Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 : Zhongli-Ghuizong (bagian 2)

Eropa..

Benar, negara empat musim itu.

Negara yang kini terselimuti salju, mewarnai jalanannya dengan warna putihnya yang suci nan anggun.

Aku bisa melihat landasan dari arah jendela. Berpikir bahwa tak lama lagi pesawat turun untuk beristirahat.

Tatapan kini kuarahkan kearah dirinya yang tertidur pulas, menyandar di pundakku.

Jari telunjuk kuusap lembut di pipinya, "Guizhong, bangun. Kita sudah sampai.", ucapku lembut.

Guizhong membuka matanya perlahan, dia mengangkat kepalanya, kemudian melihat sekitar untuk mengembalikan kesadarannya.

"Kita.. sudah sampai eropa?"

Aku mengangguk padanya.

"Benar, kita sudah di Eropa."

Guizhong mengucap kata syukur dari bibirnya, mengetahui bahwa pesawat mendarat dengan selamat.

Beberapa saat kami masih duduk di tempat sambil menunggu pesawat benar-benar berhenti bergerak.
Setelah pramugari berkata bahwa pesawat berhasil mendarat dengan baik, barulah kami mengambil barang-barang dan bergerak keluar dari pesawat.

Benar saja, saat kami hendak menginjak bagian luar bandara. Nuansa udara dingin sudah menyambut di depan mata.

"Kita naik taxi?", tanyaku pada Guizhong.

Wanita itu hanya mengangguk. Sesaat setelahnya, aku memesan sebuah taxi yang akan membawa kami menuju tempat penginapan.

=================

Tak lama, sampai juga kami ke apartemen yang dituju. Setidaknya cukup luas untuk dua orang.

Guizhong langsung bergerak menuju balkon, melihat betapa indahnya pemandangan kota kala malam hari tiba.

Aku berjalan ke arahnya, lantas berdiri di sampingnya. Manikku melirik ke arah dimana maniknya melihat.

"Tempat yang indah."ucapku.

"Benar.", jawabnya. Wajahnya kini menatapku, "Kita akan membuat sejarah kita disini."

Aku tersenyum padanya, lantas kami terlibat dalam pelukan hangat kala musim dingin memeluk kota ini.

"Oh ya, Zhongli. Barangnya.." Guizhong melepas pelukanku, dia melirik ke arah koper yang sama sekali belum terbuka.

"Aku saja." Aku berniat untuk melakukan itu untuknya, tapi bukan Guizhong kalau tidak melarangku melakukan hal apapun sendiri.

"Ti-dak-bo-leh." ucapnya dengan suara yang putus-putus.

Tawa kecil muncul dari bibirku, "Kalau bersama?". Guizhong tersenyum, "Boleh."

Kami berdua kemudian merapikan barang-barang bersama.
Setelahnya, kami bersiap-siap untuk tidur. Dikarenakan besok sudah waktu bagiku dan dirinya untuk melanjutkan pendidikan S2 kami.

Bersama-sama kami membaringkan tubuh yang terasa pegal diatas kasur queen bed.

Tidak, tidak, kami tidak melakukan hal-hal aneh. Karena perjanjian taaruf membatasi kami agar menjauh dari perbuatan maksiat. Dan lebib mengedepankan pengeratan tali silaturahmi antar dua belah pihak.

"Zhongli." Guizhong memanggilku sebelum aku sempat menutup mata.

"Ada apa?", jawabku.

Dia hanya menatapku sebentar, kemudian berkata, "Selamat malam."
Matanya tertutup perlahan.

Tatapanku melembut, senyum tipis muncul di bibir. "Selamat malam, Guizhong."

Tak lama kami berdua terlelap dalam tidur, bertemu dalam mimpi, berjalan bersama dalam alam bawah sadar.

=================

"Buku sudah bawa?"

"Uh huh."

"Dompet?"

"Masuk."

"Handphone."

"Sudah 100%."

Guizhong memeriksa segala benda yang akan kubawa. Kami berniat untuk berangkat bersama dan dia tak ingin aku melupakan barang-barangku.
Dia tau jelas kalau aku mudah melupakan hal-hal sepele, contohnya saja dompet.

"Sudah semua.", ucapku padanya. Namun itu tak menghilangkan alis kanannya yang masih terangkat.

"Ada apa? apa aku melupakan sesuatu?", tanyaku. "Yap, hanya satu.", jawabnya.

Syal berwarna merah dikalungkan di leherku, dengan lembut dia membuat simpul.

"Sekarang sudah lengkap." kini dia tersenyum, tentu kubalas kembali.

"Sekarang kita berangkat?", tanyaku. Dia mengangguk sebagai jawaban. Kami berdua kemudian berjalan sambil bergandengan menuju lantai dasar, kemudian berjalan ke arah kampus kami berada.

Belajar hal baru,
berbagi momen di tiap waktu,
bersama dirinya yang ada selalu.

Guizhong sudah seperti teman hidupku kala itu.
Dimanapun kami berada, hanya ada kebahagiaan di dalamnya.
Bahkan kesedihan tak terasa, hanyut dalam kehangatannya begitu saja.

Hidupku terasa begitu lengkap, begitu sempurna. Bahkan aku pun tak sungkan menampakkan sisi lemahku padanya.

Contohnya saja kala itu, saat aku tak yakin untuk menampilkan hasil karya tulisan tangan pada audiens.
Ini kali pertama aku menyatakan pada orang asing.

Dengan nada lembut dan suportif, Guizhong menepuk pundakku lembut.

"Jangan ragu, Zhongli. Allah akan selalu ada disampingmu. Sementara aku akan mendoakan kesuksesanmu."

"Ucapkan bismillahirrahmanirrahim."

Aku mengikuti kata-katanya, kemudian mulai berjalan menaiki panggung. Menatap ke arah audiens yang hampir mencapai dua ribu orang saat itu.

Tarikan nafas perlahan, mata kupejamkan sejenak, diikuti kata bismillah yang dia katakan.

"Bismillahirrahmanirrahim." ucapku semilir, kemudia membuka mata perlahan.

Seketika detak jantungku terasa tenang, lisanku diperlancar, bahkan aku tampak begitu aktif diatas panggung.

Ternyata hanya dengan kalimat sesimpel itu, dia sang pencipta kehidupan memberikan hidayahnya pada hambanya yang membutuhkan.
Sungguh dzat yang maha pemurah dan maha penolong.

Ribuan tepuk tangan menjadi penutup acara hari itu. Semua berjalan lancar, bahkan hasilnya melebihi ekspetasi.

Aku berjalan ke arah balik panggung, dimana para teman dan dosenku menyambut juga memberi selamat atas keberhasilanku.

"Congratulations, Zhongli. I know you can do it."  Sang dosen menepuk pundakku setelah memujiku.

"That's the most awesome event I ever had! Would you mind to teach me later, Zhongli?" Ucap juniorku yang menginginkanku untuk mengajarinya.

"Thankyou everyone. I only do my best, all thanks to Allah."  jawabku pada mereka.

Mataku kemudian melirik ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yang sedang kucari.

"Did anyone see Guizhong?" tanyaku pada mereka.

"Guizhong? Oh, I see her standing there. Eh? where is she?" Bahkan juniorku bertanya-tanya kemana wanita itu pergi.

Hatiku mulai merasakan firasat buruk, takut akan kehilangan dirinya. Secepat mungkin aku berpamitan dengan semuanya dan pergi mencari dirinya.

Aku sudah mencari di area lobby dan sekitar balik panggung, tapi tak juga menemukan sosoknya.
Kakiku kembali mencarinya kesana kemari, berharap wanita itu memunculkan sosoknya.

"Zhongli?"

Suara familiar terdengar, tepat saat aku berjalan melewati toilet wanita.

"Guizhong." Aku memeluknya erat. Guizhong membalas pelukanku, dia mengusap suraiku lembut, "Ada Apa Zhongli? kau tampak khawatir."

Peluk kulepas perlahan, kini aku menatap dirinya, "Aku khawatir saat kau tiba-tiba menghilang."

Lensa Guizhong melebar, lantas dia tersenyum, "Aku tidak kemana-mana, Zhongli. Hanya ada keperluan yang mendadak, makanya aku pergi ke toilet."

"Begitu ya." hela nafas berhembus dari mulutku, melepas rasa khawatirku.

"Oh ya, penampilanmu tadi." Guizhong melanjutkan kata-katanya.

"Ya, semua berjalan dengan lancar." Balasku.

Guizhong tersenyum manis padaku, "Aku bangga padamu, Zhongli!"

Kini lensaku yang melebar, "Terimakasih, Guizhong."

"Tanpa doamu..."

"Aku tak bisa melewati masa-masa sulit itu sendiri."

Guizhong mengangguk lembut. "Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kita jalan-jalan?"  "Aku melihat ada toko yang bagus untuk dikunjungi, lho."

Aku hanya mengangguk padanya, "Tentu, kemanapun itu." Lantas Guizhong menggenggam tanganku, menggiringku ke tempat yang dia maksud.

Sebuah toko yang menjual barang-barang antik. Banyak sekali benda yang tampak begitu berbeda dengan benda yang diproduksi di masa sekarang.

"Zhongli, lihat ini." Guizhong menunjukkan kalung frame foto padaku.

Kalung berwarna putih yang berukir simbol bunga di bagian tengah.
Dimana dibagian dalam kalung itu bisa diletakkan satu atau dua foto.

"Indah sekali." ucapku semilir.

"Benar, kan?"

Tanpa basa-basi aku menghampiri pemilik toko itu.

"Excuse me, sir. How muchis this?"

"E-eh, Zhongli. Aku hanya melihat-lihat. Kau tidak perlu–"

Belum selesai Guizhong melanjutkan kalimatnya, lebih dahulu aku selesai bertransaksi dengan pemilik toko.

Setelah mendapat kalung itu, aku mengkalungkannya pada leher Guizhong.

"Sudah kuduga.."

"Cocok denganmu."

Pipi Guizhong bersemu, maniknya menatap ke arah kalung itu berada.

"Zhongli.." ucapnya semilir. "Terimakasih." lensa miliknya berkaca-kaca saat mengatakan itu.

Aku hanya tersenyum, lantas mengganti topik. "Kira-kira foto apa yang cocok diletakkan didalamnya?"

Guizhong tentu sudah menemukannya, jawaban tentang foto apa yang akan disematkannya didalam sana.

===================

Waktu demi waktu,
hari demi hari,
bahkan bulan juga tahun tak teras berlalu.

Aku dan Guizhong berhasil melewati masa taaruf dengan lancar.
Kami menggelar pernikahan kami di Eropa, mengundang keluarga Guizhong, keluargaku dan beberapa teman kuliah ke acara itu.

Guizhong yang didandan rapi,
gaun putih yang menghiasnya,
pula hijab panjang yang menambah keanggunan dirinya.

Sosok terindah itu muncul dalam hidupku, berjalan di setiap tapakan kakiku, membimbingku ke jalan yang sesuai dengan ajaran nabi utusan Allah.

"Saya nikahkan dan kawinkan ananda Zhongli bin Morax dengan Guizhong binti Dihua dengan maskawin berupa seperangkat alat sholat berkisar dua juta, tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Guizhong binti Dihua dengan maskawin dibayar tunai."

"Sah?"

"SAH!!" (author ikut ngeramein)

Setelah pengucapan ijab jabul selesai, Guizhong mencium punggung tanganku.
Dari sinilah, sejarah yang berarti dalam hidup kami dimulai.

===================
To be continued
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Halo semuanya!

Terimakasih sudah bersabar menunggu kelanjutan FF Genshin Impact ramadhan mubarak ini.

Mohon maaf, author sedang sibuk-sibuknya ngurus kuliah.
Jadi telat banget updatenya Q_Q

Walau ramadhan akan berakhir dalam waktu dekat. Author berinisiatif untuk terus melanjutkan FF ini sampai akhir cerita.

Jadi jangan kira akan berakhir walau hari raya sudah dekat!

Oke deh, sampai sini dulu.
Nantikan kelanjutan chapter selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro