A Shapeshifter Dragon
Berada di Pegunungan Catrish sepanjang hidupku sungguh membosankan. Selama satu setengah abad aku hidup, tiada bangsa lain selain shapeshifter naga yang bisa kutemui di sini. Pemandangannya pun biasa-biasa saja.
Aku tinggal di sebuah kastel di lereng Gunung Orsh, bagian barat Pegunungan Catrish. Yang kulihat sejak bersinku mulai mengeluarkan api hingga sekarang hanyalah jejeran gunung yang berdiri kokoh dan para shapeshifter naga yang hobi berkeliaran di puncak gunung.
Kuakui, Catrish adalah daerah pegunungan yang membentang luas. Bahkan yang terluas di dunia. Tentu karena tempat ini adalah wilayah tempat tinggal para shapeshifter naga. Kami mendirikan kerajaan besar dan pemukiman di wilayah tengah. Namun, beberapa kaum bangsawan-seperti keluargaku-memilih untuk hidup menyendiri di wilayahnya masing-masing.
Contohnya keluarga Eisworth, shapeshifter naga api terkuat yang tinggal di lereng Gunung Orsh, bagian barat Pegunungan Catrish. Bukan tanpa alasan pendahulu kami memilih mendirikan kastel di sini. Itu karena Gunung Orsh memiliki sumber daya dan bahan tambang terbanyak di antara gunung lain. Tahu 'kan, naga api itu terkenal mata duitan.
Sebagai putri dari salah satu bangsawan shapeshifter naga, sejak kecil pergaulanku selalu dibatasi. Tidak boleh inilah, tidak boleh itulah. Bahkan, aku hanya diizinkan bermain di wilayah Orsh saja. Belum pernah sekalipun aku berkunjung ke wilayah lain. Kalau begitu, bagaimana aku bisa mendapatkan teman di usiaku yang sudah seratus lima puluh enam ini?
Jadi, jangan salahkan aku jika suatu waktu aku kabur dari sini dan keluar dari Catrish. Kalian selalu melarangku ini itu. Aku ingin bebas, setidaknya sekali!
Hari ini aku akan pergi dari Catrish dan menyapa dunia luar. Peduli setan dengan nasihat Ibu yang mengatakan dunia luar berbahaya. Beliau bilang daerah selain Pegunungan Catrish tidak aman untuk kami-para shapeshifter naga-karena bisa saja kami bertemu dengan manusia. Mereka makhluk yang menyeramkan, tetapi kurasa tidak begitu.
Bagaimana aku bisa tahu?
Guruku pernah bercerita. Sewaktu muda, beliau juga dilanda rasa penasaran sepertiku. Jadi, beliau memutuskan untuk keluar dari Catrish dan pergi ke perbatasan. Tentu saja aku bisa memakluminya. Sebagian dari kami pasti jenuh hidup terkurung selama berabad-abad di tempat ini.
Lalu, saat sampai di perbatasan, Guru bilang itu adalah tempat yang menakjubkan. Hanya hutan biasa, tetapi ia bisa melihat banyak binatang yang tidak dapat kami temui di Catrish. Dilanda rasa ingin tahu, guru pergi ke pemukiman dan di sana, beliau bertemu dengan seorang manusia yang baik hati.
Manusia itu pernah menyelamatkan Guru dan mengetahui identitasnya sebagai shapeshifter naga. Namun, sayang sekali manusia yang dimaksud beliau sudah tiada. Wajar mengingat pertemuan mereka terjadi empat abad silam. Manusia biasa tidak memiliki umur sepanjang kami. Ya, aku menyayangkan hal itu, padahal aku ingin bertemu orang yang dimaksud Guru.
Aku yakin manusia tidak seburuk yang dikatakan Ayah dan Ibu. Mereka tidak jahat dan berbahaya-ya, mungkin sebagian. Sama halnya seperti bangsa kami yang tidak sepenuhnya baik. Bahkan, Jake Eisworth-kakakku-pun berpikir demikian.
Salah satu alasanku ingin keluar dari Catrish adalah karena ia. Jake sering pergi keluar Catrish tanpa sepengetahuan orang tuaku dan hebatnya, ia tidak pernah ketahuan. Bahkan saat kakakku itu tidak terlihat di kastel selama beberapa hari karena menginap di rumah teman manusianya dan menyamar sebagai pedagang di sebuah desa.
Kami sudah sepakat untuk bekerja sama. Maksudku, saling menjaga rahasia dan membungkam para pelayan yang hendak mengadukan kami ke orang tua.
Selama ini, hanya kakakku yang selalu berkeliaran di pemukiman manusia. Tentu dengan kebaikan hatiku, aku tidak berniat memberitahukannya kepada Ayah dan Ibu. Sebagai gantinya, Jake juga harus merahasiakan kepergianku.
"Hah ... hah ...."
Aku agak kesulitan mengatur napas setelah berlari sejauh lima kilometer. Salahku yang tidak melatih tubuh manusiaku dan terlalu malas untuk melakukannya. Selama ini aku selalu terbang jika ingin pergi ke suatu tempat dan ya, lebih mudah terbang menggunakan sayap naga ketimbang berlari dengan kaki manusia seperti ini.
Jarak antara Catrish dengan perbatasan setidaknya sejauh dua puluh kilometer. Akan lebih mudah dan lebih cepat jika ditempuh lewat jalur udara. Namun, jika aku berubah menjadi naga, Yuren akan langsung tahu keberadaanku. Pelayan cerewet yang merupakan shapeshifter naga kayu itu bisa mengetahui keberadaan naga lain dalam sekejap dengan kekuatannya. Lagi pula walaupun tidak sebesar naga lain, ukuran tubuhku sangat cukup untuk dapat terlihat dari kejauhan-setidaknya dari jarak delapan kilometer.
Maka, satu-satunya cara terbaik untuk kabur adalah dengan berlari sampai ke perbatasan.
Tiga puluh menit kemudian, akhirnya aku tiba di wilayah perbatasan.
Iris zamrudku menyapu sekeliling. Pepohonan lebat kurang lebih sama seperti di Catrish. Angin di sini tidak lebih dingin daripada di Orsh, tetapi cukup sejuk dan membuatku keasyikan bersandar di bawah salah satu pohon yang lebat.
Fyuh, melelahkan juga berlari sejauh dua puluh kilometer. Sepertinya aku harus melatih fisikku nanti. Lihat saja seluruh tubuhku yang sudah banjir keringat. Untunglah zirah yang kukenakan elastis dan tidak membatasi gerak.
Tiba-tiba perutku mengeluarkan suara yang cukup keras. Sepertinya kelelahan membuatku lapar.
Aku bangkit berdiri. Netraku yang tajam mencoba mencari-cari keberadaan hewan yang bisa kumakan untuk meredakan rasa lapar ini.
Sepi.
Omong-omong, sejak tadi aku juga tidak melihat kehadiran hewan buas dan lainnya. Terlalu tenang. Apa hewan-hewan di sini suka tidur siang? Mungkin saja, 'kan? Karena naga suka tidur siang, tidak mungkin hewan lain tidak.
Suara semak-semak yang berasal dari arah timur membuatku melebarkan pupil lantas segera berlari ke asal suara. Terlihat warna kecokelatan yang timbul dari balik semak-semak. Begitu aku hendak mendekat, sesuatu di balik semak menegakkan punggungnya.
Ah, itu anak rusa!
Walaupun kecil, tetapi tak apalah. Lumayan untuk mengisi perut.
Sebelum hewan kecil itu pergi, aku segera menerjangnya. Akan tetapi, bukan anak rusa yang kudapati, melainkan batang pohon besar yang menimpa tubuh lunglaiku.
***
"Hei, Ruth. Kapan aku bisa ke Pegunungan Catrish dan bertemu dengan naga?"
Bunyi siulan terdengar dari samping kiri. Laki-laki jangkung yang mengenakan setelan pakaian berwarna cokelat menatapku dengan mata berbinar-binar.
Aku memutar bola mata. "Tidak tahu," jawabku tidak niat dan terus melangkah memasuki hutan.
Berharap laki-laki di sampingku pergi, justru ia semakin gencar bertanya dan berceloteh tentang naga.
Tentu saja aku jengkel. Arlio sudah menanyakan pertanyaan yang sama sebanyak tiga puluh kali-atau berapa pun, entahlah-dan jawabanku tetap sama: tidak tahu.
Sejak mendengar keberadaan bangsa shapeshifter naga yang tinggal di daerah Pegunungan Catrish, Arlio menjadi sangat terobsesi pada hewan reptil nan besar yang bisa berubah menjadi manusia itu. Ia selalu berangan-angan bertemu dengan salah satu dari mereka.
Apa untungnya bertemu dengan naga? Yang ada kau akan hangus terlebih dulu oleh napas apinya. Paling-paling jika beruntung, hanya dilempar dengan ekor pecutnya. Itu pun kuyakin seluruh tubuhmu akan remuk. Dan jika beruntung (lagi), harta emasmu hanya akan dirampas.
Bukan tanpa alasan aku berkata seperti ini. Saat kecil, aku pernah melihat mereka-bangsa shapeshifter naga. Awalnya mereka berpenampilan biasa, seperti manusia pada umumnya. Yang membedakan hanyalah zirah yang melekat di tubuh mereka. Dengar-dengar zirah itu terbuat dari kulit naga yang tidak bisa dilukai oleh senjata apa pun, selain senjata khas mereka. Yah, seperti pecut ekor naga.
Sebenarnya aku tidak tahu ini disengaja atau tidak, tetapi sepertinya shapeshifter naga yang kulihat saat itu sedang flu. Lalu mendadak, dia berubah menjadi naga merah yang tingginya hampir lima belas meter.
Dan tahu apa yang terjadi?
Naga itu bersin!
Untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, aku melihat desaku terbakar oleh bersin naga. Dan orang-orang di dalamnya-termasuk kedua orang tuaku-hangus terbakar, tanpa sisa.
Beruntung saat kejadian aku tidak berada di rumah. Sebagai gantinya, aku melihat pemandangan mengerikan itu dengan mata kepalaku sendiri.
Tak hanya itu, terkadang ada pula beberapa shapeshifter naga yang diam-diam menyelinap ke desa untuk mencuri emas, perak, berlian, dan harta berharga lainnya. Pamanku korbannya.
Lalu, perusahaan tambang di desa kami bangkrut karena ulah mereka. Semua berlian di sana habis tak bersisa. Bayangkan betapa mata duitannya mereka!
"Tunggu, kau ingin ke mana?"
Arlio menghentikan langkah lantas menepuk pundak kiriku, menahanku agar berhenti di tempat. Mau tak mau, aku juga menghentikan langkah. Mungkin dia menyadari aku berjalan menuju hutan di daerah perbatasan.
Senapan laras panjang yang kugenggam diletakkan ke bahu kanan. Dengan tatapan datar, aku menjawab, "Ke wilayah perbatasan. Kenapa?"
Arlio menautkan alis. "Tidak biasanya kau berburu di perbatasan."
Aku tidak menyalahkannya. Dia benar.
"Mencari suasana baru," balasku, mengendikkan bahu. Aku berniat untuk melanjutkan perjalanan. "Lebih baik kau kembali saja sana."
"Jahatnya. Apa kau baru saja mengusir sahabatmu?" Arlio mengerucutkan bibir dan merengut seperti anak kecil.
Tak menghiraukannya, aku kembali melangkahkan kaki menuju hutan perbatasan. Sampai beberapa meter, aku tak mendengar suara langkah kaki. Itu artinya, Arlio tidak mengikutiku lagi.
Baguslah. Dia, kan, harus membuka tokonya.
Nah, sekarang, giliranku yang harus melakukan pekerjaanku.
Hutan di daerah perbatasan jauh lebih lebat daripada hutan di desa. Tentu dengan hewan buruan yang jauh lebih banyak pula. Hutan ini adalah surganya para pemburu. Namun, tak banyak pemburu yang memburu di daerah ini. Wajar mengingat daerah perbatasan cukup dekat dengan Pegunungan Catrish.
Memangnya, siapa yang mau bertemu dengan naga?
Oh, kecuali Arlio tentunya.
Semakin jauh melangkah ke dalam hutan, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Sejak memasuki hutan, tidak satu pun kulihat ada hewan yang melintas. Burung-burung dan hewan melata yang biasanya bertengger di ranting pun sama sekali tak terlihat.
Terlalu tenang. Ini aneh.
Paman bilang jika hewan-hewan yang biasanya berisik tiba-tiba menjadi tenang-seperti sekarang contohnya-berarti ada sesuatu yang mengerikan di sekitar mereka. Seperti hewan yang lebih kuat, singa contohnya?
Ah, tetapi tidak ada singa di wilayah perbatasan.
Kalau begitu, apa?
Kakiku menyusuri hutan lebih dalam lagi. Karena ini masih siang, pencahayaannya tidak buruk, bahkan di inti hutan yang begitu lebat. Cahaya mentari masih bisa menorobos lewat celah-celah yang ada.
BRUK!
Aku tersentak dan langsung menoleh kala indra pendengaranku menangkap bunyi yang cukup memekakkan.
Suara apa itu? Keras sekali. Asalnya tidak jauh dari tempatku berdiri. Penasaran, aku pun segera berlari ke asal suara dan mendapati hewan kecil di dalam semak-semak.
Ah! Anak rusa!
Kakiku melangkah mendekat sembari menggenggam erat senapan yang ada di tangan. Baru saja aku ingin menarik pelatuk, hewan kecil itu segera kabur dan keluar dari semak-semak.
Aku membuntutinya. Namun, bukan anak rusa yang kudapatkan, melainkan sebuah pohon besar yang tumbang dan ... ah!
Netraku membulat sempurna. Tanpa basa-basi, aku segera mendekati pohon tumbang itu dan berjongkok lantas meletakkan senapanku di tanah.
Di bawah pohon besar ini, seseorang tergeletak dengan posisi telungkup. Kepalanya menyembul dari balik batang, sedangkan tubuhnya tertimpa batang pohon sepenuhnya. Tanah di sekitar tubuh orang ini sudah tergenang cairan merah. Aku refleks menutup hidung dari bau karat yang menusuk indra penciuman.
Aku menilik orang ini. Rambutnya berwarna merah ikal dan garis wajahnya begitu lembut. Biarpun sebagian wajahnya ternoda bercak merah, aku bisa tahu orang ini sangat cantik.
Plak!
Aku menepuk kedua pipiku sendiri.
Sadar, Ruth! Ini bukan waktunya untuk memikirkan itu! Sekarang berpikir, bagaimana caranya aku menyingkirkan pohon besar ini?
Oke, tenang. Jangan panik. Tarik napas ... buang.
Pertama-tama, cek tanda-tanda kehidupannya dahulu. Kudekatkan jari telunjukku ke bawah lubang hidungnya. Embusan tipis bisa kurasakan. Syukurlah, dia masih hidup.
"Ugh ...."
"Huaah!"
Aku refleks beringsut mundur kala mendengar suara bernada rendah. Sosok yang tergeletak di bawah pohon itu tiba-tiba mengerang. Dengan tenaga yang tersisa, dia mengangkat kepala dan membuka kelopak matanya perlahan. Kini, aku bisa melihat netranya yang berwarna hijau layaknya zamrud dengan jelas.
Aku mengerjap. Tu-tunggu, dia sadar?!
Cengo beberapa saat. Netraku masih membulat dengan mulut menganga. Aku mendekat perlahan. Tanganku mencoba meraih kepala orang itu.
"A-aku akan segera mencari bantuan," ucapku kemudian bangkit berdiri.
"Ah, tidak usah!" sergahnya sebelum aku hendak melangkah.
"Kenapa?" Aku membalikkan badan, menatap wajah lesunya yang memohon agar aku tidak ke mana-mana.
"Jangan ... pokoknya jangan!"
"Tetapi kalau begitu, aku tidak bisa membebaskanmu sendirian! Pohon itu terlalu berat dan besar!"
Ia mengecilkan volume suara. "Aku bisa sendiri," cicitnya. "Sebelum itu, tolong menjauhlah sedikit."
Sebelah alisku terangkat, sedangkan dahiku mengerut. Tak paham apa maksudnya, tetapi aku tetap mengikuti pintanya untuk melangkah mundur, sedikit menjauh dari orang itu.
Dan ... harusnya aku merasa curiga. Sial.
***
Sebenarnya aku ragu mengubah diriku menjadi naga di hadapan seorang manusia. Namun, mau bagaimana lagi? Tidak ada cara lain selain ini.
Menunggu bantuan? Ide buruk. Sebisa mungkin aku ingin merahasiakan identitasku. Namun, kalau hanya menampakkan diri di hadapan satu orang, mungkin tidak apa-apa.
Laki-laki yang berdiri di sana tampak menunggu. Aku menarik napas panjang lantas mengembuskannya.
Perlahan, tetapi pasti, seluruh tubuhku berubah. Dimulai dari sisik yang awalnya hanya timbul di leherku kemudian meluas hingga ke seluruh tubuh, diikuti dengan tumbuhnya ekor, cakar, serta sayap yang membentang lebar. Zirah yang kukenakan sudah menyatu seluruhnya dengan kulit merah ranum. Wujud nagaku sudah mengambil alih. Pohon besar yang tadinya menimpa tubuhku sudah terjatuh dari punggung. Sekarang aku sudah terbebas.
Baiklah, mari kita lihat ekspresi-eh?
Tubuh laki-laki itu bergetar hebat. Iris ambarnya menatapku kaget bercampur kebencian.
"Na-naga!" pekik laki-laki itu, menunjukku dengan netra yang membulat.
Nyaliku seketika ciut. Harusnya aku tahu tidak semua manusia menyukai dan berhubungan baik dengan naga.
Yang bisa kulakukan hanyalah memohon agar dia tidak membocorkan kejadian ini kepada yang lain. Untuk itu, aku kembali ke wujud manusiaku. Lagi pula tenagaku tidak cukup untuk berlama-lama dalam wujud naga.
Untunglah aku memakai zirah ini. Bahannya terbuat dari kulit naga. Setidaknya aku tidak terluka parah, walaupun tidak akan mati juga, sih.
Dengan langkah gontai, aku menghampiri laki-laki itu. Dia langsung memasang kuda-kuda begitu aku mendekat. Tak lupa meraih senapannya yang tergeletak tak jauh dari tempatku tadi.
"Hei, tenanglah! Aku tidak akan membunuhmu!" kataku saat sampai dua langkah di hadapannya.
Sorot matanya menajam, tak sedikit pun ia melepaskan fokusnya padaku. "Ya, tetapi kau bisa membakarku dengan napas atau bersin api," balasnya dingin.
Aku mengernyit lantas berkata dengan nada tidak suka, "Aku tidak sedang flu."
"Oh, kau pasti ingin mengambil hartaku. Kalau begitu, pergilah! Aku tidak punya harta berharga yang bisa kau ambil!" Laki-laki itu tetap bersikukuh.
Aku mengentakkan kaki kesal. "Dengar, ya, aku tidak berniat membakarmu atau merampas harta-"
Kruyuk!
Perut sialan. Kenapa berbunyi di saat yang tidak tepat?
Akan tetapi, ugh ... aku lapar sekali. Ditambah lagi aku sedang terluka, aku butuh makanan!
Raut lelaki di hadapanku memucat. "Kumohon jangan makan aku! Dagingku tidak enak!"
"Naga tidak memakan manusia, Bodoh!" tempikku sembari bersedekap. "Tadinya aku hanya berniat berburu karena lapar. Lalu saat menemukan anak rusa, tiba-tiba pohon itu tumbang dan menimpaku. Apa kau tidak lihat tadi?"
"Benar?" tanyanya memastikan.
Aku mengangguk. "Kau pemburu, 'kan? Bisakah kau memburu anak rusa itu untukku?" pintaku, memasang wajah memelas.
Rautnya berubah seketika. "Kenapa aku harus memburu untukmu?" ucapnya sarkas.
"Katanya kau tidak mau kumakan." Aku memutar bola mata.
Dia merengut tidak suka, tetapi pada akhirnya tetap memburu anak rusa dan menyuruhku untuk diam di tempat. Di luar dugaan, dia tetap membantuku. Ternyata benar kata Guru. Manusia itu senang membantu.
Selesai menangkap buruan, laki-laki tadi kembali ke tempat semula. Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan satu anak rusa. Aku menyambutnya dengan senang.
Tanpa basa-basi, aku segera berubah ke wujud naga lagi lantas membakar rusa itu dan melahapnya rakus. Rasanya memang lebih enak dimakan langsung daripada diolah terlebih dahulu. Yang kusuka dari rusa adalah dagingnya yang lembut dan cocok dengan lidahku.
Kami duduk saling berhadapan, masih di hutan perbatasan. Laki-laki di hadapanku melongo melihatku yang makan dengan lahap. Kurasa dia belum pernah melihat shapeshifter naga makan atau, oh, apa dia ingin makan juga? Seharusnya tadi aku memberinya sebagian. Karena lapar aku jadi sedikit lupa diri.
Tak tahan dengan keheningan dan kecanggungan ini, aku membuka percakapan. "Oh, ya, kenapa kau menolongku? Padahal tadinya kau terlihat sangat takut."
"Mendiang ibuku bilang, aku harus membantu siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan jika itu seorang shapeshifter naga sekali pun," jawabnya tanpa melepas pandangan dariku
"Wah, kau laki-laki yang baik," responsku.
"Tidak juga." Dia membuang pandangan ke arah lain, tampak tak nyaman bertatapan denganku.
"Omong-omong, kau manusia pertama yang kutemui selama satu setengah abad aku hidup." Kedua ujung bibirku terangkat sedikit.
Dia mengalihkan pandangan kembali kepadaku. Tampaknya dia mulai tertarik.
"Kau tahu? Di Catrish sangat membosankan. Aku tidak pernah diizinkan pergi bahkan ke wilayah Catrish lain untuk menemui teman sebaya. Jadi, aku memutuskan untuk kabur dan pergi ke perbatasan," lanjutku bercerita.
Sebelah alisnya terangkat. "Jadi, sekarang kau sedang kabur dari rumah?"
"Bisa dibilang begitu." Aku mengedikkan bahu. "Omong-omong, tolong rahasiakan ini, ya."
"Tenang saja, aku tak berniat memberitahu warga lain," ujarnya disertai senyum tipis.
Yang kulihat sejak tadi hanya raut takut dan bencinya. Ternyata dia lumayan tampan saat tersenyum.
"Namaku Ruth Venandi. Seorang pemburu." Tiba-tiba saja dia menyodorkan tangan kanannya padaku, mengajak berkenalan.
Mataku berbinar. Apa akhirnya aku mempunyai teman manusia? Wah!
Aku pun membalas ulurannya. "Yunie Eisworth. Kau bisa memanggilku Yunie. Shapeshifter naga api."
"Baiklah, Yunie. Maafkan atas sikapku tadi. Aku agak sensitif terhadap naga." Ruth menundukkan kepala sedikit dengan raut menyesal. "Tetapi aku merasa kau berbeda dari kebanyakan shapeshifter naga. Lagi pula aku tidak bisa melihat orang lain terluka."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak apa," ucapku kemudian terkekeh kecil. "Terima kasih, Ruth."
Dan itulah pertemuan pertamaku dengan Ruth, manusia yang menjadi teman pertamaku. Selanjutnya, kami sering bertemu diam-diam di hutan perbatasan selama lima tahun belakangan.
Jake sudah mengetahui pertemuanku dengan Ruth. Dia bilang, jangan sampai aku terlalu jatuh padanya. Aku tidak mengerti maksud Jake. Jadi, kata-katanya saat itu hanya angin lalu buatku.
Namun, semakin lama aku dekat dengan Ruth, aku merasa tidak ingin lepas dan berpisah darinya. Lalu jantungku selalu berdebar tiap bersamanya. Kenapa, ya?
"Yunie!"
Pintu kamarku didobrak mendadak. Jake masuk dengan raut panik. Dia melangkah mendekati ranjangku kemudian memberitakan sesuatu yang membuat jantungku seakan ingin copot saat itu juga.
Ayah mengetahui rahasiaku. Yuren yang melaporkannya. Naga kayu yang satu itu memang bedebah!
Namun, bukan itu yang menjadi fokusku, melainkan ayah yang pergi ke perbatasan untuk menemui Ruth dan membakar desa tempat tinggalnya.
***
Ini gila!
Seorang pria tampang empat puluhan yang ternyata adalah shapeshifter naga baru saja mendatangi desaku dan mengamuk.
"SIAPA DARI KALIAN YANG BERNAMA RUTH VENANDI?"
Aku tersentak saat orang itu bertanya dengan amarah yang membara. Tanpa sadar bulu kudukku meremang. Aku meneguk saliva takut.
Kenapa dia bisa tahu namaku?
"SIAPA PUN ITU, KUBERITAHU KAU, RUTH VENANDI. BERANI-BERANINYA KAU MENDEKATI PUTRIKU, YUNIE! DASAR MANUSIA TIDAK TAHU DIRI!" geram pria itu. Mendengarnya yang berkata 'putri' dan 'Yunie' membuatku yakin pria itu adalah ayah Yunie.
Sial. Bagaimana ini? Itu berarti Yunie ketahuan oleh keluarganya? Tuhan, kuharap dia baik-baik saja.
Beberapa warga mencoba menghentikan shapeshifter naga itu, tetapi sudah terlambat. Dia sudah berubah menjadi naga api setinggi dua puluh meter. Dengan satu embusan napas, satu desa sudah tersapu oleh apinya.
"AYAH!" Yunie datang, mencoba menghentikan ayahnya. Namun, terlambat. Seluruh desa sudah terbakar habis, termasuk diriku. Hal terakhir yang kulihat adalah Yunie yang terduduk dan menangis sejadi-jadinya.
Maaf, Yunie. Kupikir kita bisa bersama lebih lama lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro