Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Eren Jaeger


“Aku memang bukanlah wanita shalihah, yang menghabiskan malamnya dalam sujud panjang. Namun, aku tahu seorang muslimah takkan bisa bersatu dengan laki-laki yang berbeda agama dengannya.”

#stayathome
#ramadhandirumahaja

Pairing: Eren x muslimah!Reader slight Eren x Mikasa
Genre: Spiritual romance

Eren Jaeger, Mikasa Ackerman, dan Jean Kirschtein milik Hajime Isayama

——  ——

Desir pasir di padang tandus
Segersang pemikiran hati
Terkisah 'ku di antara
Cinta yang rumit

1 Ramadhan.

Hari yang kuingat sebagai pertemuan dengan dirinya. Sosok pemuda yang tak pernah bisa kumiliki.

Tubuhku lemas, mengelus tenggorokan yang kering akan dahaga. Mengendarai motor, aku keluar dari lingkungan kampus. Berkendara jauh meninggalkan keramaian di balik punggung.

Baru diuji puasa dalam kondisi cuaca yang seterik ini saja membuatku nyaris mati, bagaimana nanti kondisiku selama ujian ad-dukhan? Apa aku bisa melaluinya? Membayangkan hari-hari penuh kabut panas tanpa makanan yang cukup membuatku ngeri.

Mungkin aku tak bisa bertahan.

Motor kukendarai dalam kecepatan sedang, memeriksa jam tangan berulang kali memastikan waktuku pulang ke rumah cukup. Disebabkan karena aku terlalu lelah, aku tak sadar memilih jalan besar yang biasanya sangat macet di sore hari.

Aku harus terjebak macet, terpenjara kendaraan yang mengelilingiku dari segala sisi. Memotong jalur? Mustahil. Tak ada celah yang dapat dilewati sekalipun pengendara motor sepertiku.

Adzan Maghrib semakin dekat, aku semakin panik. Bukan karena takut terlambat berbuka, tetapi aku takut waktuku tak cukup untuk melaksanakan ibadah wajib. Tinggal satu kali salat saja membuatku takut berkurangnya pahala ibadah puasa.

Aku masih bertahan di tempat yang sama, keringat mengalir, tubuh lemas, dan tenggorokan kering. Udara di sekeliling gerah karena pohon-pohon sama sekali tidak ditanami di sekitar jalan besar ini.

Akal sehatku mulai menipis beriringan kepala pening dan napas panas keluar dari mulut. Bisikan-bisikan di kepala memaksaku mengambil air di botol minum, menyia-nyiakan perjuanganku berjam-jam menahan hawa nafsu.

Beristigfar, aku terus menghilangkan paksa bujukan menyesatkan di kepala sembari memerhatikan kendaraan sekitar yang berangsur maju walau satu meter pun tak cukup. Memegangi kepala yang semakin berat, pandanganku mulai berkunang-kunang. Napasku makin sulit ditarik.

Warna-warna hitam mengaburkan mata, siapa yang menolongku jika pingsan nanti?

Tenanglah, (Name). Pasti ada cara bagi Sang Penguasa Alam menolong seorang hamba-Nya meskipun bukan hamba yang taat, karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Penyayang.

“Mbak nggak apa-apa?” Suara berat seorang pemuda menarikku dari hilangnya kesadaran.

”Saya nggak apa-apa,” jawabku tersenyum. Hilanglah berat di kepala dan warna-warna hitam di mata, memperlihatkan wajah tirus ras nordik seorang pemuda berkulit sawo matang.

“Beneran mbak? Saya punya obat sakit kepala lho. Sekalian saya kasih makanan berbuka,” ujar pemuda blasteran itu tersenyum, mengeluarkan tas kecil dari dalam tas bahunya.

“Eh, nggak usah. Untuk yang membutuhkan aja,” tolakku. Jantungku berdebar, entah karena suhu tubuh yang panas ataupun terpana pada pemuda bermata zamrud di depanku ini.

Bibirnya yang tipis masih mengulas senyum, kacamata petak menggantung di hidung mancungnya. Aku tak bosan menatap wajah yang baru di mataku ini, namun aku harus menanggung konsekuensi bila menatapnya terlalu lama.

“Ambil aja, mbak. Siapapun yang berpuasa berhak kok dapetin makanan.” Ia menyodorkan tas kain kecil yang ia keluarkan, terdapat sebotol air mineral, sari roti coklat, dan kurma di dalamnya.

“Terima kasih banyak, mas. Semoga mas mendapat berkah dari Allah,” ucapku menaruh tas itu di gantungan motor.

“Sama-sama, mbak. Semangat ya, puasanya. Tapi maaf mbak, saya non muslim.”

Waduh, aku salah berbicara pada orang baru, non muslim pula lagi. Kuharap ia tidak tersinggung dengan apa yang kukatakan. Aku meringis.

Membungkuk kecil, aku mengatakan, “Maaf banget, mas. Saya nggak tahu.”

“Nggak apa-apa, mbak. Saya permisi dulu, macetnya hampir kelar,” pamit pemuda itu.

Mataku masih memandang punggung tegap pemuda yang memakai almamater kampus yang sama denganku, debaran di jantungku menguat dan semakin cepat di setiap detiknya. Aku ingin mengenal pemuda itu lebih jauh.

Mengejutkan sekali, orang yang bukan beragama Islam saja rela menembus jalanan macet dan menyelip kendaraan demi kepentingan perut pengendara. Orang yang mengaku muslim saja belum tentu berbuat baik sejauh itu, mereka hanya berkoar-koar tanpa bukti.

Kuharap pemuda itu terbuka hatinya dan mengucapkan kalimat syahadat agar bisa menjadi imamku kelak.

Eh.

Setelah itu perjalanan menuju rumah lancar, aku tiba sebelum adzan benar-benar berkumandang. Aku menyempatkan diri membersihkan tubuh dan berwudhu. Tepat muadzin mengumandangkan adzan, aku membaca doa berbuka dan meminum seteguk air.

Sebelum mengisi perut, terlebih dahulu aku merendahkan diri sebagai hamba di hadapan-Nya. Dalam doa, mulutku lancar meminta Allah membuka hati pemuda itu untuk menganut agama yang sama denganku, hingga aku dan dirinya bisa bersama, tetapi itupun bila kami berjodoh.

Aku tak mengerti bisa jatuh cinta pada pandangan pertama ke seorang pemuda di tengah gersangnya udara jalan raya. Kepribadiannya yang menarik, ramah, dan rela menolong membuat hatiku berlabuh padanya.

Aku terus menunggu kesempatan kami berada di dalam kepercayaan yang sama. Kuharap sebelum itu aku melihatnya dari jauh selagi ia belum mengganti kepercayaannya.

Aku bukanlah wanita shalihah, yang menghabiskan malamnya dalam sujud panjang. Namun, aku tahu seorang muslimah takkan bisa bersatu dengan laki-laki yang berbeda agama dengannya, karena itulah aku terus berdoa agar lelaki itu memeluk agama Islam.

Bila keyakinanku datang
Kasih bukan sekadar cinta

Ramadhan kembali datang dalam keadaan yang jauh berbeda. Pasar-pasar Ramadhan tutup, masjid-masjid sepi dari jamaah, tak lagi menggelar salat tarawih dan tadarus yang dulunya sangat meriah. Anak-anak sekolah yang biasanya memadati masjid dan mencatat ceramah ustad, kini tidak lagi terlihat menapaki setiap ubin masjid.

Setahun berlalu, aku masih memikirkan pemuda baik hati itu. Dipikir bagaimanapun pula, perasaanku sangat salah jika mencintainya. Masih banyak pemuda-pemuda tampan lainnya yang satu agama denganku, mengapa justru berharap padanya 'kan?

Tetapi anehnya aku belum menyerah mengangkat kedua tangan dan berdoa ia menjemput hidayah Allah.

Terlalu menyakitkan mencintai orang yang jelas-jelas mustahil diciptakan untukku. Namun, jika Dia berkehendak, sesuatu yang mustahil dengan mudahnya terwujud.

Kampus mulai sepi, mahasiswa-mahasiswi pulang ke rumah masing-masing dan akan mengikuti pelajaran dari rumah. Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswi fakultas kedokteran, fakultas farmasi, dan fakultas-fakultas lain yang berkaitan dengan bidang kesehatan.

Kami sepakat menginap di sini selama dua minggu untuk menjalankan bakti sosial, dengan catatan keluar kampus bila perlu saja. Pihak kampus mendukung kegiatan kami dan ikut mendonasikan uang, tentu jumlahnya tidak kuketahui karena aku bukan panitia.

Aku hanya anggota bakti sosial biasa.

Bagi mahasiswa-mahasiswi yang pandai menjahit, mereka membuat masker dari kain perca. Ada juga yang membuat hand sanitizer, menjual masker ke apotek lalu uangnya digunakan untuk membeli sembako yang dibagikan ke orang-orang yang kurang mampu.

Aku memilih membuat hand sanitizer untuk disumbangkan.

Malam itu aku keluar sebentar dari kelas yang digunakan sebagai tempat menginap usai salat tarawih dan tadarus bersama. Angin mengibarkan kerudung biru mudaku, ada rasa damai menikmati pemandangan taman kampus yang sepi ini. Lampu-lampu taman tetap dinyalakan meski sembilan puluh persen lebih penghuni kampus ini tidak ada.

Aku sama sekali tidak takut sendirian di sini karena sejak kecil aku suka menyendiri.

Menenangkan dan membuatku lebih mudah mengintrospeksi diri.

Aku duduk di sebuah bangku taman yang dekat dengan gerbang kampus, menikmati angin sepoi-sepoi dan memindai keadaan sekeliling untuk meningkatkan penjagaan diri.

Wabah yang melanda seluruh dunia ini, kuharap bisa cepat terangkat dan kami bisa menikmati ramadan yang normal seperti tahun-tahun sebelumnya. Malam ini memasuki tanggal satu ramadan, wabah belum juga lenyap dari bumi pertiwi.

Tetapi aku tetap optimis, musibah ini akan cepat terangkat ketika tiba di masanya, karena Allah tak ingin melihat hamba-hamba-Nya terlalu lama menderita.

“Kalian udah jadian? Haha.”

“Bukan.”

“Lah terus?”

“Udah tunangan malah.”

“Kelamaan banget nunggu kalian nikah.”

“Ya mau gimana lagi, ortu gue takut gue nggak dapet jodoh.”

“Lo nyeremin makanya cewek-cewek pada takut. Kasihan Mikasa dapat tunangan kayak lo.”

“Sialan.”

Kepalaku tertoleh pada dua orang pemuda yang memasuki gerbang dengan riang, mereka tertawa dan melempar candaan diselingi umpatan-umpatan khas anak lelaki. Salah satu di antara mereka membuatku tertegun.

Jantungku berpacu. Perasaan hangat melihat pemuda berambut cokelat eboni itu kembali hadir. Tetapi hatiku yang utuh jadi retak mendengar perbincangannya dengan sang sahabat.

Mengapa... mengapa aku harus mengharapkannya? Ia telah bertunangan dengan seorang gadis. Mikasa Ackerman? Siapa yang tak kenal dia?

Mahasiswi FK itu terkenal dengan kejeniusan dan kecantikannya, ia kini berstatus sebagai seorang dokter yang maju di garda terdepan merawat pasien-pasien terinfeksi corona. Kudengar ia adalah dokter spesialis paru-paru, makanya sangat sibuk di rumah sakit.

Begitu ya.

Berdiri, aku kembali ke kelas dan tidur. Semangatku telah hilang bersamaan hatiku yang patah. Dalam keheningan aku terisak, mengeluarkan sesak dan beban yang menghantam hatiku dalam waktu yang cepat.

Bodoh.

Mengapa aku justru berharap pada seseorang yang bahkan namanya tidak kuketahui?

Ia dan Mikasa dalam agama yang sama, mereka bisa terikat dengan hubungan pernikahan yang sah dalam mata negara dan terutama dalam agama.

Pertama kalinya di hidupku, aku melaksanakan salat sepertiga malam yang selalu terlewat. Dalam sujud yang panjang, aku menangis mengadu perasaanku yang hancur. Allah adalah pendengar yang baik dan memahami perasaanku tanpa aku berbicara panjang, aku menyesal baru kali ini aku menangis sambil bersujud di hadapan-Nya.

Tanganku terangkat, doa-doa panjang meniti di bibir. Sehancur apapun perasaanku, aku tetap mengembalikan keputusan terakhir pada-Nya. Jika laki-laki itu bukanlah jodohku, maka pertunangannya terus berlanjut.

Kalau ia adalah jodohku, sebentar lagi ia pasti akan masuk ke agama yang satu-satunya diridhai Allah.

Aku terus menatapnya dari jauh, dalam diam. Setiap doaku selalu terselip dirinya.

Mengapalah mencintai seseorang sampai seberat ini?

Pengorbanan cinta yang agung
Kupertaruhkan

Doaku akhirnya terjawab.

Dua tahun setelah wabah corona terangkat, laki-laki itu menikahi Mikasa. Empat tahun dari pertemuan pertama kami, aku baru tahu namanya adalah Eren Jaeger. Memang benar dia bukanlah jodohku.

Aku harus merelakannya, membuang cinta yang empat tahun kusimpan untuknya. Perasaanku sejak awal sudah salah, aku menerima konsekuensi merasakan patah hati yang teramat dahsyat.

Sebulan aku terbaring di rumah sakit dan mendapatkan makanan dari selang infus. Dalam kondisi tubuh yang tak bergerak sama sekali, aku terus mengucap istighfar. Menyadari kesalahanku yang berharap pada seorang manusia.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, Allah takkan membiarkan hamba-Nya menderita. Perlahan kondisi tubuhku pulih.

Dokter yang merawatku pun mengajukan lamaran pada orangtuaku, padahal sudah berbulan-bulan aku keluar dari rumah sakit ia baru berani setelah hampir dua belas bulan yang lalu ia merawatku.

Ajaib. Cinta sejatiku berasal dari sebuah rumah sakit tempat aku dirawat.

Meskipun belum sepenuhnya melupakan bayang-bayang Eren Jaeger dari benakku, aku mesnyukuri sosok cinta sejati yang memang diciptakan untukku. Bersama-sama dengannya, kami membangun cinta yang bukan didasarkan nafsu, melainkan cinta karena-Nya.

Tanggal 1 Ramadhan adalah tanggal yang berkesan bagiku.

1 Ramadhan adalah pertemuan pertamaku dengan Eren Jaeger. Dialah yang membuatku merasakan cinta pandangan pertama.

1 Ramadhan adalah pertemuan keduaku dengan Eren Jaeger. Hatiku mulai hancur olehnya.

1 Ramadhan adalah hari yang membuat hatiku hancur berkeping-keping mendengar pernikahan Eren Jaeger dan Mikasa Ackerman.

1 Ramadhan pula sang cinta sejati menemui orangtuaku. Awal dari akhir rasa sakit yang kutanggung sendirian karena cinta terlarang yang bertepuk sebelah tangan.

Kuharap pengalamanku ini dapat menjadi pelajaran bagi orang lain. Bahwa cinta itu tak harus memiliki, apalagi seseorang yang jelas-jelas bukan untuk kita. Hanya kepada-Nya kita mengadukan semua keluh kesah hingga timbul pencerahan yang kita butuhkan.

Tetapi selagi masih ada jalan, tak ada salahnya terus berdoa. Dan ingatlah keputusan terakhir tetap di tangan-Nya.

THE END

Hai! Aku susukadaluarsa. Aku anggota baru di grup ini, hehe. Salam kenal. Kalian boleh memanggilku Kesya atau Keyzi. Up to you

Kuharap ceritaku yang sesingkat ini dapat memberi manfaat bagi kita semua

Curhat dikit, aku agak insecure nulis ini karena tokohku lebih alim dari diriku sendiri :'). Tahajjud aja rasanya nggak pernah tapi sok-sokan banget ya bikin cerita spiritual romance. Istighfar juga seingatnya aja :')

Serius, aku bukan orang yang alim kok. Jadi jangan terlalu berharap banyak :')

Aku terinspirasi dari novel Ayat-ayat Cinta dan lagunya. Walaupun aku belum nonton filmnya sih, but Ayat-ayat Cinta telah menginspirasiku

Semoga kalian suka dan oneshot ini bermanfaat bagi kehidupan kita ^^

Have a nice day!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro