Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 8 ⭒࿈⭒ Kepekaan Seorang Sahabat



Setelah Film India yang diputar selesai, Fitri memutuskan untuk langsung pamit pada kelima sahabatnya. Ia harus segera pulang karena hari sudah semakin sore. Emi menawarkan untuk mengantar, mengingat jarak rumah mertuanya yang lumayan jauh dari desa tempat tinggalnya. Matahari sendiri sudah mulai tenggelam di ufuk Barat. Membuat rona jingganya terlihat memukau di atas sana. Suara bising dari kendaraan yang berlalu-lalang ikut meramaikan suasana di sore itu.

Fitri kembali menatap ke depan kala Emi memanggilnya. "Kenapa?" tanyanya sembari menatap punggung sahabatnya yang tengah asik mengayuh sepedanya.

Emi terdiam sejenak, terlihat ragu-ragu sepertinya. Fitri bisa melihat itu dari samping. Beberapa kali Emi terlihat membuka mulutnya, tampak ingin mengatakan sesuatu. Sementara kayuhan sepedanya pun juga tidak teratur. Terkadang lambat, terkadang juga cepat.

"Emi, kamu kenapa?" tanya Fitri lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari sahabatnya itu.

Gelengkan kepala lah yang Fitri dapatkan sebagai jawaban atas pertanyaannya. Kedua gadis remaja itu kembali terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga ...

"Kamu bahagia nggak, Fit?"

... pertanyaan tiba-tiba dari Emi membuat Fitri sedikit tersentak.

"Maksud pertanyaan kamu apa?"

"Ah! Itu ... sebenarnya aku cuma khawatir aja. Teringat adiknya Fian yang nggak suka sama kamu itu, dia nggak bersikap berlebihan 'kan, tapi?"

Fitri bingung harus menjawab apa saat ini. Kalau ia jujur, sudah pasti sahabatnya ini akan sangat khawatir, dan tidak mungkin juga Emi tidak cerita ke sahabatnya yang lain. Namun bila ia tidak cerita, ia akan terus memendam masalah ini sendiri jadinya. Membatin dan merasakan tekanan Sara Mona seorang diri. Ia bahkan tidak berani mengatakannya pada sang suami, masa ia harus bercerita pada sahabatnya?

Ah, nggak usah kali ya.

"Sara baik kok sama aku, dia nggak ada ngelakuin yang aneh-aneh. Jadi kamu nggak perlu khawatir, Emi."

Seulas senyum lembut terbit di bibir Fitri. Mencoba meyakinkan sang sahabat agar tidak perlu mengkhawatirkan, tapi namanya juga sahabat. Ikatan itu pasti ada, dan Emi merasakannya.

"Aku tahu kamu bohong, Fit. Yah, aku tidak akan memaksamu berkata jujur. Tapi aku harap, kamu tidak berbohong pada perasaanmu sendiri."

Deg

Fitri terdiam dengan denyut jantung yang mulai tidak beraturan. Ia tidak tahu kalau Emi akan menyadarinya secepat ini. Memang, Emi adalah satu-satunya sahabatnya yang paling peka di antara yang lain. Namun ia tidak tahu kalau Emi akan sepeka ini.

"Maaf kalau kamu merasa seperti itu, Emi. Namun apa yang kukatakan adalah kebenarannya."

Emi menghela napasnya. Memaksa Fitri bercerita tentu tidak akan bagus. Mengingat betapa keras kepalanya gadis itu. "Baiklah, aku harap kamu selalu bahagia di sana."

Fitri mengamini dalam hati. Ia juga ingin semua berjalan dengan lancar, tanpa adanya penghalang. Akan tetapi, namanya juga kehidupan. Kalau ada kebahagiaan, pasti ada kesedihan. Kalau ada kemenangan, pasti ada kekalahan. Ada rintangan, pasti ada jalan keluar.

"Doakan saja, Emi. Doakan saja aku agar selalu bahagia."

"Tentu saja, sahabat."

⭒࿈⭒

"Assalamualaikum."

Fitri mengerutkan keningnya kala tak mendapat jawaban sama sekali dari dalam. Ia baru sadar kalau rumah mertuanya itu tampak sangat gelap. Seperti tidak ada orang.

"Ke mana semua orang?"

Gadis yang senantiasa memakai selendang merah di lehernya itu kembali berjalan ke arah Emi─sang sahabat─yang masih senantiasa menunggunya di depan pekarangan rumah.

"Di rumah nggak ada orang, Emi. Entah ke mana mereka semua pergi."

"Coba kamu tanya tetangga," saran Emi yang langsung disetujui oleh Fitri. Gadis dengan potongan rambut sebahu itu langsung berjalan ke arah rumah Nek Ja dan mengetuk pintu kayu bercat kuning tersebut dengan sedikit kuat.

Tok tok tok

"Assalamualaikum."

"Nek Jaa!"

Tok tok tok

Beberapa saat lamanya Fitri menunggu, hingga suara pintu yang terbuka dan munculnya seorang wanita tua dari dalam sana membuat senyumannya langsung mengembang.

"Waalaikumsalam ... Wonten nopo toh, Nduk?"

Fitri menampilkan cengiran lebarnya, membuat kedua lesung pipinya terlihat seketika. "Ini Nek Ja, orang rumah pada ke mana, ya? Fitri pulang kok tidak ada orang," tuturnya.

"Ohh, itu tadi ibu mertuamu pamit mau ke Karangmaja. Katanya Nenek Buyutmu sakit. Sara sama Sajidah juga ikut ke sana. Mereka titip rumah padamu dan Fian," papar Nek Ja.

Fitri membulatkan netranya.

"Nenek Buyut sakit?"

Nek Ja mengangguk dan tersenyum singkat. "Jangan terlalu khawatir, mending kamu langsung masuk saja dan siapkan makanan untuk Fian. Pasti dia kelaparan dan kecapaian sehabis pulang kerja nanti. Kamu tahu 'kan, letak kunci rumah biasanya di mana?"

"Iya. Fitri tahu kok, Nek Ja." Cengiran lebar kembali Fitri tunjukkan. "Kalau begitu, Fitri ke dalam dulu. Terima kasih, Nek Ja!" lanjutnya seraya menyalimi punggung tangan wanita tua itu. Nek Ja sendiri hanya tersenyum sebagai tanggapan.

Setelahnya, Fitri memutuskan untuk kembali menemui sahabatnya yang masih menunggu di depan pekarangan rumah. Ya, Emi memang masih menunggunya. Untuk memastikan kalau Fitri tidak benar-benar sendiri di rumah.

"Gimana?" tanya Emi sesaat setelah Fitri baru sampai di depannya.

"Orang rumah lagi pergi ke rumah Nenek Buyut di Karangmaja. Aku sama Fian disuruh jagain rumah," jawab Fitri apa adanya.

Emi mengangguk mengerti. "Berarti kamu tinggal nunggu Fian pulang aja, 'kan?"

"Iya, tinggal nunggu Fian pulang aja. Kamu tinggal juga gapapa kok, Emi. Takutnya orang tua kamu nyariin, lagian sudah sore juga."

Emi mendongak menatap langit senja di atasnya. Fitri benar, hari sudah semakin sore. Ia juga tidak memberitahu orang tuanya kalau ia sedang mengantar Fitri saat ini.

"Kamu benar, Fit. Sebaiknya aku pulang sekarang. Kamu baik-baik ya, di rumah." Emi menepuk pundak sahabatnya itu beberapa kali dan melakukan salam ala mereka.

"Santai saja, aku akan baik-baik saja. Kamu hati-hati di jalan, jangan ngebut!"

Ingatkan Fitri kalau sahabatnya yang paling tomboy ini sering mengebut jika mengayuh sepedanya di jalan raya. Akan tetapi berbeda kalau sedang berboncengan, Emi bisa lebih mengatur kecepatannya kalau itu. Mengingat ada satu beban yang dibawanya di sadel belakang sepedanya.

"Iya, siap! Aku tidak akan mengebut, tapi nggak janji, ya!"

Emi tertawa saat melihat Fitri langsung mendelik ke arahnya. Bagaimana mungkin ia tidak mengebut kalau saat ini dirinya sedang dikejar oleh waktu. Lagipula, tidak mengebut itu tidak seru, tahu!

"Pokoknya jangan ngebut!" pekik Fitri sembari mendelik tajam pada Emi. Memperingatkan dan menekankan sekali lagi pada sang sahabat untuk tidak mengebut saat di jalan nanti.

Emi mendengkus. "Iyaaa, bawel. Santai saja kenapa, sih? Nggak akan kenapa-napa juga."

"Ya, pokoknya harus hati-hati."

"Baiklah-baiklah, aku pulang dulu ya!" Emi melambaikan tangannya sebelum mulai menaiki sepedanya dan mengayuhnya menjauhi pekarangan rumah sang sahabat. Fitri pun juga ikut melambaikan tangannya dengan seulas senyum lembut di bibir.

Sore itu, senja tahu kalau kedua gadis itu tengah memikirkan hal yang sama.

Sebuah pemikiran tentang indahnya persahabatan.



Persahabatan memang seindah itu, kawan (*^▽^*)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro