Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 80 ⭒࿈⭒ Darah Pendarahan



Sudah setengah jam lamanya pandangan Fitri terus terfokus pada layar bergambar di depannya, dan sudah selama itu pula ia menunggu kedatangan suaminya. Entah apa saja yang dibahas bersama Pak RT, ia pun juga tidak mengetahuinya.

Detik pada jam dinding terus berdetak, menghasilkan melodi yang cukup menenangkan bagi siapapun yang mendengarnya. Detik demi detik itu pula yang membuat Fitri tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat pada perutnya.

"Akh! Ke-kenapa dengan perutku?"

Fitri mencengkeram bagian perutnya sembari meringis pelan. Ia mencoba berdiri dan memegang ujung meja dengan kuat. Napasnya jadi putus-putus lantaran sakit yang teramat sangat pada bagian perutnya.

"Argh! Sakittt ..."

Dengan netra gelisah, Fitri menunduk dan mendapati darah yang keluar lewat sela-sela pahanya. Wanita itu membulat sempurna. Kepalanya ia gelengkan dengan kuat.

"Ti-tidak, bertahanlah sayang."

Air mata Fitri bercucuran begitu pikiran-pikiran buruk muncul mengenai kondisi anaknya yang mungkin tidak baik-baik saja saat ini. Ia berjalan tertatih-tatih ke arah pintu rumah sembari menahan rasa sakit pada perutnya. Hingga entah apa yang terjadi setelahnya, Fitri sudah tidak bisa menahan beban tubuhnya dan jatuh terduduk beberapa meter di dekat pintu. Darah segar terus mengalir dari sela-sela kakinya, dan sebuah gumpalan darah yang ikut jatuh setelahnya, membuat ia tidak bisa menahan kesadarannya seketika.

Satu hal yang Fitri ingat sebelum pandangannya menggelap adalah, tangannya yang berusaha menggapai pintu kayu di depannya.

⭒࿈⭒

Entah hal apa yang membuat perasaannya jadi tidak tenang seperti sekarang. Fian masih mendengarkan arahan Pak RT saat ini. Berkali-kali netranya menatap pada jam dinding yang ada di sana, dan berkali-kali pula ia berdecak pelan karenanya. Pak Somad, selaku RT di wilayah itu dapat menangkap kegelisahan dari tamunya tersebut.

"Ada hal yang membuatmu kepikiran, Mas Fian?"

Fian tersentak. "Ah! Maaf, Pak Somad. Saya jadi melamun, haha." Fian berujar sembari menggaruk tengkuknya dengan canggung. "Sekali lagi maafkan saya, silakan lanjutkan penjelasannya."

Pak Somad tersenyum maklum. Melihat kegelisahan anak muda di depannya ini, ia sudah bisa menebak kalau itu pasti berhubungan dengan istrinya yang tengah hamil. Saat pertama kali tiba di sini, pasutri baru itu memang sudah banyak menarik perhatian para warga sini karena paras menawan keduanya. Bahkan keduanya jadi idola para remaja yang belum menikah agar mencari istri atau suami seperti salah satunya.

"Tidak apa-apa. Pasti soal istrimu, ya?" tanya Pak Somad disertai kekehan kecilnya.

Fian tersenyum tipis, berusaha menutupi ekspresi malunya karena apa yang dikatakan Pak Somad itu benar adanya. Entah kenapa ia jadi kepikiran soal Fitri di rumah. "Iya, Pak. Saya kepikiran istri saya karena saya tinggal sendirian tadi di rumah," jawab Fian apa adanya.

"Tenanglah, dia akan baik-baik saja. Sekarang, mari kita fokus pada hal ini. Ada beberapa hal lagi yang harus kamu perhatikan untuk mengurus Kartu Keluarga."

Pak Somad pun kembali melanjutkan penjelasannya, dan Fian sendiri juga mendengarkannya dengan baik. Namun ia tidak bisa memungkiri kalau perasaan gelisah itu masih ada. Bahkan cenderung meningkat hingga membuatnya berkeringat dingin.

Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa.

⭒࿈⭒

Waktu terus berjalan dengan cepat. Tidak terasa sudah satu jam lamanya Fian berada di rumah Pak Somad, dan kini ia tengah berjalan dengan sedikit terburu-buru menuju rumah. Sunyinya malam membuat perasaannya kian tak tenang. Bahkan ketika melihat pintu rumahnya yang berjarak beberapa meter di depannya pun, ia masih belum bisa merasa tenang sebelum memastikan kalau istrinya baik-baik saja.

"Assalamua'laikum, sayang! Aku pulang!"

Hening.

Tidak ada jawaban apapun dari dalam sana, membuat Fian kian mengerutkan keningnya. "Mungkinkah Fitri sudah tidur saat ini?" gumamnya sembari mulai membuka pintu kayu di depannya dengan perlahan.

Namun beberapa detik setelah pintu itu terbuka, Fian harus mendapati pemandangan tidak mengenakkan yang membuat kedua bola matanya melotot seketika.

"FITRI!"

Dengan tubuh gemetar, Fian berlari ke arah sang istri yang tergeletak tak berdaya beserta genangan darah di sekitarnya. Ia mengecek denyut nadi dan detak jantung Fitri yang terdengar lemah. Buru-buru ia kembali keluar rumah untuk meminta tolong pada warga sekitar. Ia tidak peduli dengan darah yang menodai kaos putihnya. Yang ia pikirkan hanya Fitri, Fitri, dan Fitri.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamua'laikum, Pak Somad!"

Tok! Tok! Tok!

"Assalamua'laikum!"

Pintu dibuka secara cepat, Pak Somad muncul dari dalam dan menatap Fian dengan pakaian berlumuran darah. "Ada apa?! Kenapa bajumu berlumuran darah?!" tanyanya panik.

"Tolong istri saya, Pak! Saya pulang ke rumah dan mendapati ia pingsan tidak jauh dari pintu masuk. Banyak genangan darah di sekitar kakinya," ujar Fian dengan satu kali tarikan napas. Keringat mengalir deras dari leher dan dahi laki-laki itu.

"Astaga! Tunggu sebentar, saya akan memanggil warga lain dan menyiapkan mobil untuk membawa istrimu ke rumah sakit."

Fian mengangguk cepat. Ia buru-buru kembali ke rumah untuk menemani sang istri dan menyiapkan semua kebutuhan untuk dibawa ke rumah sakit. Tidak henti-hentinya Fian berdoa dalam kepanikannya, berdoa supaya sang istri dan calon anaknya baik-baik saja. Hingga beberapa menit setelahnya, Pak RT beserta beberapa warga masuk ke dalam rumahnya dan membantu membopong Fitri ke dalam mobil Pak Somad.

Dengan segala rasa panik dan cemas di wajahnya, Fian tetap menguatkan genggamannya pada tangan Fitri yang berlumuran darah. Beberapa bagian darah di bajunya bahkan sudah mengering.

"Bertahanlah sayang, kita akan segera sampai di rumah sakit."

Fian mengelus punggung tangan yang selalu mengurusnya dan memanjakannya tersebut. Sungguh, rasanya ia ingin berteriak lantaran merasa bersalah meninggalkan Fitri sendirian. Entah apa yang sebenarnya terjadi, ia tidak bisa memikirkan kemungkinannya sekarang.

"Pak Somad, tolong percepat laju mobilnya." Fian berujar masih dengan nada paniknya.

Sementara Pak Somad sendiri hanya menganggukkan kepalanya dan mempercepat laju mobilnya. Bu Retno, istri dari Pak Somad yang duduk di samping suaminya tersebut, menoleh menatapnya dengan senyum keibuannya. "Tenanglah, Fian. Ibu yakin Fitri dan calon anak kalian pasti akan baik-baik saja. Berdoalah kepada Allah," nasihatnya.

Hanya helaan napas dan genggaman yang semakin menguatlah yang dilakukan Fian saat ini. Tentunya ia juga berdoa dalam hati agar tidak terjadi hal buruk pada kedua orang yang disayanginya. Netra kelamnya tampak menyendu ketika menatap wajah pucat istrinya. Fitri pasti sudah kehilangan banyak darah. Bahkan, denyut nadinya masihlah lemah.

"Aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan dan keselamatan kalian saat ini, sayang." Dikecupnya punggung tangan Fitri dengan bibirnya yang sedikit gemetar. "Bertahanlah untukku, kumohon."



Huaaa, kok jadi begini?! ಥ⌣ಥ

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro