Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6 : Perjuangan Xiao

Bebarapa hari setelah kedatangan tamu yang tak diduga itu.
Xiao merasa dadanya semakin sesak dari sebelumnya.

Semakin sering dia terbatuk dengan darah yang ikut keluar dari mulutnya.

Apa ini akhir darinya? pikirnya begitu.
Namun Abah Zhongli selalu memberinya semangat dan dukungan, agar dirinya tidak menyerah.

Terkadang rasa bersalah menguasainya.
Dia tau kenyataan tentang dirinya.
Bagaimana orang tua kandungnya tak menginginkan kehadirannya.
Orang-orang sekitar begitu takut mendekatinya kala itu.
Ditambah lagi penyakitnya yang tampak menakutkan di mata orang lain.

Kenapa hidup memperlakukannya begitu?
Apa semua ini ada maksudnya?
Tapi apa?
Pikiran yang selalu memutari kepala Xiao.

Suatu hari, Abah Zhongli tidak berada di rumah. Beliau sedang mendatangi suatu rapat rutin di masjid.

Kala itu Xiao berniat untuk lepas dari tempatnya berbaring. Dia mencoba itu melangkah keluar dari rumahnya dan pergi ke masjid Teyvat hanya untuk memeriksa keadaan.

Saat kakinya berjalan di sekitar jalanan kampung teyvat, Di melihat sekitar.

Orang-orang berbincang dengan rukun.
Beberapa anak kecil yang bahagia bermain dengan temannya.
Para pedagang kecil yang menjual barang-barangnya pada ibu-ibu kampung.
Kampung itu tampak begitu hidup dalam kedamaian.
Membawa rasa nyaman pada setiap penduduk disana.

"Iya iya, aku yang tadarus. Tapi jangan lupa traktir takjil nanti." Suara seseorang tampak menggema dari mikrofon masjid.
Suara yang begitu dikenal dan begitu dinantikan oleh Xiao, suara milik Venti.

Hampir di setiap minggu pagi, Venti ditugaskan untuk membaca beberapa ayat al-quran.
Suaranya tampak begitu lembut dan merdu. Walaupun sifat Venti tidak seindah suaranya, citra Venti di mata warga masih dipandang baik.

"A'udzu billahi minasy syaithaanir rajiim. Bismillahirrohmanirohim."

"A lam nasylroh laka shodrok"
[Bukankah kami melapangkan dadamu?]

"Wa wadho'naa 'angka wizrok"
[Dan kami pun telah menurunkan beban darimu,]

"Allazii angqodho zhohrok"
[yang memberatkan punggungmu,]

"Wa rofa'naa laka zikrok"
[dan kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu]

"Fa inna ma'al-'usri yusroo"
[Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan]

"Inna ma'al-'usri yusroo"
[Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan]

"Fa izza faroghta fangshob"
[Maka apabila engkau telah selesai(dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras(untuk urusan lain)]

"Wa ilaa robbika farghob"
[Dan hanya kepada Tuhanmu lah, engkau berharap.]

Surat al-insyirah ayat pertama sampai ayat delapan. Surat yang berisi tentang kelapangan dalam menghadapi suatu kejadian.

Xiao kembali mengingat dirinya.
Benar juga, pikirnya.
Dia tidak boleh menyerah, pasti ada sesuatu yang baik dibalik semua itu.

Dengan senyum tipis di wajah, dia kembali berjalan menyusuri jalan kampung teyvat.
Hingga dirinya tak sanggup lagi menahan rasa sakit di dadanya.
Sekali lagi, dia terjatuh dan tak sadarkan diri.

==================

Zhongli's POV

Alhamdulillah, rapat masjid selesai juga. Aku agak merasa bersalah karena harus meninggalkan Xiao sendiri di rumah.
Tapi rapat ini juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Renovasi lantai dua masjid teyvat dengan bantuan dana dari mas tatang.
Aku tidak menyangka harus ikut mencari ide untuk mendesain bagian lantai dua sedemikian rupa.

Langkah kakiku berjalan ke rumah, kemudian mengetuk pintu dan mengucap salam.

"Assalamualaikum."

Tak ada suara dari dalam rumah.
Sekali lagi aku mengetuk pintu.

"Assalamualaikum, Xiao, ini abah."

Tetap saja sunyi.

"Apa jangan-jangan.."

Aku membuka kenop pintu perlahan Benar perkiraanku, tidak terkunci!

Dengan perasaan khawatir, aku mencari Xiao di seluruh ruangan.
Entah ruang makan, ruang tamu, ruangku ataupun ruangnya.
Aku tak bisa menemukan dirinya disana.

Pikiran yang tidak-tidak mulai menghantuiku.
Memacu detak jantungku dua kali lebih cepat dari biasanya.

Tepat saat itu, seseorang muncul di pintu rumahku.

"Abah!"

Seorang pria bersurai merah dengan manik yang seiras dengan surainya.

"Xiao–"

==================

Langkahku tak bisa berhenti ataupun melambatkan ritmenya.

Keringat mengalir semakin deras di keningku. Pula nafasku ikut memburu.

Berlari menuju tempat itu.
Tempat dimana aku pernah mengucap salam selamat tinggal pada orang terkasihku.

"Xiao, dimana Xiao?"

Aku bertanya pada orang-orang yang tengah duduk di kursi panjang rumah sakit.

Barbara yang tampak begitu khawatir, dengan Xiangling yang berusaha menenangkannya.

Dainsleif dengan Crepus yang menunggu diriku.

Anak-anak santri juga ada disana.
Hampir semua orang ada disana.

"Zhongli." Crepus berjalan mendekatiku, diikuti Dainsleif yang bangkit dari kursi.

"Dimana Xiao?"

"Sebentar, tenanglah dulu. Aku akan menjelaskan."

Crepus menjelaskan kejadian yang sebenarnya perlahan.
Dia bilang kalau Dainsleif saat itu melihat Xiao jatuh tak berdaya saat berjalan.
Dainsleif membawa Xiao menuju puskesmas terdekat, agar Barbara bisa mengobati Xiao, tentunya.

Tapi setelah di periksa, Barbara berkata bahwa keadaan Xiao sudah mencapai masa kritis dan harus segera dilarikan ke rumah sakit.

Sesaat setelah mencapai rumah sakit, tepatnya di unit gawat darurat, tiba-tiba Xiao mengeluarkan cukup banyak darah dari mulutnya.
Batuknya juga bukan batuk biasa lagi, anak itu tampak begitu kesakitan.

Dokter yang menangani akhirnya memutuskan untuk memberi perawatan intensif untuk Xiao.
Anak itu kini berada dalam ruang ICU.

Lensa mataku terbelalak lebar mendengarnya.
Aku tak menyangka anak itu sedang mengalami masa kritisnya.
Penyakit miliknya juga memiliki potensi untuk menariknya menjauh dariku.

Apa aku akan kehilangan seseorang lagi?

"Permisi, dengan keluarga Xiao."

Seorang pria bersurai hijau dengan stetoskop melingkar di lehernya, keluar dari ruang ICU.

"Dokter!"

Aku berlari ke arahnya.

"Bagaimana... bagaimana keadaan anak saya?"

Dokter itu menarik nafas perlahan.

"Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Xiao sedang dalam masa kritis dan kini dia sedang menjalani proses perawatan intesif."

"Apa anak saya akan baik-baik saja, dokter?"

"Kami akan melakukan yang terbaik untuknya."

"Untuk saat ini, hanya diperbolehkan satu tamu untuk berkunjung secara bergiliran." lanjutnya.

"Kalau begitu saya permisi," dia pun berlalu dariku.

Aku menatap ke arah Crepus dan Dainsleif. Mereka berdua mengangguk, memperbolehkanku untuk menjenguk anak itu lebih dahulu.

Aku berjalan memasuki ruangan itu. Kemudian menemukan dimana dirinya tengah berbaring.

Katup matanya tertutup.
Alat bantu bernafas menutupi setengah wajahnya.
Mesin pendeteksi detak jantung ada disampingnya.
Pula jarum infus menusuk punggung tangan kirinya.

Aku yang kini berdiri di sampingnya, tak kuat lagi menahan air mata.
Untuk kedua kali, aku berdiri di tempat seperti ini.
Menatap tubuh yang terbaring tak berdaya, kala diriku tak bisa apa-apa.

Kenangan kelam masalalu kembali menghantuiku.
Dimana sosok seorang wanita terbaring lemas sambil melawan kembali penyakit yang dikandungnya.

Momen terakhirku dengannya hanya sebatas ucapan terimakasih dan senyum manis di bibirnya yang pucat.
Kemudian matanya tertutup rapat dan dirinya tak pernah kembali.

"Xiao.." Tanganku meraih tangannya.

"Abah mohon, jangan tinggalkan abah." Isakan muncul di sela aku berbicara.

"Abah tidak mau ditinggalkan lagi. Abah ingin melihat Xiao tumbuh besar di samping abah."

Kepala kuturunkan, kuletakkan keningku di punggung tangannya.
Airmata tak juga berhenti.

Selang beberapa lama, barulah aku bangkit dari tempat. Kemudian pergi meninggalkannya, bergantian dengan yang lain untul menjenguknya.

Saat aku keluar dari ruang ICU.
Childe muncul di depanku.

"Abah, aku sudah urus administrasinya. Abah nggak perlu khawatir!"

Aku tersipu karenanya. "Terimakasih Mas Tatang. Sudah selalu membantu saya."

"Hehehe, bukan apa-apa, bah. Ini mah kecil harganya."

Walau dia berkata begitu, aku merasa bahwa tangannya selalu siap membantuku. Rasanya dia selalu ada untukku.

"Baiklah, semuanya, ayo kumpul dulu." Dainsleif mengumpulkan semua orang yang menunggu disana.

"Mari kita berdoa bersama-sama untuk kesehatan Xiao. Agar Xiao diberikan keringanan dan kesembuhan oleh Allah SWT."

Dainsleif memimpin doa untuk kesembuhan orang yang sakit.
Bersama-sama kami berdoa untuk Xiao.

"Amiinn."

Seusai berdoa, satu per satu mereka mengunjungi Xiao.

==================

Sudah berhari-hari, aku menunggu dan menemani Xiao kala dirinya terbaring diatas kasur rumah sakit.

Di sela-sela waktu, kusempatkan untuk membaca beberapa surat al-qur'an disebelahnya. Sambil berdoa untuk kesembuhan dirinya.

Pernah sekali Xiao membuka matanya dan menatap ke arahku.
Dia menggenggam tanganku yang terletak disebelah tangannya.

Dengan semilir dia berkata, "Aku tidak akan pergi, bah." "Aku nggak akan tinggalkan abah sendiri."

Kemudian dia tersenyum dan kembali terlelap dalam tidurnya.

Mendengar suaranya saja sudah membuatku senang.
Dia sedang berjuang melawan penyakitkan dan aku membantunya lewat doa.

Airmataku selalu mengalir tiap melihat perkembangan dirinya.
Juga mengalir saat kondisinya semakin menurun.

"Kita pasrahkan kembali kepada yang memiliki kuasa akan semua ini." Dainsleif sering berkata begitu padaku.

Tangannya terus menghitung tasbih, dimanapun dia berada, disanalah fia berdizkir.

Ya, aku juga tidak boleh memaksakan keadaan. Aku hanya melakukan yang terbaik untuk Xiao.

Semua akan kembali padanya, aku harus mencoba untuk menerima hal itu.

===============

Suatu malam, aku mendapat kabar bahwa Xiao sedang mengalami masa kritisnya lagi.

Aku yang tak bisa tinggal diam, segera mengusaikan dzikirku dan kembali berlari ke rumah sakit bersama Crepus dan Diluc.

Tepat saat aku menggapai ruangannya. Seorang dokter muncul dengan wajah murung.

"Dengan keluarga Xiao."

"Iya pak, saya sendiri. Bagaimana keadaannya?"

"Kami sudah melakukan yang terbaik, pak. Tapi, mohon maaf."

Dua orang suster membawa satu kasur rumah sakit yang tertutup kain putih keluar dari ruangan ICU.

Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat itu.
Belum selesai dokter itu menjelaskan, aku sudah lebih dahulu mengejar dua suster itu.

"X-xiao... Xiao!!"

"Ya allah, pak. Ada apa?"

"Biarkan saya melihat anak saya."

"Maaf pak, tapi–"

"Saya mohon mbak. Sekali saja."

"Iya pak, saya paham. Tapi bukan itu yang anda pikirkan."

"Maksud mbak gimana?"

Salah seorang suster membuka kain putih itu.
Menampakkan sosok pria tua yang sudah tak bernyawa.

"Saya kenal bapak kok. Yang sering njenguk anak laki-laki namanya Xiao, kan?"

"Iya mbak."

"Nah, yang ini namanya juga Xiao. Tapi bukan Xiao anaknya bapak."

"Lho, terus anak saya dimana?"

Saat aku bertanya begitu.
Tiba-tiba Kaeya muncul.

"Ada apa nih rame-rame?"

"Oh, lha ini masnya yang bawa Xiao tadi."

Aku melihat ke arah Kaeya yang tampak begitu cerah wajahnya.

"Kamu bawa anak saya, Mas Kaeya?"

"Eh, iya bah. Mau ngabarin kalau Xiao nya tadi pengen jalan-jalan ke taman rumah sakit pakai kursi roda."

"Ini saya mau ngabarin abah barusan." lanjutnya.

Nafas panjang keluar dari mulutku.
Merasa lega bahwa anak itu baik-baik saja.

"Abah langsung aja ke taman rumah sakit. Anaknya ada disana kok. Katanya sih udah baikan."

"Iya iya, Mas Kaeya. Saya pergi dulu ya."

"Oke bah."

Aku mengangguk kemudian bergegas menuju taman rumah sakit meninggalkan Kaeya dan Diluc yang kini berbincang-bincang.

Diluc : *mukul kepala Kaeya*

Kaeya : "Aduh, Luc! Kenapa sih?"

Diluc : "Bikin orang panik aja."

Kaeya : "Lho, aku salah apa? Cuma mau kabarin."

Diluc : "Dahlah, gatau."

===================

Sampai juga kakiku di taman rumah sakit.

Tak sedikit orang yang ada disana.
Hampir separuh pasien rumah sakit merehatkan dirinya sambil menikmati keindahan taman.

Pandangan kuedarkan, mencari sosok anak laki-laki yang menggunakan kursi roda.

"Abah."

Suara familiar muncul dari balik tubuhku.

Itu Xiao, dia duduk diatas kursi rodanya.
Kondisinya tampak baik-baik saja sekarang. Bahkan dia bernafas dengan normal.

Dengan cepat aku memeluk dirinya. Mengusap surainya.

"Alhamdulillah, nak. Abah senang lihat kamu baikan."

Xiao membalas pelukanku.

"Alhamdulillah. Ini semua berkat abah dan lainnya yang mendoakan Xiao."

"Dokter bilang Xiao sudah sembuh dari TBC. Tapi Xiao masih butuh banyak istirahat untuk memulihkan diri."

Xiao melepas pelukannya, dia kini menatapku.

"Abah."

"Ayo kita pulang. Xiao kangen rumah."

Aku mengangguk padanya.

"Iya, kita pulang sekarang ya."

Kemudian aku menggiring kursi rodanya keluar rumah sakit.
Berjalan bersama kembali ke rumah.

=====================

Omake

Suster : "Gimana sih, dok. Masa' nggak ingat sama keluarga bapak Xiao."

Dokter : "Aduh, gimana ya. Saya kecapekan ngurus pasien. Jadi lupa kalau pasien Xiao ada dua."

Suster : "Ya allah, dok. Kurang aqua pasti."

Dokter : "Lha kan puasa, mana boleh minum."

Suster : "Saya kan halangan."

==================
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro