-masing tangan menggantung di kedua sisi oleh ... borgol. Entahlah, kau tak tahu. Matanya terpejam damai. Padahal, seluruh tubuhnya terlilit kabel-kabel, terlihat sakit.

Kau tersenyum. Sementara matamu memanas dan air mata lolos dari pelupuk. Seakan tak percaya, kau masih membuka mulut. Sembari berjalan mendekat, langkahmu memelan.

Kau menutup mulut dengan telapak tangan; tangismu kian menjadi. Tepat berada di depan tabung, dengan satu pukulan, kau kembali memecahkan tabung kaca itu hingga berkeping-keping; tak peduli dengan serpihan kaca yang menancap di wajah serta beberapa bagian tubuhmu seperti tangan. Juga menusuk di tubuh telanjangnya (tak apa, dia takkan merasakan sakit).

Sesuatu yang berharga bagimu, kini ada di depan mata. Tubuhmu tremor. Masih berderai air mata, kau melingkarkan tanganmu di lehernya; mendekapnya erat sambil terisak kencang. Kau menyeru nama dia berkali-kali—sungguh, kau begitu bahagia sekarang.

Kau memejamkan mata. Sambil mengusap-usap punggungnya, kau berbisik lirih, "Tugasmu sudah selesai. Bangunlah, Sayangku."

Tanpa sepengelihatanmu, dia membuka kelopak mata perlahan. Bibirnya hendak terbuka. Namun kelu. Pada akhirnya, dia mengulas senyum tipis. Kedua tangannya bergerak pelan, lantas membalas dekapanmu.

"Terima kasih," dia merespons, begitu pelan, "sudah membangunkanku."

Kau tertegun. Lalu mendekapnya lebih erat, menangis lebih kencang, dan berteriak lebih histeris.

"Biarkan aku dalam keadaan ini," ucapmu, menenggelamkan kepalamu dalam-dalam di bahunya.

"Tidak, kau bisa mati."

"Tak apa, jika bersamamu." Suaramu redam, tetapi dia masih mendengarnya.

"Tetapi hujan akan berhenti."

"Itu tujuanku."

Detik berikutnya, suara tembakan tanpa aba-aba terdengar beberapa kali. Dan hujan yang sudah berlangsung selama enam bulan terus menerus pun berhenti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro