Bagian 79 ⭒࿈⭒ Sakit Menyelisik
•
•
•
Saat ini, Fitri tengah menemani sang ibu yang sedang sakit. Tadi ia sudah mencarikan tukang pijit bersama Mbak Mimah. Sekarang ia hanya menemani sang ibu yang sedikit rewel. Sudah beberapa kali ini ia bolak-balik dari dapur ke kamar sang ibu untuk membuat makanan yang diinginkan ibunya tersebut.
Jika saja wanita tua itu bukan ibunya, sudah pasti Fitri akan meninggalkannya sedari tadi. Mengingat ia juga lelah setelah dari pasar untuk berjualan tadi. Ia sama sekali belum istirahat sejak satu setengah jam yang lalu, dan ia mulai kelelahan sekarang.
"Ibu, aku lelah. Apakah ini sudah cukup?" ucap Fitri sembari memberikan bubur ayam yang dibuatnya pada sang ibu. "Cicipi dulu saja, aku yakin ini akan sesuai dengan seleramu." Dengan telaten Fitri menyuapkan sesendok penuh bubur pada sang ibu yang tengah duduk menyandar pada kepala ranjang.
Nyonya Anetta membuka mulutnya dengan perlahan, rasa hangat langsung menyeruak di dalam mulutnya kala bubur itu menyentuh lidahnya. Kali ini ia harus mengangguki pernyataan Fitri, karena apa yang dikatakan putrinya itu benar. Kali ini cita rasanya terasa pas, dan ia menyukainya.
Melihat sang ibu diam saja dan tidak lagi memprotes akan rasa dari masakannya yang tidak cocok di lidah, Fitri tersenyum. Ia bersyukur dalam hati karena tidak harus bolak-balik lagi ke dapur untuk membuatkan makanan yang sesuai dengan selera sang ibu. Diraihnya lemon tea yang sempat ia buat juga dan menyerahkannya pada sang ibu.
"Minumlah agar perutmu terasa lebih baik, Ibu."
"Teh apa ini?" tanya Nyonya Anetta kala cangkir putih berisi cairan bening berwarna kecoklatan itu sudah berada di tangannya.
"Lemon tea, bagus untuk perutmu."
Tanpa bersuara lagi, Nyonya Anetta meneguk cairan itu dan menyesapnya dengan pelan. Dapat Fitri lihat sudut bibir sang ibu terangkat, walau cuma sedetik.
"Ini enak, terima kasih ya."
Senyuman Fitri mengembang, ia langsung mengangguk dengan cepat masih sambil mempertahankan senyuman manisnya. "Tidak perlu berterima kasih, sudah jadi tugasku untuk merawatmu, Ibu." Fitri berdiri hendak membawa beberapa peralatan makan yang tidak dibutuhkan kembali ke dapur. Namun perkataan sang ibu membuatnya berhenti dan berbalik arah menuju kamar ibunya untuk mengambil sesuatu yang tadinya hendak diberikan sang ibu padanya.
"Terima kasih, Ibu. Padahal Ibu tidak perlu repot-repot memberikanku ini, ada kios jamu yang berjualan di depan rumah." Fitri berujar setelah dua bungkus jamu itu sudah ia dapatkan dan ia masukkan ke dalam tas kecilnya.
Nyonya Anetta tersenyum singkat. "Tidak apa-apa. Ibu hanya ingin membelikannya untukmu. Jamu itu juga baik untuk kesehatanmu," tutur Nyonya Anetta sembari mengusap sisa-sisa makanan di bibirnya. Bubur ayam yang dibuatkan Fitri sudah dimakan sampai habis olehnya.
Fitri tidak bisa tidak tersenyum dan mengucapkan terima kasih lagi atas perhatian sang ibu padanya. Terkadang ia memang membutuhkan perhatian ibunya di saat-saat tertentu. Namun ia jarang mendapatkannya karena kesibukan masing-masing. Mungkin setiap perhatian memang ditunjukkan dengan cara yang berbeda-beda.
"Kalau begitu, Fitri pulang dulu ya. Belum memasak makan malam untuk Mas Fian. Kasihan dia kalau pulang kerja dan tidak mendapati makanan di meja." Fitri berpamitan pulang pada sang ibu. Mencium tangan wanita paruh baya itu dengan senyuman simpulnya.
"Hati-hati di jalan, Fit. Jalan raya sedang ramai-ramainya dengan pengendara akhir-akhir ini," pesan Nyonya Anetta pada putri keduanya tersebut. Ya, jalan raya memang sedang ramai-ramainya jika sore hari seperti ini. Banyak orang berkendara yang pulang dari pekerjaan mereka pada sore hari.
"Tenang saja, aku pasti berhati-hati. Assalamua'laikum!"
"Waa'laikumsalam ..."
⭒࿈⭒
Malam harinya di kediaman Fitri dan juga Fian, kedua sejoli itu tengah duduk berhadapan sembari menyantap hidangan masing-masing dengan lahap. Yang paling bersemangat adalah Fian, mengingat hari ini pekerjaannya cukup menguras tenaganya.
"Masakanmu memang tidak ada duanya, sayang. Aku menyukainya," ujar Fian seraya kembali memasukkan sesendok penuh makanan pada mulutnya.
Fitri sedikit tersipu malu akan pujian dari sang suami yang ditujukan untuknya. "Aku hanya memasak seperti biasanya, Mas. Tidak ada yang spesial selain sambal terasi ini," paparnya sembari menunjuk sambal terasi yang ia buat.
Fian terkekeh. "Ya, baiklah. Tapi aku jujur saat aku berkata kalau ini enak." Fian menyunggingkan senyumannya sebelum suatu gelas kaca berisi cairan cokelat pekat di atas meja menarik perhatiannya. "Itu apa? Jamu?" tanyanya.
Fitri mengikuti arah pandang Fian dan mengangguk singkat sebagai jawaban. "Ibu membelikannya untukku. Ada dua bungkus, aku baru menggunakannya satu."
"Ah, begitu rupanya."
"Iya, begitu. Lebih baik segera habiskan makananmu, Mas. Katanya mau ngurus Kartu Keluarga di Pak RT."
Netra Fian membulat sempurna. "Astaga! Aku lupa!" Lelaki berusia 23 tahun itu menatap sang istri dengan ekspresi paniknya. "Aku harus bergegas ke sana, Fit!"
Fitri mendengkus pelan melihat tingkah suaminya. "Ya sudah cepat habiskan makananmu, Mas. Mumpung belum terlalu malam, takutnya Pak RT tidak ada di tempat, bagaimana?"
Aldiano Lutfiansyah sendiri hanya mengangguk dan segera menghabiskan makanan yang ada di piringnya dengan cepat. Ia harus segera karena ini sudah hampir jam setengah sembilan malam. Padahal rencananya ia akan ke sana jam setengah delapan malam, tapi ia malah kebablasan seperti ini.
Tak!
Sendok makan yang diletakkan sedikit keras itu membuat suara nyaring yang cukup memekakkan telinga. Fitri hanya memerhatikan suaminya yang tampak minum dan berdiri dengan terburu-buru.
"Aku pergi dulu, sayang. Assalamua'laikum!"
"Waa'laikumsalam! Hati-hati, Mas! Titip salam sama Bu RT!"
Fian mengangguk dan memberikan kecupan singkat di dahi sang istri sebelum melesat keluar dari area dapur. Fitri sendiri lebih memilih untuk melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda tadi. Lantas meraih segelas jamu yang masih belum tersentuh di atas meja dan meminumnya dengan cepat. Rasa pahit dan asam dari jamu tersebut membuat Fitri mengerutkan keningnya tidak suka.
"Huekk, nggak enak banget rasanya."
Fitri buru-buru mengambil segelas air putih dan meneguknya hingga tandas. Setelah dirasa pahitnya sudah hilang, wanita hamil itu memilih untuk membereskan meja makan dan mencuci piring setelahnya. Ia ingin menonton televisi sembari menunggu sang suami pulang ke rumah. Karena jujur saja, entah kenapa ia ingin bermanja-manja dengan suaminya malam ini.
"Ah, mungkin sepiring apel dan melon bisa menemani waktu santaiku setelah ini." Fitri tersenyum sembari memikirkan persediaan kedua buah itu di dalam kulkas. Kulkas kecil satu pintu itu milik pakdhenya. Memang sudah ada sejak ia menempati rumah ini. Jadi ya, ia akan memanfaatkannya untuk menyimpan kebutuhan pangan dengan sebaik mungkin.
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro