Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Album Biru

"Nada! Dari mana aja kamu baru pulang jam segini?!"

Suara berintonasi tinggi menyambut indra pendengaranku saat aku baru saja memasuki rumah. Kulihat Bunda menatapku nyalang sembari berkacak pinggang dari ruang tamu.

Aku memutar bola mata malas. Anaknya ini baru saja pulang dan masih capek, eh, malah dibentak-bentak. Dasar orang tua cerewet!

"Bunda bisa nggak diam aja? Nada baru pulang! Capek tau!" balasku setengah membentak. "Lagian anak baru pulang kok malah dimarahin?"

Raut wajah Bunda mengeras. "Gimana Bunda nggak marah? Kamu aja baru pulang jam sepuluh malam! Pasti abis clubbing, kan?" kata Bunda yang membuatku berdecak.

"Apaan sih, Bun. Baru jam sepuluh malam aja kok heboh amat. Lagian, remaja kayak Nada clubbing mah wajar kali!" bentakku tak terima. "Bunda cerewet amat, sih! Udah, ah. Nada mau ke kamar dulu!"

"Jangan kurang ajar sama Bundamu, Nada! Sejak kapan Bunda ngajarin kamu jadi anak yang kurang ajar dan nakal seperti ini?"

Ucapan Bunda membuatku menghentikan langkah dan berbalik menatap Bunda.

"Bunda bisa diam nggak, sih? Ngoceh mulu! Panas kuping Nada dengernya!" Aku berkata gemas.

Raut Bunda seketika berubah. Tatapan sendunya tertuju padaku, tapi aku tidak peduli.

"Kamu tahu, Nak? Bunda sangat nggak suka melihat kamu jadi anak club, pacaran, dan bergaul bebas seperti itu. Bunda membesarkan kamu untuk menjadi anak gadis yang baik-baik, tapi kenapa kamu jadi seperti ini, Nada?" Air mata mulai menetes dari kelopak mata Bunda.

Aku menghela napas. "Ini semua karena Ayah," balasku singkat lalu melenggang pergi ke kamar, meninggalkan Bunda yang mematung di ruang tamu.

Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu.

"ARGH!" teriakku frustrasi.

Emosiku memuncak gara-gara Bunda. Aku meraih apa pun yang ada di sekitarku kemudian melempar-lemparkannya dengan asal. Alhasil, kamarku sekarang seperti kapal pecah. Aku mengempaskan tubuhku ke kasur dan menutup wajahku dengan bantal sembari tengkurap.

Argh ... Tuhan, kenapa hidupku seperti ini? Semua gara-gara Ayah!

Di kala aku mengacak rambut, mataku tak sengaja menangkap sebuah album berwarna biru tergeletak mengenaskan di lantai kamar.

Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil album biru itu. Kuusap kover depan album yang usang dan berdebu.

"Album keluarga Nada yang bahagia." Aku membaca tulisan tangan khas anak kecil yang tertera di kaver album.

Aku tidak ingat pernah menyimpan album ini. Sepertinya benda ini adalah korban lemparan asal-asalanku tadi.

Kubuka album biru,

penuh debu dan usang,

Aku beranjak lalu duduk di tepi ranjang. Setelah mengambil napas panjang, aku mulai membuka album ini.

kupandangi semua gambar diri,

kecil bersih belum ternoda,

Di dalamnya, terdapat foto-fotoku saat masih kecil. Dibanding dengan kaver depannya, foto-foto ini sangat bersih dari noda ataupun debu.

pikirku pun melayang,

dahulu penuh kasih,

Pandanganku tertuju pada salah satu foto. Itu adalah fotoku dengan Bunda saat aku berumur sekitar tiga tahun. Di foto itu, Bunda sedang memelukku yang tertawa lebar. Pikiranku melayang ke masa itu.

teringat semua cerita orang,

tentang riwayatku,

Mendadak, aku teringat cerita orang-orang tentang diriku saat masih kecil. Katanya, dulu aku sangat manja dan tidak mau lepas dari Bunda. Aku akan menangis kalau tidak ada Bunda atau Bunda tidak ada di sisiku.

kata mereka diriku s'lalu dimanja,

kata mereka diriku s'lalu ditimang,

Aku membalikkan lembaran album. Mataku beralih pada sebuah foto di mana aku sedang digendong dan diayun-ayunkan oleh Bunda. Bunda menatapku penuh kasih sayang. Aku yang saat itu masih sangat rapuh dan takut jatuh, menggenggam erat tangan Bunda.

Entah kenapa saat melihat foto-foto ini, tatapanku perlahan melunak. Tanpa sadar aku malah bernostalgia.

nada-nada yang indah,

s'lalu terurai darinya,

Aku membalikkan lembaran demi lembaran album lagi lalu terhenti di sebuah foto saat aku berumur lima tahun.

Aku sedang tertidur pulas. Bunda ada di sampingku, memelukku hangat. Aku ingat. Sebelum aku tidur, aku selalu meminta Bunda menyanyi atau membacakan dongeng untukku. Suara Bunda begitu indah dan lembut, membuatku ingin terus mendengarnya.

tangisan nakal dari bibirku,

takkan jadi deritanya,

Jemariku bergerak lagi. Membuka lembaran-lembaran foto, kemudian mengambil sebuah foto kala aku berusia tujuh tahun.

Saat itu, aku sedang menangis. Tanganku menggenggam seutas tali pada balon. Ya, aku difoto saat sedang menangis. Saat kecil aku memang cengeng. Selalu menangis dan merengek pada Bunda, tapi Bunda selalu sabar menghadapiku.

tangan halus dan suci,

t'lah mengangkat tubuh ini,

Aku mengembalikan foto itu ke tempat semula lalu mengambil foto yang ada di sebelahnya. Kali ini fotoku saat aku bayi. Bunda menggendongku dengan senyum merekah, menyambut kehadiran buah hatinya ke dunia.

Senyumku terbit. Saat itu, aku begitu lucu. Aku yakin Bunda juga berpikir demikian.

jiwa raga dan seluruh hidup,

rela dia berikan,

Aku beralih ke foto yang lain, di lembar kedua dari terakhir. Di foto itu, Bunda memelukku yang terbaring di ranjang dengan erat.
Wajahnya sembap, seperti habis menangis seharian. Perlu jeda bagiku untuk menyadari bahwa latar belakang foto itu berada di ranjang rumah sakit. Selang-selang berukuran kecil yang tertempel di beberapa bagian tubuhku tak luput dari pandangan.

Dan butuh waktu beberapa saat supaya aku memahami foto itu. Spontan aku menyentuh pelipis kiri. Jahitannya masih ada. Aku ... baru ingat. Dulu, aku pernah mengalami kecelakaan gara-gara kecerobohanku. Harusnya, aku kehilangan banyak darah, tapi Bunda, mendonorkan darahnya untukku hingga Bunda sendiri anemia.

Oh, bunda ada dan tiada dirimu,

'kan selalu ada di dalam hatiku.

Mataku memanas. Tak butuh waktu lama hingga aku menyadari pipiku terasa basah. Dadaku juga sakit. Rasanya seperti ada anak panah yang menusuk.

Apa yang sudah aku lakukan pada Bunda?

Bunda sangat menyayangiku, tapi aku malah ....

Menahan isak tangis, aku memberanikan diri membalik lembar terakhir. Di halaman terakhir album, sebuah foto keluarga terbingkai rapi. Tidak ada debu ataupun noda sama sekali. Benar-benar rapi.

Aku, Bunda, dan Ayah mengenakan pakaian bernuansa biru langit dan putih. Aku kecil memakai gaun cantik yang dijahit sendiri oleh Bunda. Sedangkan Ayah, tampak gagah dengan senyum tipis yang kata Bunda mirip denganku.

Sejenak aku merasa bernostalgia. Ini foto keluarga terakhir sebelum Ayah meninggalkanku—meninggalkan kami. Kapan ya, foto ini diambil?

Aku tidak ingat kapan tepatnya. Kuambil foto itu dari bingkai. Di belakangnya, tertulis sebuah tanggal. Sudah kuduga, pasti ada. Foto ini diambil delapan tahun lalu, tepatnya sehari sesudah ulang tahunku yang kesepuluh.

Lihat senyumku yang lebar, serta wajah Bunda yang berseri-seri, juga Ayah yang menatap kami berdua teduh.

Aku ... terbesit keinginan kembali seperti dulu. Saat-saat Ayah masih ada dan aku masih dekat dengan Bunda.

Sial, aku jadi merasa tidak enak. Apalagi mengingat kelakuanku tadi. Apa Bunda mengecapku sebagai anak durhaka seperti Ayah?

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro