Chapter 9 : Zhongli-Guizhong (part 3/end)
Setelah hari itu, aku dan Guizhong menjalani hari layaknya pasangan baru.
Senyuman...
Pelukan hangat..
Seseorang yang selalu menyambutku pulang..
Semua hal yang bersangkut dengan kebahagiaan selalu muncul di tiap harinya.
Aku belum merasakan ada yang aneh kala itu.
Tak sedikit pun rasa sakit tampak di wajahnya.
=================
"Assalamualaikum, aku pulang."
Sepasang sepatu kulepas, kuletakkan dengan rapi dalam rak sepatu.
"Waalaikumsalam, selamat datang~"
Guizhong dengan apron biru mudanya menyapaku dari arah dapur.
Langkahku berjalan kearahnya.
Merangkul dan mengecup dahinya lembut.
"Wangi sekali." "Itu.."
Guizhong tersenyum, semangkuk sup hangat yang baru ditiriskan dari panci ditampakkan padaku.
"Tadaa~ Sup rebung favorit Zhongli."
Lensaku terbuka lebar melihatnya membuatkan makanan favoritku.
Rasanya hati ini meletup-letup karena merasa senang.
Selepas lelah setelah bekerja, seorang istri membuatkan makanan favorit suaminya. Pula membalas salamnya dan memberikan senyuman.
"Zhongli?"
Tanganku menerima semangkuk sup di tangannya. Sebentar aku mencium aromanya yang terasa begitu sedap. Lantas, aku menatap Guizhong kembali.
"Terimakasih, Guizhong."
Mungkin hanya kalimat sederhana yang bisa kuberikan padanya.
Namun kalimat itu memiliki makna yang begitu dalam dariku.
Guizhong tersenyum membalasku. Lensanya kini melihatku dari pundak kebawah.
"Mandi dulu, ya. Aku udah siapin air hangat untukmu."
Aku mengangguk padanya, kemudian bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelahnya, aku mengganti baju dan segera ke ruang makan, dimana dirinya sudah menyiapkan peralatan makan di meja makan dengan rapi.
Kami duduk di masing-masing kursi yang menatap satu sama lain.
Bersama membaca doa sebelum makan dan menyantap hangatnya sup rebung.
Rasa yang begitu pas, suasana yang begitu damai, bersama orang terkasih yang selalu mendukung ditiap langkah kehidupan.
Nikmat apa lagi yang melebihi ini?
Sudah lebih dari cukup untukku.
Dengan lahap aku menyantap sup rebung buatannya, membuatnya tersenyum senang.
"Alhamdulillah." ucapku setelah menghabiskan sup buatannya.
Guizhong mengambil mangkuk dan peralatan yang berada diatas meja makan, berniat membawanya ke arah dapur untuk dicuci.
Tepat sebelum tangannya mengambil mangkukku, lebih dahulu tanganku mengambilnya.
"Aku bantu ya." ucapku. Dia sedikit terkejut, kemudian mengangguk lembut.
Bersama-sama kami mencuci dan merapikan alat makan juga alat masak. Setelah itu kami memilih untuk duduk santai sambil menikmati acara televisi malam hari.
Kala itu Guizhong duduk disampingku, dia yang mengambil alih remote televisi, mengarahkan ke acara favoritnya.
Sementara aku mengambil dua gelas teh hijau dari kulkas, kuletakkan diatas meja.
Lantas aku duduk di sofa bersamanya. Kedua tangan kuletakkan di pundaknya, memijatnya lembut. Melepas lelah yang ada dibenaknya.
Dia hanya diam dan menikmati pijatan yang kuberikan.
"Terimakasih untuk hari ini, Guizhong." bisikku.
Guizhong menjawab lembut, "Aku hanya melakukan yang terbaik untukmu, Zhongli."
Kepalanya kini kusandarkan di pundakku. Tanganku mengusap surainya lembut. "Aku tidak salah sudah memilihmu."
Dia melirik padaku. "Aku juga tidak salah memilihmu, Zhongli."
Tatapan kami saling terpaut, dua kata muncul dari bibirku, "Aku mencintaimu."
Dia pula menjawabku, "Aku juga mencintaimu."
Wajah kami mendekat, bibir kami hanya beberapa senti lagi akan bertemu.
Namun belum sempat hal itu terjadi, tiba-tiba Guizhong bangun dari tempatnya terduduk, dia bergegas menuju kamar mandi.
"Guizhong?" Aku berlari mengikutinya. Tapi dia lebih dulu menutup pintu tanpa membiarkanku masuk.
"Guizhong, kau tak apa?"
Tak ada balasan dari dalam.
Pikiranku mulai tercampur aduk.
Rasa khawatir menguasai hatiku.
Tanda tanya bermunculan di kepalaku.
"Guizhong?"
"Guizhong?"
Aku mengetuk pintu kamar mandi berkali-kali.
Hingga beberapa menit kemudian Guizhong muncul dari kamar mandi.
Wajahnya menunduk, seketika membuatku semakin khawatir bila sesuatu terjadi padanya.
"Zhongli..."
"Aku..."
Dia yang berbicara semilir dan terputus-putus, memompa degub jantungku.
"Ada apa, Guizhong? apa sesuatu terjadi? apa kau sakit?"
Tanganku menggenggam pundaknya.
Aku berusaha menatap rautnya yang disembunyikannya.
Wajahnya perlahan terangkat, tangannya menampakkan suatu benda.
"Aku hamil, Zhongli."
Air matanya menggenang di kelopak mata, air mata bahagianya.
Pula diriku, tak kuasa menahan rasa senang, merangkul tubuhnya.
"Alhamdulillah, ya allah. Alhamdulillah..."
Aku tak menyangka akan mendapat berita bahagia itu secepat ini.
Sesegera mungkin aku mengabarkan itu pada ayah, ibu, juga mertua.
Semua orang menangis bahagia, bagaimana tidak?
Sebentar lagi mereka akan mendapat momongan yang selalu didambakan.
Aku semakin tak bisa lepas dari Guizhong, tak ingin membiarkannya sendirian di rumah ini.
Aku mengambil cuti kerjaku untuk merawatnya.
Secepat mungkin aku mencari beberapa hal dan benda yang harus disiapkan untuk wanita yang mengandung.
Jika saja Guizhong tidak membimbingku dalam membeli barang, mungkin deposit kartu ATM-ku bisa saja habis dalam sehari.
"Zhongli, tidak baik membeli banyak barang. Allah tidak menyukai umatnya yang suka membaurkan uang." "Kita beli secukupnya, ya?"
Kalimatnya selalu mengingatkanku untuk berhemat, menahan hawa nafsuku.
Aku senang dirinya tak pernah lelah mengingatkan hal seperti itu padaku. Bersyukur rasanya, memiliki dirinya disampingku.
Sisa uang belanja selalu disimpan olehnya, digunakan untuk bersedekah ke panti asuhan atau pada yayasan untuk sedekah.
"Aku ingin kita bahagia tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat."
Kalimatnya selalu menuntunku untuk berjalan di jalannya. Jalan yang diperintahkan oleh dzat yang mengendalikan alam semesta.
======================
Sudah tujuh bulan kulalui bersamanya.
Perutnya semakin membesar.
Sering kali aku meluangkan waktu untuk mengusap dan mendengar tendangan si kecil yang dikandungnya.
Suara tawa bahagia muncul saat si kecil membalasku dengan tendangannya. Seperti dia memanggilku "papa".
Guizhong tertawa kecil melihatku yang tak sabar ingin menjadi seorang papa.
Dalam beberapa bulan, aku selalu rutin memeriksakan Guizhong ke dokter kandungan. Memastikan keadaannya dalam keadaan baik-baik saja.
Ya, baik-baik saja untuk kandungannya, tapi tidak untuknya.
Suatu hari, aku dan Guizhong tengah bersantai di rumah. Seperti biasa dia pergi ke kamar mandi, merasa mual pikirku.
Namun saat aku mengikutinya ke kamat mandi, aku melihat bercak darah keluar dari bibirnya.
Dia tidak muntah, dia terbatuk-batuk. Bahka batuknya terdengar begitu hebat.
"Zhong... li..."
Tangannya meremas dada tengah, lantas dia terjatuh dan tak sadarkan diri di pelukku.
"Guizhong? Guizhong!!"
Malam itu, tepat jam delapan malam.
Guizhong dilarikan ke unit gawat darurat.
Dokter yang memeriksanya mengatakan sesuatu padaku.
Sesuatu yang begitu buruk.
Guizhong mengidap kanker paru-paru.
Kala itu aku bertanya pada dokter, apakah Guizhong masih bisa diobati.
"Kami akan melakukan yang terbaik."
Kalimat yang sering diucap kala seorang dokter tak yakin dengan kemungkinannya.
Setelah berbicara dengan dokter, aku mengkabari semua anggota keluarga, dariku dan dari Guizhong.
Tak ada seorang pun yang tak terkejut, semuanya berniat untuk mengunjungi Guizhong secepat mungkin.
"Nak Zhongli."
"Iya, tante."
"Kamu... yang tenang, ya."
Aku terdiam sejenak.
Bagaimana aku bisa tenang kala dirinya sedang terbaring di rumah sakit?
"Insyaallah, Guizhong bisa sembuh. Kalau kamu panik, terus sakit, siapa yang bakal nemenin Guizhong?"
Mungkin ada benarnya.
Aku harus berusaha lebih tenang.
Aku harus tetap berdoa yang terbaik untuknya.
"Iya tante, terimakasih untuk dukungannya. Semoga allah menyembuhkan Guizhong."
Setelah menelfon tante, aku kembali ke ruang Guizhong.
Dia berbaring diatas kasur putih dengan wajah yang menghadap ke langit-langit.
Setengah wajahnya tertutup alat bantu bernafas, jarum infus tertusuk di punggung tangan kirinya.
Kursi didekatnya kutarik, kursi yang biasa kugunakan untuk menemaninya yang kini berbaring tak berdaya.
"Guizhong."
Dia menoleh.
"Kenapa..."
"Kenapa kau tidak memberitahuku lebih awal?"
Tatapannya diturunkan, dia kembali menatap langit-langit.
"Aku tidak ingin membuatmu khawatir." jawabnya semilir. "Aku tidak menyangka tubuhku serapuh ini."
Tangannya mengusap perutnya yang masih mengandung sebuah janin.
"Aku ingin membawa kebahagiaan untukmu."
Hatiku gentar mendengarnya, keinginannya begitu mulia.
Namun nasib tak berpihak pada dirinya.
Tangan kirinya kugenggam.
"Kehadiranmu saja sudah kebahagiaan untukku."
Airmataku mulai mengalir.
"Aku, aku tidak tau harus bagaimana jika kau tiada."
Suaraku bergetar, kesedihan dan rasa takut kehilangan tampak begitu jelas.
Guizhong mengerutkan alisnya, kepalanya menggeleng perlahan.
"Zhongli... aku–"
Bibirnya ingin berkata, namun kembali tertutup.
"Walau aku, mungkin tidak bisa bersamamu."
"Pasti, pasti ada seseorang yang bisa bersama denganmu, Zhongli."
"Lihat? dia menendang. Dia mendengarmu sebagai seorang papa."
Airmatanya ikut menggenang sama sepertiku.
Aku tau dia berniat untuk menghibur, tapi entah kenapa itu tak berhasil untukku.
Dekapan kuberikan padanya, merangkul tubuhnya yang rapuh.
Tak ada sepatah kata yang bisa kuucap.
Terlalu menyedihkan jika diungkap.
Pundaknya menjadi tempatku menumpahkan perih dalam dada.
Kesepian dalam jiwa.
Kesunyian kehidupan.
Memoriku berputar kembali pada perkataan dokter, bahwa tiga lagi Guizhong akan menjalani masa operasi.
Kecil kemungkinan operasi berhasil, dikarenakan tubuh Guizhong yang lemah.
Jikalau operasi gagal, dokter akan berusaha untuk menyelamatkan janin di perutnya.
Aku tak bisa melakukan apapun selain berdoa pada yang kuasa untuk keselamatan Guizhong.
================
Beberapa jam sebelum operasi, kuhabiskan sebagian besar waktuku disampingnya.
Tak ingin rasanya meninggalkan dirinya sendirian.
Kala itu saat aku berbincang dengan Guizhong dan dia berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
Tiba-tiba saja handphoneku berdering, nama atasanku muncul di layarnya.
"Halo?"
"..."
"Apa?!"
Guizhong menatapku bingung, dia memiringkan kepalanya, seperti bertanya 'ada apa?'.
Aku menggigit ujung bibir, kemudian segera mengakhiri telfonku.
"Tempatku bekerja.."
Aku menjelaskan pada Guizhong bahwa suatu masalah besar telah menimpa perusahaan tempatku bekerja.
Mereka menginginkanku untuk segera datang agar bisa menyelesaikan masalah itu.
"Pergilah, Zhongli.."
"Jangan bercanda!!"
Nada suaraku tiba-tiba meninggi.
Tekanan darahku seketika memuncak.
"Aku tidak mungkin meninggalkanmu!–"
Guizhong menggenggam tanganku.
"Allah menemaniku. Kau tidak perlu khawatir.."
Senyum tipis tampak di wajahnya.
Kepalanya dimiringkan.
"Pergilah, jangan lupakan tanggungjawabmu, Zhongli."
"Aku akan baik-baik saja, insyallah.."
Tarikan nafas..
Hembusan...
Aku tak bisa menolak perintahnya.
Wajah kudekatkan dahinya, mengecup lembut.
"Aku akan kembali, Guizhong."
Dia mengangguk.
Lantas aku mau tidak mau meninggalkannya, memenuhi tanggungjawabku sebagai ketua perusahaan.
==============
Aku percaya semua akan baik-baik saja, sesuai katanya.
Aku percaya semua berjalan lancar,
karena aku percaya padanya.
Aku percaya.
Aku percaya.
Aku percaya.
Aku percaya kau akan kembali...
Tapi kenapa?
=================
Bulan Juni, malam hari, tepatnya di depan ruang terakhir aku bertemu denganmu.
Kumpulan manusia menangis di depan pintu, termasuk ayah dan ibumu.
Kasur dengan seorang wanita diatasnya, yang sudah tertutup kain yang sama putihnya dengan warna kasurnya.
Suara roda kasur itu menggema sampai ujung lorong, bergerak menuju kamar mayat, tempatmu untuk beristirahat.
Layar handphoneku menyala dalam genggaman tangan.
Menampakkan surat dokter yang mengatakan bahwa bayi dalam kandunganmu tak bisa diselamatkan.
Surat kedua muncul di layar handphoneku.
Perusahaan dinyatakan bangkrut karena hutangnya yang menumpuk.
Banyak karyawan di PHK.
Tak ada satupun yang tersisa.
Surat terakhir datang juga.
Berita tentang kecelakaan pesawat terbang dimana ayah dan ibuku berada didalamnya saat perjalanan kemari.
Tak ada seorang korban yang selamat, mayatnya tenggelam, belum ada yang ditemukan.
Apa semua berakhir begini?
Kemana hilangnya "baik-baik saja"?
Kemana kata "aku akan kembali"?
================
Hujan...
Jalanan yang basah...
Tapak kaki yang bergerak entah kemana...
Hanya ada kehampaan yang kurasakan.
Tak ada seorang tersayang yang tersisa.
Harta sekalipun..
Kakiku berjalan menuju gang kecil, entah apa yang membuatku berjalan kesana.
Mungkin suara rengekan kecil yang berasal dari dalam suatu kardus.
"Uweee."
"Uweee."
Aku tak bisa mengabaikannya.
Kala itu aku bertemu dengan seorang bayi yang ditinggal begitu saja dalam dinginnya musim hujan.
Tak ada seorang pun disampingnya.
Hanya dia seorang diri, menangis meminta tolong.
Kedinginan dalam kesunyian gang kecil.
"Jangan menangis, anak baik. Aku akan membawamu. Aku akan menjagamu seumur hidupku."
Janji yang kusematkan padamu.
Adalah janjiku pada Guizhong yang pergi meninggalkanku.
Mungkin dia ada benarnya.
Mungkin ini kebahagiaan yang dimaksudnya.
Seseorang yang akan ada di sampingku..
Xiao
=================
Present's POV
"Begitu kisahnya."
"Kisah dimana aku-Guizhong bertemu, kemudian saling mengatakan selamat tinggal.."
"Dan bertemu dengan seorang anak yang sama kesepiannya denganku, Xiao."
"Bagaimana–eh?"
Aku melihat anak-anak yang mendengar ceritaku, meneteskan airmatanya–bukan, lantai masjid sudah basah duluan karena mereka.
"A–abah..."
Bennett menangis kencang.
"Lazow shedihh.. hiks.."
Diikuti Razor.
Xingqiu berpelukan dengan Chongyun.
Sementara Xiao...
Menundukkan kepalanya, tangannya mengepal kuat.
"Abah!"
Kini dia menatapku, tangan kanannya diletakkan di dadanya.
"Xiao tidak akan meninggalkan abah!"
"Xiao janji, Xiao akan tetap disamping abah!"
"Xiao akan jaga kesehatan, agar abah tidak khawatir dengan Xiao."
Dia memelukku erat, seperti tak ingin meninggalkanku.
Aku pula, membalas pelukannya.
Tanpa sadar meneteskan airmata.
"Iya."
"Abah juga akan merawat Xiao dengan baik."
Setelah agak lama, akhirnya Xiao melepas pelukannya dariku.
Ternyata dia juga menangis dipundakku.
Jadi mengingatkanku dengan masalalu...
"Hari ini abah mau takziah ke makam Guizhong. Xiao mau ikut?"
"Eh? Bukannya di luar negeri?" tanyanya dengan alis terangkat sebelah.
Aku tertawa mendengarnya, "Sudah dipindahkan, sekarang makamnya ada di makam umum dekat kampung."
"Xiao ikut." ucapnya mantap.
"Baiklah, kalau begitu abah permisi dulu ya, anak-anak. Assalamualaikum."
Aku berpamitan pada anak-anak yang menjadi korban cerita menyedihkanku.
Lantas aku dan Xiao berjalan–ah, bukan, Childe sudah menawarkanku untuk masuk ke mobilnya duluan.
Dia bilang dia yang ingin mengantarku kesana.
Sesampainya, aku berjalan ke arah makam tempatnya beristirahat.
Kuusap permukaan nisannya yang bertuliskan namanya.
"Assalamualaikum, Guizhong."
Mungkin benar katamu...
Seseorang akan disampingku..
Tidak, mungkin dua orang untuk sekarang.
Xiao dan Childe.
"Semoga allah menempatkanmu di surga."
"Dan semoga kau bahagia disana."
"Karena aku pun..."
"Bahagia disini."
===================
Ending song :
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro