Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 83 ⭒࿈⭒ Inikah Akhirnya?



Fian mengepalkan tangannya kuat dengan netra yang menyorot tajam pada setiap kata yang tertulis dalam kertas di tangannya. Ia tidak menyangka kalau sang ibu mertua akan setega ini pada putri dan cucunya sendiri. Menjamu Fitri dengan racun. Hahaha, luar biasa sekali wanita tua itu.

"Saya berani menjamin, kalau penyebab pendarahan yang terjadi pada Nona Fitri karena jamu tersebut." Sang dokter kembali berbicara pada laki-laki yang merupakan suami dari salah satu pasiennya ini. "Jamu itu memang dikhususkan untuk penyembuhan penyakit dalam, dan tidak boleh sembarangan diminum oleh orang yang masih sehat. Apalagi ibu hamil seperti Nona Fitri, akibatnya akan sangat fatal."

Dengan senyum getirnya, Fian mengangguk mengerti dan mulai berdiri dari duduknya. "Terima kasih sudah membantu saya, Dokter." Ditatapnya wanita paruh baya yang memakai setelan jas putih itu disertai dengan ungkapan rasa terima kasih yang tulus. "Semoga apa yang Dokter inginkan segera tercapai," ujar Fian mengakhiri kalimatnya.

"Sama-sama. Sudah menjadi kewajiban saya untuk itu," balas sang dokter sembari tersenyum.

Fian pun segera berpamitan dan mohon diri untuk pulang. Mengingat urusannya di rumah sakit sudah selesai saat ini. Jadi ia lebih memilih untuk langsung meninggalkan rumah sakit dengan sepeda kesayangannya yang selalu mendampingi dirinya. Aldiano Lutfiansyah mengayuh sepeda itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Fian hanya ingin masalah ini segera diusut dan diselesaikan.

Sepulangnya dari rumah sakit, Fian langsung menanyai Fitri perihal kebenaran yang ia temukan. "Benar kalau kamu sakit perut setelah minum jamu yang dikasih Ibu?" tanyanya.

Fitri tidak menjawab, wanita itu masih menundukkan pandangannya. Posisi Fitri duduk di atas ranjang, sementara Fian duduk bersimpuh di bawahnya. Memegangi kedua tangannya dengan erat, tapi juga lembut di saat bersamaan.

"Sayang ..."

Helaan napas terdengar dari bibir Fitri kemudian. "Iya, Mas. Perutku tiba-tiba sakit setelah minum jamu itu," ujar Fitri yang langsung menatap tepat pada kedua bola mata sekelam malam suaminya. Netra wanita itu berkaca-kaca sudah. "Aku tidak tahu, apakah Ibu memang sengaja memberiku jamu itu atau tidak."

Genggaman Fian di tangan Fitri terlepas. Rahangnya tampak mengeras dengan netra berkilat-kilat marah. "Jadi benar, ya? Ibu kamu yang menyebabkan semua ini," desis Aldiano Lutfiansyah yang saat ini tengah mencoba menahan amarahnya yang bergejolak. Ia benar-benar tidak terima, ia kecewa, ia sangat marah.

Fitri panik, buru-buru ia kembali menggenggam tangan suaminya dan menatap Fian dengan tatapan memohonnya. "Mas, tolong kendalikan dirimu. Mungkin ini hanyalah salah paham, aku yakin Ibu tidak akan melakukan hal yang sembrono seperti ini."

Fian berdecak tak suka. "Kamu jangan melindungi penjahat, Fit. Sekalipun itu Ibu kamu sendiri. Keadilan harus ditegakkan," kata Fian dengan tegasnya. Ia benar-benar tidak bisa mentolerir hal ini, sungguh. Ya, ia memang tahu kalau sedari awal ibu mertuanya itu sudah tidak suka padanya. Akan tetapi, apakah harus sampai membunuh calon anaknya juga? Di mana rasa kemanusiannya?

"Tapi, Mas-"

"Sudah. Lebih baik kamu istirahat sekarang. Biar aku yang turun tangan sendiri kalau kamu memang tidak ingin melakukannya." Aldiano Lutfiansyah sudah tidak bisa menunggu lagi. Ia akan ke rumah orang tua Fitri dan meminta penjelasan pada sang ibu mertua.

⭒࿈⭒

"Kamu menuduh Ibu?!"

Suara seruan tidak terima yang keluar dari mulut Nyonya Anetta membuat Fian terkekeh dan menatapnya dengan remeh. Terkesan tidak sopan memang, tapi ia sudah tidak peduli lagi.

"Akui saja kalau Ibu memang sengaja melakukannya. Tidak perlu mengelak, Ibu. Sudah jelas-jelas kalau semua bukti mengarah pada Anda," tekan Fian yang masih berusaha membuat sang ibu mertua mengaku akan kesalahannya.

Sementara itu, suara isakan Fitri masih mendominasi sampai sekarang. Ia memeluk sang adik dan menangis pilu di sana. Ia tidak menyangka kalau akan seperti ini akhirnya. Setidaksuka itukah sang ibu pada suaminya, hingga sampai dengan tega membunuh calon cucunya sendiri?

"Ibu, katakan pada Mas Fian kalau semua itu tidak benar." Fitri berdiri dan berlutut di depan sang ibu dengan air mata yang terus bercucuran. "Aku percaya, Ibu pasti tidak akan melakukannya 'kan? Bukan karena jamu itu 'kan, Bu?"

Fitri menggoyangkan bahu sang ibu lantaran tak mendapat respon apapun dari ibu kandungnga tersebut. Nyonya Anetta hanya terdiam dengan tatapan tajam yang mengunus pada Fian dan kedua tangan mengepal. Netranya langsung beralih ke arah sang putri semata wayang beberapa saat kemudian.

"Iya, Ibu yang melakukannya, Fit."

Jderr!

Bagai tersambar petir, Fitri membulatkan kedua bola matanya tak percaya. "A-apa?" Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak, Ibu pasti bercanda." Fitri tertawa dengan keras masih sambil menatap sang ibu. "Hahaha, bercanda Ibu sungguh tidak lucu."

Nyonya Anetta tersenyum miris dan berujar. "Tidak, Ibu mengatakan yang sebenarnya. Ibu mengakui kalau Ibu memang sengaja memberikan jamu itu padamu untuk menggugurkan kandunganmu." Wanita paruh baya yang saat itu memakai setelan baju berwarna merah, berujar dengan lugasnya. "Ibu melakukannya karena sampai sekarang ... Ibu masih tidak suka dan tidak rela akan pernikahanmu dengan laki-laki itu," tunjuknya pada Fian yang duduk di sudut kanan ruangan.

Fian mengepalkan tangannya dengan rahang yang sudah mengeras. Jika tatapan mata bisa membunuh, sudah sedari tadi tatapannya akan membakar hidup-hidup ibu mertuanya ini. "Sungguh mengejutkan Anda akan mengakuinya dengan begitu mudah," ujar Aldiano Lutfiansyah. "Adakah permintaan terakhir, Ibu? Sebelum saya membawa Anda ke pihak yang berwajib."

Netra Fitri membulat sempurna. Ia menatap suaminya dengan tatapan tak percayanya. "Kamu akan memenjarakan Ibuku, Mas?! Tidak bisakah kita membicarakan hal ini secara kekeluargaan?" lirih Fitri di kalimat terakhir.

"Dia tidak pantas kamu sebut 'Ibu', Fit. Tidak ada Ibu yang setega itu pada putri dan calon cucunya sendiri. Tindakan Ibu kamu sudah masuk kategori kriminalitas," kata Fian.

"Tapi-"

"Ceraikan Fitri. Maka saya akan dengan sukarela menyerahkan diri ke pihak yang berwajib."

Prang!

Fitri yang sudah tidak bisa menahan berat badannya lagi, terjatuh dengan cepat dan menyeggol nampan di sampingnya hingga terdengar bunyi nyaring yang memekakkan telinga. Mufidah yang berada paling dekat dengan sang kakak, langsung memeluk kakak keduanya tersebut dengan cepat. Tubuh sang kakak terasa gemetar hebat dengan isakan-isakan yang terdengar setelahnya.

Fian tersenyum remeh kala mendengar kalimat yang dilontarkan oleh ibu mertuanya tersebut. "Ternyata Anda memang benar-benar tidak punya hati, ya?" tanyanya. "Tapi, baiklah. Akan saya turuti kemauan Anda, Ibu mertua."

"MAS!" Fitri berteriak kencang pada sang suami yang seenak jidat mengambil keputusan.

"Tenang saja, sayang. Aku tahu apa yang aku lakukan."



Waduhh, kok jadi gini sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro