Chapter 7 : Zhongli-Guizhong (bagian 1)
Beberapa hari setelah kepulihan Xiao.
Anak itu kini bisa beraktivitas seperti biasa lagi.
Kembali berkunjung ke masjid teyvat ataupun bertemu orang sekitar.
Saat itu dia sedang duduk bersama Bennett, Razor, Chongyun dan Xingqiu yang sedang membicarakan sesuatu.
"Aku sampai nggak tega ngelihat Abah Zhongli murung terus pas Xiao dirawat di rumah sakit." Bennett membuka pembicaraan.
"Sama. Malah nggak tau harus ngapain biar abah nggak sedih-sedih amat." Ucap Xingqiu. "Razor malah nangis."
"Razor. sedih."
"Mungkin abah sangat menyayangi Xiao, nggak pengen Xiao kenapa-napa." Chongyun mulai angkat bicara.
"Hmm, bener sih. Kayaknya aku denger abah kayak nyebut nama siapa gitu. Pokoknya dia nggak mau Xiao berakhir kayak orang itu." Seperti biasa indra pendengaran Xingqiu selalu lebih tajam dari siapapun.
"Orang?" Bennett mulai berpikir siapa nama orang itu. "Emang abah pernah sama orang lain sebelum sama Xiao?"
"Pernah." Xiao menjawab.
"Eh?! Siapa? siapa?" Mata Bennett terbuka lebar, menunjukkan rasa penasarannya.
Xiao menggeram sedikit, dia merasa hal seperti ini bukan hal yang mudah untuk dikatakan.
"Namanya-"
"Assalamualaikum semuanya."
Semua terkejut saat mendapati seseorang yang baru dibicarakan muncul.
"WAAA!!" Seperti biasa Bennett selalu yang paling heboh. Sementara itu Razor buru-buru sembunyi di balik Chongyun karena dikejutkan teriakan Bennett. Chongyun dan Xingqiu justru tetap bersikap tenang dan membalas salam Abah Zhongli.
"Waalaikumsalam, bah. Tumben, bah, datang ke masjid jam segini. Biasanya jalan-jalan sama Mas Tatang." Ucap Xingqiu.
Abah Zhongli tersenyum, "Mas Tatang hari ini lagi ada urusan di rumah orang tuanya."
"Ooh, nyari restu?"
"Ahaha, bukan, bukan. Acara keluarga katanya." Abah Zhongli tertawa kecil. "Kalian sedang membicarakan apa? Sepertinya asik sekali."
"I-itu bah." Xiao tampak sedikit bingung bagaimana mengucapkannya.
Zhongli mengedipkan kedua matanya, menunggu Xiao untuk mengucapkannya dengan jelas.
Hembus nafas berat keluar dari milut Xiao, mulutnya bergerak perlahan. "Almarhumah Tante Guizhong,bah..."
Zhongli terdiam sejenak, kemudian dia menatap anak-anak dan tersenyum tipis.
"Kalian mau mendengar cerita tentang Guizhong?"
Xingqiu sempat ingin mengangguk, tapi lebih dahulu Chongyun berbicara.
"Nggak usah, bah. Nggak perlu maksain diri buat cerita."
Zhongli menurunkan pandangannya, lantas dia duduk di antara mereka.
"Abah bisa cerita kalau kalian mau mendengarkan."
"Nggak apa, bah?" Xiao bertanya, dia takut Abahnya tersakiti karena mengingat masa lalu.
"Abah ingin belajar mengikhlaskan, Xiao."
Kepala Xiao mengangguk pelan, dia membiarkan Zhongli.
"Baiklah, darimana aku harus bercerita untuk kalian?"
"Dari awal ketemu!" ucap Xingqiu lantang.
Zhongli tersenyum tipis, "Kalau begitu sejak hari itu...."
====================
Zhongli's POV
Kala itu, pertama kalinya aku menapakkan kaki di universitas yang kuidamkan.
Universitas yang terkenal akan lulusannya berprestasi dan selalu diutus untuk belajar ke luar negeri.
Jurusan sejarah, mata kuliah yang saat itu menjadi bakat dan minatku sejak masih kecil.
Ayah dan Ibu bahkan berkata kalau aku begitu berpotensi menjadi seorang sejarahwan suatu hari nanti.
Harapan mereka selalu menjadi semangat dalam diri untuk terus melaju ke tempat tertinggi.
Sampai melupakan hal begitu penting yang harus diperjuangkan di dunia fana ini.
Hingga aku bertemu dengannya...
Sosok wanita yang membuka mata hatiku.
Melepasku dari kebuataan keinginan duniawi yang bersifat sementara.
Dan nama wanita itu...
.
.
.
.
.
.
.
.
"Zhongli!" Suara melengking nan lembut memanggil namaku.
Seorang wanita bersurai lurus panjang yang mengenakan baju yang membuatnya tampak begitu elegan namun sederhana. Tas kecil selempang menggantung di pundaknya.
Wanita itu agak berlari ke arahku.
Menyapaku dengan lambaian tangannya.
"Kamu?" Alis sebelahku terangkat melihat sosok yang sebelumnya belum pernah kukenal.
"Eh? Kamu nggak tau aku?" Wanita itu tampak terkejut juga tidak terima. "Hmm, aku perlu kenalan sama kamu lagi?"
"Mungkin?" Jawabku singkat. Wanita itu meletakkan tiga ujung jarinya di depan bibir, kemudian dia tertawa kecil.
"Baiklah kalau begitu." Tangannya diberikan padaku. "Namaku Guizhong, kelas kita sebelahan lho dulu." "Salam kenal, ya."
Aku meraih tangannya tanpa berpikir panjang. "Ya, salam kenal, Guizhong." Dia tersenyum saat aku memanggil namanya.
"Sebentar lagi ada kelas pengganti historiografi. Maaf ya, aku duluan." Belum sempat aku berjalan jauh darinya, tiba-tiba tanganku ditangkapnya.
"Eh, mau kemana? sholat dhuhur dulu! udah jam 12 lho."
Aku meliriknya, "Harus banget sholat? Nanti kalau terlambat kelas gimana?"
Dia menggelengkan kepala, "Sholat nomer satu. Nanti bisa alasan ke dosen kalau kita telat."
"Tapi-"
"Kita kan sekelas, nanti aku bantu deh buat bilang ke dosennya. Dah, yuk!" Wanita itu menarik tanganku begitu saja. Pada akhirnya aku menyerah dan mengikutinya sampai ke masjid kampus. Disana kami melaksanakan sholat dhuhur-yang tidak biasa kulakukan.
Setelah melaksanakan sholat, aku dengan dirinya berjalan menuju gedung fakultas.
Benar saja saat sampai di ruang kelas, dosen kami seketika naik darah saat melihat kami berdua datang terlambat.
Aku yang saat itu bingung bagaimana menjelaskan, dengan percaya dirinya, Guizhong berjalan maju.
"Mohon maaf, pak. Kami baru saja sholat dhuhur. Tidak baik untuk menunda panggilan sholat. Kami mohon maaf atas keterlambatan kami."
Entah keajaiban apa yang dibuatnya, dosen yang biasa disebut dosen terkenal killer itu seketika luluh hatinya. Dia memaafkan kami dan menyuruh kami untuk segera duduk mengikuti pelajarannya.
Masih belum berakhir, saat itu aku selesai mengerjakan suatu project dengan Guizhong. Kebetulan kami berada di kelompok yang sama.
Saat itu matahari sudah terbenam, suara panggilan sholat pun menggema di sekitar kampus.
"Udahan ya, aku harus pulang. Orang tuaku habis ini ada acara."
Sekali lagi dia menahan langkahku.
Kini dia berdiri di depanku saat aku baru saja bangkit dari kursi wifi corner.
Dua tangannya diletakkan di pinggang, dia menatapku kesal. "Zhongli, kamu lupa lagi?"
Aku mengerutkan alisku, "Apa?". Dia menghembuskan nafasnya, kemudian memutar tubuhku ke arah masjid kampus.
"Sho.lat." Dia mendorong-dorong punggungku, memaksaku untuk bergerak ke tempat agama itu.
"Tapi aku ada acara penting."
"Bisa nanti. Cuma sebentar kok, maghrib cuma 3 rakaat."
Lagi-lagi aku tak bisa menolak. Aku hanya bisa mengikuti apa yang dia katakan.
Sebenarnya aku kesal dengannya, tapi kenapa hatiku seketika terasa dingin setelah bibir ini mengucapkan ayat-ayat suci al-qur'an kala tubuh mengikuti gerakan sholat?
Rasa penat, tumpukan emosi, juga pikiran yang tak karuan.
Semua melayang dan lepas begitu saja seperti bulu tipis yang terhembus angin semilir.
Dingin rasanya hati ini,
kedamaian yang tak berhenti,
tenang sekali hati ini.
Aku sama sekali tak menyesal bertemu dengannya.
Sosok yang membuka lebar mata hatiku.
Menyadarkanku dari hal duniawi dan lebih fokus pada hal yang akan dipertanggungjawabkan setelahnya.
Hari demi hari,
bulan demi bulan,
bahkan tahun pun terlampaui.
Mataku selalu terhenti padanya.
Hati ini selalu mencari sosoknya.
Bibir ini tak bisa berhenti memanggil namanya.
"Guizhong."
Hari itu, saat kami menginjak semester akhir. Saat tengah menyelesaikan skripsi bersama.
"Ada apa, Zhongli?" Maniknya menatapku, membuat pacu jantungku bergerak dua kali lipat.
"Setelah kuliah.." Bibirku mulai membuka, mengatakan kata pertamanya. "Kau ingin pergi kemana?"
Guizhong terdiam sejenak, pandangannya kini diangkat ke atas.
"Aku ingin mengambil beasiswa keluar negeri, Zhongli. Aku ingin melanjutkan kuliahku di negara lain."
"Dimana itu?"
"Eropa."
Kini aku yang terdiam mendengarnya.
"Zhongli? apa ada masalah?" Dia menatapku dan mengerutkan dua alisnya. Dia mengusap lembut pipi kananku. Menyadarkanku dari lamunan sementara.
"Guizhong." Tangan yang mengusap pipi itu kugenggam. Kini aku menatap maniknya dalam-dalam.
"Aku suka padamu." "Aku ingin menemanimu ke eropa." "Aku ingin lebih banyak mengenal agama darimu, Ghuizhong." Rentetan kalimat keluar dari mulutku tentu mengejutkan dirinya.
"Bolehkah?" tanyaku semilir padanya.
Wanita itu termenung, wajahnya diturunkan, dia seperti bingung ingin menjawab apa. Lantas dia mengangkat wajahnya yang begitu indah berhias senyum manis dan warna merah semu di pipinya.
Dia mengangguk padaku dengan manik yang tampak mengkilap karena airmata.
"Kau boleh mengikutiku sampai ke Eropa, Zhongli."
"Aku akan mengajarimu tentang agama lebih baik lagi. Kita akan belajar lagi bersama."
Dua orang insan diselimuti perasaan bahagia akan perasaan cinta yang tumbuh dalam hati mereka.
Dua insan berjanji untuk terus bersama dan seterusnya.
Memutuskan untuk tidak meninggalkan genggaman tangan satu sama lain.
Waktu melayang begitu cepat.
Hari itu, aku sudah mendapat izin untuk pergi ke Eropa bersama Guizhong.
Dirinya sudah siap dengan pakaian tebalnya. Kudengar Eropa sedang mengalami musim dinginnya saat ini.
Maka dari itu. Begitu pula denganku, sudah siaga dengan pakaian tebal sebelum berangkat kesana.
"Sudah pamit papa mama?" Guizhong bertanya padaku saat kami sedang duduk bersampingan di ruang tunggu bandara.
Aku mengangguk, "Aku sudah mencium tangan mereka dan meminta doa untukku."
Guizhong tersenyum, dia menyandarkan kepalanya di pundakku.
"Zhongli.."
"Ya?" Jawabku singkat.
"Semoga taaruf kita berjalan lancar."
Lensaku melembut seketika. "Bismillah, kita bisa melewati ini bersama."
Tangan kanannya kugenggam lembut. Sambil saling bersandar, menunggu pesawat yang betujuan ke eropa datang menjemput.
==================
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro