Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Another World #2

Sakit.

Gelap.

Ugh ....

Perlahan, kelopak mataku terbuka. Sinar yang menyilaukan menembus retina. Aku menyipitkan mata sambil menghalangi sinar yang masuk dengan lengan kiri. Lantas, mencoba bangun walaupun rasanya punggungku remuk.

"Ini ... di mana?" Aku menggumam pelan. Masalahnya, saat aku membuka mata sepenuhnya, aku seperti berada pada sebuah ... taman? Namun, taman ini tidak seperti taman belakang istana. Juga, asing.

Ketakutanku membuncah. Aku segera menoleh ke belakang dan menyelisik tempat ini, tetapi tak sedikit pun aku melihat sesuatu yang mirip taman belakang selain ... lubang? Tunggu, di depanku ada sebuah lubang yang mirip tanah yang bekas digempur.

Lalu, tidak ada Moir di sini. Di mana di—tidak, di mana aku?

Aku segera bangkit berdiri, lalu menepuk-nepuk pakaianku yang kotor terkena tanah. Gaun warna ungu yang terbuat dari hortensia milikku sobek di beberapa sisi, juga lusuh. Baru kurasakan perih pada di belakang tubuhku.

Aku menengok ke belakang—dan, mataku terbeliak. Sayapku ... sayapku rusak! Lebih-lebih di kedua sisi!

Tidak ... tidak ... bagaimana ini?!

Aku—aku harus mencoba terbang!

Baru saja kukepakkan kedua sayapku dan terangkat satu kaki di atas tanah, aku langsung terjatuh bersimpuh. Perih yang kurasakan semakin menjadi. Sayap unguku robek.

Aku mengembuskan napas, mendesah berkali-kali. Sekarang aku seperti Charesia saja. Lalu, sekarang bagaimana?

Aku tidak tahu tempat ini. Sangat asing. Di sini juga sepi. Di depanku, ada benda-benda aneh. Salah satunya terlihat seperti ayunan, tetapi bukan terbuat dari akar tanaman. Di sebelahnya, ada juga seperti timbangan ... uh? Entahlah.

Mau tidak mau, aku harus berjalan, mencari pertolong ... an?

Aku terdiam beberapa saat, saling bersitatap dengan laki-laki di hadapanku. Sepertinya dia bukan seelie, tetapi ras peri mana? Dia tidak punya sayap, telinganya tidak lancip, dan memakai pakaian aneh.

"Anu, ada yang bisa kubantu?" Laki-laki itu bertanya sambil memegang tengkuknya. Kepalanya tertunduk, sesekali melirikku dengan mata hitam legam itu.

"Ini di mana?" tanyaku pelan. Aku takut jika dia adalah orang jahat. Ibu selalu menasihatiku untuk berhati-hati pada orang asing, terutama selain ras peri yang kutahu.

Laki-laki itu mengerutkan keningnya. "Taman Hara."

Sekarang, aku yang mengerutkan kening. Taman Hara itu di mana?

"Taman Hara? Apa ini masih di Luxiandra?"

"Luxin—apa tadi?"

"Luxiandra."

Dia menggeleng. "Bukan."

Bukan?

"Oh, atau Hutan Diala? Marmois?" Aku menerka-nerka. Semoga salah satunya—

Dia menggeleng lagi. "Bukan. Aku bahkan baru pertama kali mendengarnya. Di mana itu?"

Aku terdiam.

Kalau bukan di Luxiandra, dan sekitarnya ... lalu ini di mana?

Ugh ... bagaimana ini? Aku tidak punya sihir untuk melacak seperti Frui. Kemampuanku hanya sihir ilusi. Mana mungkin berguna di saat seperti ini!

"Nona?"

Lamunanku buyar saat dia melambaikan tangannya di depan wajahku.

Ah, caranya menyadarkanku seperti Moir. Laki-laki itu, di mana dia sekarang?

Ya, kemungkinan besar Moir masih di taman istana.

"Maaf," ucapku, "kau siapa?"

"Aku?" Dia menunjuk diri sendiri. Aku mengangguk pelan. "Namaku Kiran. Kau sendiri?"

"Shylpyhette. Aku berasal dari ras seelie. Kau? Dari ras apa?"

"Hah?" Jelas-jelas dia bingung. "Namamu sulit diucapkan dan, ras apa maksud—oh, aku ras Mongoloid."

"Mongoloid? Aku baru mendengarnya," kataku. "Omong-omong, panggil saja Shylpy."

"Baiklah, Shylpy. Kau butuh bantuan?"

Aku terdiam lagi. Menimang apakah aku harus bercerita pada orang asing. Namun, pada akhirnya, aku menceritakan apa yang terjadi padanya.

"Begitu. Jadi, kau adalah ras peri seelie, tinggal di Luxiandra, akan menjalani hari kedewasaan, dan pada hari itu kau terjatuh dari lubang di taman belakang istana lalu berakhir di sini?"

Aku mengangguk-angguk. Dia menyimak dan merangkum ceritaku dengan jelas.

"Dengar, aku akan jelaskan. Ini adalah Bumi, bukan Luxindra atau apalah itu. Dan Bumi dihuni oleh makhluk bernama manusia—sepertiku contohnya—bukan makhkuk bernama peri seperti yang kau ceritakan. Kami tidak punya sayap, telinga lancip, apalagi sihir." Dia menjelaskannya dengan rinci. Namun, justru itulah yang membuatku perlu waktu untuk mencerna penjelasannya.

"Jadi ... aku bukan berada di dunia peri?"

Laki-laki yang mengaku sebagai manusia bernama Kiran itu mengangguk. "Yap."

"Bumi ... apakah Bumi semacam dunia lain?"  Aku bertanya ragu. Benarkah Bumi adalah dunia lain? Biarpun asing, siapa tahu masih berada dalam dunia peri. Namun, Kiran dengan tegas menjawabnya.

"Aku rasa sebaliknya."

"Begitu ...."

Aku menunduk dalam-dalam, memainkan jari dan melumat bibir. Sekarang, aku harus bagaimana?

Aku ingin kembali ke Luxiandra. Seharusnya aku bahagia sekarang dengan hari kedewasaanku, tetapi ... aku malah berakhir di sini. Mungkin, andai jika aku tidak mengajak Moir ke taman belakang—tidak, tidak. Andai jika aku tidak mendekati bunga aneh itu ... pasti—pasti sekarang aku sedang menikmati acara bersama Moir, Frui, dan Floria.

"Jangan bersedih. Aku akan membantumu beradaptasi di sini dan ... hmm, mencari cara untuk kembali."

Pupilku melebar. Cepat-cepat aku mendongak. Laki-laki itu mengulas senyum. Dari matanya yang berwarna legam, aku tahu ada ketulusan di sana. Senyumku terpatri bersamaan dengan jantung yang berdebar-debar, seperti yang kurasakan pada Moir.

***

Sudah enam hari aku berada di Bumi. Selama itu pula Kiran banyak membantuku, mulai dari penyamaran, memperkenalkan dunia lain bernama Bumi ini, dan mengajarkan hal-hal yang ada di dalamnya.

Bumi benar-benar asing bagiku. Makhluk bernama manusia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kami. Hanya saja, mereka tidak bersayap, bertelinga lancip, memiliki sihir, dan tinggal dengan alam. Mereka punya kehidupan yang berbeda dengan peri. Kata Kiran, kalau tidak salah namanya ... teknologi?

Aku tidak tahu lagi, Kiran benar-benar membantuku. Dia laki-laki yang baik.

Kami belum menemukan cara kembali. Aku bahkan sudah memeriksa lubang tempatku muncul di Bumi, tetapi itu hanyalah lubang biasa. Namun, tak masalah.

Aku cukup senang berada di sini. Ada Kiran yang selalu membantuku. Lalu, Bumi juga tidak kalah menyenangkan dari Luxiandra. Tidak enaknya, aku tidak bisa terbang karena harus menyamar menjadi manusia. Terlebih, sayapku belum pulih. Karena terbiasa menggunakan sayap, berjalan sedikit saja rasanya lelah.

Kata Kiran, aku harus rajin berolahraga. Aku tidak tahu olahraga itu apa, tetapi kata Kiran, itu semacam berjalan-jalan kaki, berlari, lalu ... melatih fisik? Ugh, aku tidak tahu.

Namun, yah, tinggal di Bumi ... tidak terlalu buruk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro