Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 81 ⭒࿈⭒ Duka Mendalam



Detik demi detik berlalu semakin cepat. Fian tidak bisa berhenti memikirkan keadaan sang istri di dalam sana. Ia tengah duduk di kursi tunggu bersama Pak Somad dan istrinya. Para warga yang lain memilih langsung pulang karena mereka juga punya kesibukan lain.

"Kamu tidak ingin menghubungi keluargamu yang lain, Yan? Mereka berhak tahu perihal apa yang terjadi dengan Fitri," tanya Pak Somad sembari menatap sekilas pada pemuda di sampingnya.

Fian menggeleng singkat dan mengacak rambutnya kemudian. "Saya tidak ingin membuat kedua keluarga kami khawatir, Pak. Fitri pasti setuju dengan saya jika ia sadar," jawab Fian sembari menghela napasnya. Penampilan laki-laki itu tampak berantakan sekarang. Terlebih ada noda darah yang mengering di kaos putihnya.

"Ibu tidak setuju dengan pemikiran kamu, Fian." Bu Retno menyahut sembari menggeleng tidak setuju. "Keluarga kalian harus tetap diberitahu mengenai hal ini. Mereka berhak tahu keadaan Fitri," ucapnya yang sudah berpindah tempat menjadi berdiri di depan kedua laki-laki berbeda usia tersebut, terutama Fian yang kini malah menunduk.

"Baiklah, aku akan memberitahu mereka. Tolong jaga istriku selagi aku mencari telepon umum, Bu Retno dan Pak Somad." Fian meminta tolong pada sepasang suami-istri itu dengan sangat. Tatapan matanya menyiratkan kegelisahan yang teramat sangat.

Bu Retno tersenyum tipis sembari menatap pada sang suami. "Tentu, percayakan saja pada kami. Benar kan, Pak?" tanyanya meminta persetujuan. Pak Somad sendiri hanya mengangguk untuk mengiyakan perkataan istrinya.

"Kalau begitu saya permisi dulu Bu, Pak."

"Iya! Hati-hati, Fian!"

⭒࿈⭒

Mengikuti saran dan nasihat dari Bu Retno tadi, Fian sudah menghubungi keluarganya dan keluarga Fitri saat ini. Mereka akan tiba di rumah sakit beberapa menit lagi, dan sembari menunggu itu Fian juga mengurus keperluan administrasi istrinya.

Menit demi menit terus berlalu dengan begitu cepat. Saat ini Fian sudah berada di dalam ruangan Fitri dan melihat istrinya itu terbaring di atas ranjang rumah sakit. Fitri masih belum sadar dari pingsannya. Dia tidak sendiri, ada sang kakak dan sang kakak ipar juga di dalam. Sementara para keluarganya yang lain menunggu di luar ruangan.

Kriet ...

Suara derit pintu membuat dua wanita dewasa dan seorang laki-laki di sana membalikkan badan mereka. Seorang dokter perempuan muncul dari balik pintu dengan senyum sendunya.

"Ah, Dokter! Bagaimana keadaan adik ipar saya?" Sajidah langsung merangsek maju dan menanyakan keadaan Fitri pada sang dokter. Begitupun dengan Mutamimah, kakak Fitri itu menanyakan hal yang serupa setelahnya.

"Nona Fitri baik-baik saja. Namun saya mohon maaf, tapi janin yang ada di perutnya sudah tidak ada."

"APA?!"

"TIDAK MUNGKIN!"

Mutamimah dan Sajidah berteriak tak percaya secara bersamaan. Keduanya menatap sang dokter dan Fitri yang masih terbaring di atas ranjang dengan tatapan tak percaya.

"Apa maksud perkataan Anda dokter?! Jangan bercanda! Istri saya tidak mungkin keguguran!" Fian berseru dengan netra sekelam malamnya yang berkilat marah. Bahkan tangan laki-laki itu sudah mengepal sekarang.

"Maafkan saya, tapi itulah fakta pahit yang harus saya sampaikan. Ketika saya memeriksa rahim Nona Fitri, janin itu sudah tidak ada di dalamnya. Kemungkinan pendarahan hebat yang terjadi juga ikut menjatuhkan gumpalan darah atau janinnya di suatu titik."

Sajidah menutup mulutnya, air matanya langsung luruh begitu saja tanpa diminta. "Astaga, keponakanku ..." lirih Sajidah yang sudah menundukkan kepalanya, menatap kosong pada lantai berkeramik di bawahnya.

Mutamimah hanya bisa meredam tangisannya dengan menggigit bibir bawahnya. Kakak dari Fitriana Ayodya itu berjalan mendekat ke ranjang Fitri dan mengelus bagian perut adiknya yang rata dengan air mata bercucuran. "Malang sekali nasib kamu, Adikku. Maafkan Mbak kalau kamu harus mendengar kabar buruk ini nanti saat kamu tersadar," lirihnya menatap sendu pada wajah pucat Fitri.

Fian yang masih tidak bergeming dari tempatnya itu hanya bisa mengepalkan kedua tangannya sampai buku-buku jarinya memutih. Ia berusaha menahan gejolak emosinya yang bisa meledak kapan saja. Ia merasa marah, ia kecewa, ia putus asa sekarang. Ia kecewa pada sang takdir yang membuatnya harus merasakan kepedihan dan rasa sakit akan kehilangan ini.

Sementara itu, Fitri yang masih terbaring di ranjang mulai bangun dari pingsannya. Kelopak mata wanita itu berkedip-kedip, berusaha menyesuaikan cahaya yang memasuki kornea matanya. Tidak ada yang menyadari kalau Fitri sudah siuman sekarang, karena baik Sajidah, Mutamimah, dan Fian masih sibuk dengan keterdiamannya masing-masing. Terutama Sajidah dan Mutamimah yang masih menangis.

"Kakak? Kakak Ipar? Kenapa kalian menangis?"

Suara Fitri begitu lemah. Namun Sajidah dan Mutamimah tidak tuli, karena ia mendengar suara serak Fitri dengan jelas. Terlebih Mutamimah yang masih berdiri di samping ranjang Fitri sembari memegang tangan kanan adiknya tersebut.

"Ohh, astaga! Kamu sudah sadar, Fit?!" pekik Mutamimah yang langsung memberikan pelukan erat pada sang adik. "Maafin Mbak karena tidak bisa ikut menjaga calon anakmu, Fit. Dokter bilang anak itu sudah tidak ada di rahimmu," jelas Mutamimah dengan lugasnya.

"Mbak! Kenapa kamu langsung mengungkitnya?!" seru Fian dengan amarahnya. Laki-laki itu langsung merangsek maju di sisi ranjang satunya dan memeluk sang istri dengan erat. Tidak ia pedulikan tatapan keheranan Fitri saat ini. Ia hanya mencoba menjadi kekuatan bagi sang istri saat ini.

"Dokter, apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Fitri pada sosok sang dokter perempuan yang masih saja berdiri di tengah ruangan sembari menatap pada keempatnya.

"Maafkan saya atas berita buruk yang akan saya sampaikan, Nona. Akan tetapi, janin Anda tidak ada di dalam rahim Anda." Sang dokter menghela napas sebelum kembali melanjutkan perkataannya. "Apa mungkin calon anak Anda terjatuh di suatu titik saat pendarahan tadi?" tanyanya. "Biasanya janin yang berusia satu bulan atau lebih, masih berbentuk gumpalan darah yang seukuran kepalan tangan orang dewasa."

"Ma-maaf dokter? Apakah saya tidak salah dengar? Jadi, saya kehilangan anak saya? Begitukah?" Fitri bertanya dengan suara yang sedikit tercekat. Ia langsung teringat dengan kejadian mengerikan yang terjadi padanya beberapa waktu yang lalu.

Darah, di mana-mana ada darah.

Begitu merah, begitu pekat.

Lantas, gumpalan darah itu ...

"Ya, saya ingat. Gumpalan darah yang terjatuh begitu saja dari selangkangan saya. Hahaha, ternyata itu janinku, lucu sekali." Fitri tertawa kencang sembari memukul-mukul perutnya.

Mutamimah melihat sang adik yang tampak begitu terpukul langsung nerangkul Fitri dengan erat. "Ohh, adikku sayang. Lapangkanlah dadamu dan terima kenyataan ini, Fit. Anakmu sudah tiada, ikhlaskan dia."

"Hahaha, anakku sudah tiada ya? Wahh, bukankah aku Ibu yang buruk, Mbak?" Fitri melepaskan rangkulan sang kakak dan menatap tepat pada kedu netra berkaca-kaca Mutamimah. "Katakan, Mbak! Aku Ibu yang buruk, bukan? Aku bahkan tidak bisa menjaganya!"

Air mata Mutamimah semakin mengalir deras melihat keadaan adiknya. Ia melirik sang dokter dan memintanya untuk mendekat. Sepertinya Mutamimah memberikan kode pada dokter tersebut untuk memberikan obat penenang pada sang adik. Karena beberapa detik setelahnya, tanpa Fitri sadari sebuah jarum suntik berisi cairan penenang sudah disuntikkan sang dokter lada lengannya. Fitri berangsur-angsur tenang dan kembali menutup matanya.

Mutamimah menatap pada Fian yang masih tak bergeming di tempatnya. "Mbak akan mengajak Sajidah keluar, Yan. Mbak harap kamu bisa tetap menjaga Fitri dan buat dirimu tenang." Usai mengatakan kalimat itu, Mutamimah benar-benar mengajak Sajidah keluar dari ruangan Fitri untuk menemui keluarga mereka.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro