Bagian 78 ⭒࿈⭒ Perhatian Sang Kakak
•
•
•
Kehamilan pertama Fitri sedikit berbeda dengan ibu-ibu yang lain. Fitri sama sekali tidak mengalami morning sickness, ia hanya mengidam saja. Itupun dominan makanan pedas dan asam, juga minuman dingin seperti ice cream dan jus buah. Semenjak hamil pun, Fian jadi sangat perhatian padanya. Suaminya itu jadi sering membacakan ayat-ayat suci al-qur'an di dekatnya. Dengan harapan, anak yang dikandungnya akan sehat selalu dan tumbuh dengan baik di dalam.
Tidak hanya Fian yang memberi perhatian lebih padanya, tapi kelima sahabatnya juga. Tidak tanggung-tanggung, mereka akan bergantian bertamu ke rumahnya untuk mengecek keadaan calon keponakan mereka. Ada kalanya Fitri jadi jengkel karena hal itu. Akan tetapi, ia juga tahu kalau ini semua demi kebaikannya. Jadi ia tidak protes sedikitpun, tapi kalau mendumel di dalam hati, iya. Ia akan mendumel sampai puas di dalam hati.
Sedikit demi sedikit ia juga belajar tentang kehamilan dan apa-apa saja pantangan bagi ibu hamil. Ia hanya ingin kalau sang calon anak tumbuh dengan sehat di dalam perutnya. Ia juga sudah mengurangi aktifitas yang berat-berat. Bahkan kemarin, entah memang kebetulan atau bagaimana, Rama datang ke pasar dan membantunya mengangkat kardus-kardus camilan yang baru saja datang.
Sudah tidak ada rumor miring lagi tentangnya dan Rama. Karena ia juga sudah bilang pada laki-laki itu agar jangan terlalu sering ke pasar untuk sekadar menemuinya karena rumor tersebut. Justru karena hal itulah, Rama mengumpulkan para tetangga di kanan-kirinya dan mengatakan pada mereka kalau ia hanyalah teman Fitri. Ia juga mengaku kalau sudah punya kekasih yang amat sangat dicintainya. Jadi tidak mungkin kalau ia dan Fitri memiliki hubungan seperti yang digunjingkan mereka.
Sejak saat itulah, sudah tidak ada lagi rumor yang kurang mengenakkan tentang dirinya. Para orang-orang pasar juga sangat antusias menyambut janin yang ada di perutnya. Fitri jadi ingat kata salah satu warga pasar. "Pasti anaknya akan lahir dengan paras yang sangat tampan atau cantik. Mengingat kedua orang tuanya yang juga memiliki paras bak dewa dan dewi Yunani."
Hah ... kalau mengingat hal itu, senang sekali rasanya. Ia juga berharap kalau anaknya lahir dengan fisik yang sempurna tanpa kekurangan suatu hal apapun. Harapan ibu hamil sepertinya akan dikabulkan, bukan? Ya, semoga saja.
"Fit! Ngelamun aja kamu. Lagi mikirin apa, sih?"
Suara itu membuat Fitri yang tadinya asik melamun jadi terkejut seketika. Netranya langsung menoleh ke sumber suara, dan ia mendapati sang kakak perempuan ada di sana. Mbak Mimah memang mengunjunginya hari ini, katanya ada perlu dengan sang ibu. Bahkan keponakan laki-lakinya juga diajak. Bahrul Ulum, keponakannya. Nama anaknya Mbak Mimah kalau kalian lupa.
"Hehe, maaf Mbak. Aku cuma mikirin si kecil aja," tutur Fitri seraya mengelus perut ratanya dengan senyuman terukir.
Mimah pun ikut tersenyum lembut melihat adiknya tersebut. Ia merasa, keputusannya untuk merestui hubungan Fitri dan Fian tidaklah sia-sia. Lihatlah, betapa bahagianya ekspresi yang ditunjukkan oleh Fitri sekarang. Ia juga tahu kalau Fian adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.
"Jangan berpikir terlalu keras, semua yang kamu lakukan atau yang kamu pikirkan akan berpengaruh juga pada bayimu. Kamu pasti sudah tahu itu, 'kan? Mengingat itu adalah hal dasar yang wajib diketahui oleh ibu hamil."
"Iyaa, aku tahu kok, Mbak. Aku tidak akan memikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan, jangan khawatir." Fitri mengulas senyum tipis. "Ohh iya, Mbak ada perlu apa dengan Ibu?" tanya Fitri yang tiba-tiba jadi merasa penasaran akan hal itu.
"Ibu memintaku mencarikannya tukang pijat. Kakinya sakit, dan beliau ingin dipijat." Mimah berkacak pinggang sembari mendumel pelan. "Padahal aku sudah bilang kalau aku juga bisa jika hanya sekadar memijat kaki, tapi beliau tidak mau dan bersikeras ingin dicarikan tukang pijat." Kakak dari Fitriana Ayodya itu tampak sangat kesal dengan kedua alis yang sudah menukik tajam.
Fitri tertawa. "Astaga, kukira ada apa. Ya sudah, nanti biar aku bantu carikan tukang pijat kalau begitu."
"Tidak, Fit." Mimah menggeleng dan menghela napas setelahnya. "Wanita yang tengah menggendong Ulum di punggungnya itu menatap cemas pada sang adik. "Kamu tidak perlu repot-repot. Hal seperti ini sangat mudah untuk dilakukan," ujar Mimah dengan senyumannya.
Diraihnya tas yang ia sampirkan di gantungan dekat etalase toko dan mulai memakainya. "Mbak mau keliling pasar dulu beli beberapa kebutuhan untuk memasak nanti sore, kamu mau titip nggak?" Gelengan kepala Fitri membuat Mutamimah menaikkan salah satu alisnya bertanya. "Yakin nggak mau titip apa-apa? Kali aja kamu sedang ingin makanan pedas atau asam, gitu?"
"Nggak, Mbak. Aku sedang tidak ingin apa-apa. Eh, atau mungkin ... roti isi cokelat kali, ya?" jawab Fitri sembari mengelus-elus dagunya, berpikir.
"Kamu mau roti isi cokelat?"
Fitri tidak langsung menjawab pertanyaan sang kakak, melainkan memejamkan matanya dan kembali berpikir keras. Hingga beberapa detik setelahnya, barulah wanita hamil itu mengangguk dengan mantap. "Iya, aku mau roti isi cokelat."
Mutamimah tersenyum geli melihat tingkah sang adik yang menurutnya menggemaskan. "Ya sudah, roti isi cokelat. Kalau minumnya?"
Otak Fitri kembali dipaksa bekerja saat pertanyaan itu keluar dari bibir sang kakak. "Eeee ... minumannya apa, ya?" gumamnya sembari mengetuk-ngetuk dagunya dengan pelan.
"Haduh! Udah, nggak usah dipikir terlalu keras. Mbak beliin es sinom aja, ya?" ujar Mimah mencoba memberi tawaran. Lagipula, es sinom selain segar juga sehat.
Fitri hanya mengangguk menurut, karena ia sudah tidak punya pilihan lagi. Ia juga tidak tahu apa yang ia inginkan sebenarnya. Jadi lebih baik ia menyetujui tawaran sang kakak untuk membelikannya es sinom.
"Okey, roti isi cokelat dan es sinom. Mbak titip Ulum dulu, ya? Takutnya malah repot bawa belanjaannya kalau bawa nih bocah," tutur Mimah yang langsung mengalihkan sang anak ke gendongan Fitri.
"Iya, Mbak. Nanti aku akan menidurkannya di dalam." Fitri tersenyum dan mendaratkan satu kecupan di pipi keponakan tampannya itu. "Tapi belanjanya jangan lama-lama ya, Mbak. Temani aku jualan hari ini," ujarnya kemudian.
"Tenang saja, Mbak tidak akan lama kok. Paling nggak sampai satu jam juga sudah kembali ke sini," balas Mutamimah sembari memakai sendalnya di depan toko sang ibu. Wanita itu melambaikan tangannya sebentar pada sang adik sebelum benar-benar hilang di tengah kerumunan orang-orang pasar.
Sementara Fitri sendiri lebih memilih untuk langsung masuk ke dalam toko dan menjaga sang keponakan yang sedang tertidur. Ia hanya tinggal menunggu sang kakak selesai berbelanja dan membawakan pesanannya tadi.
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro