Bagian 77 ⭒࿈⭒ Ngidam
•
•
•
"Mas, aku kok pengen yang pedas-pedas ya?" Fitri berujar sembari menatap pada sang suami yang tengah asik menonton televisi di ruang keluarga tersebut. "Beliin yang pedas-pedas dong!"
"Hah?" Fian melongo dengan tidak elitenya. Laki-laki yang semula memegang remote di tangan kanannya itu langsung meletakkan remote tersebut di atas meja. Netranya beralih menatap sang istri dengan satu alis terangkat. "Makanan apa yang pedas-pedas?"
Fitri mengendikkan kedua bahunya tanda tidak tahu. "Entah, terserah. Pokoknya yang pedas, ya. Aku ingin sekali makan makanan pedas, Mas."
Fian hanya bisa mengangguk dan menyanggupi permintaan istrinya. Laki-laki bernama lengkap Aldiano Lutfiansyah itu beranjak berdiri dan mematikan televisi di depannya. Mendekat ke arah sang istri yang masih berdiri di dekat rak buku di sana dan mendaratkan satu kecupan lembut di bibir manisnya. "Aku berangkat dulu. Jangan lupa minum susu sebelum tidur, aku akan mencarikan makanan pedas untukmu."
Anggukan antusias Fitri membuat Aldiano Lutfiansyah kian melebarkan senyumannya. Calon ayah itu segera beranjak pergi setelah memberi salam pada istri tercintanya. Ia akan mencarikan makanan pedas yang diminta sang istri. Entah bakso ataupun mie, ia pun tak tahu. Yang jelas, sebisa mungkin ia akan memenuhi permintaan istrinya yang tengah hamil muda tersebut atau bisa disebut dengan mengidam.
Sebenarnya, ini sudah yang kedua kalinya dalam seminggu ini Fitri mengidam sesuatu yang pedas. Akan tetapi, waktu itu sang istri meminta rujak pedas. Makanan yang dimau sudah diketahui, tapi sekarang? Ia bahkan tidak tahu akan membelikan Fitri makanan pedas apa nanti. Apalagi ini sudah larut, sudah sekitar jam sembilan malam lebih tepatnya. Semoga saja masih ada warung atau penjual dengan gerobak yang buka.
Mengayuh sepeda di malam hari seperti ini adalah kebiasaannya saat masa lajang dahulu. Ya, masa di mana ia masih seru-serunya nongkrong sampai malam di alun-alun atau pelabuhan kota. Ia akan bersepeda dari rumahnya hingga ke perempatan, di mana semua temannya menunggu di sana untuk berangkat bersama. Biasanya mereka juga akan membawa sarung untuk sholat isya' berjama'ah di masjid.
Sungguh, mengayuh sepeda di malam hari seperti ini membuatnya teringat akan masa-masa itu. Rasanya ia jadi rindu berkumpul bersama teman-teman sejawatnya. Sayangnya, semua teman-temannya sudah memiliki keluarga masing-masing. Banyak yang sibuk dengan istri dan pekerjaannya. Yah, tidak jauh beda dengan dirinya sekarang ini. Mungkin, ia akan mengundang mereka ke rumah untuk merayakan kehamilan pertama istrinya.
"Ah, ada warung mie ayam di sana. Apa aku beliin Fitri mie ayam ekstra pedas aja, ya?" Fian menghentikan kayuhan sepedanya di tepi jalan sembari menatap pada warung mie ayam di seberang jalan raya sana. "Akan tetapi, aku tidak boleh membeli yang terlalu pedas karena itu akan berbahaya bagi janinnya." Helaan napas terdengar dari bibir Fian setelahnya. Lantas kemudian, Fian berdecak kesal. "Ck! Lagian si Fitri aneh-aneh saja ngidamnya. Apa dia tidak memikirkan kesehatan janinnya?"
Laki-laki berusia 23 tahun itu masih saja menggerutu sebal di tepi jalan raya. Mengabaikan orang-orang yang sempat berhenti hanya untuk melihatnya yang tengah mendumel. Fian baru sadar kalau ia dilihatin ketika ada seorang bapak-bapak yang menegurnya. Barulah ia tersenyum kikuk dan meminta maaf. Ia pun sudah memutuskan kalau ia akan membelikan sang istri mie ayam.
⭒࿈⭒
"Assalamua'laikum! Sayang, ini pesanan kamu!"
Fian yang baru saja sampai di rumah langsung masuk dan mendapati Fitri berada di ruang tengah sedang menonton acara berita seputar selebriti kesukaannya di televisi. Sementara Fitri yang melihat kedatangan suaminya, langsung menengadahkan tangannya untuk meminta pesanannya.
"Mana? Beli apa kamu, Mas?" ujarnya sembari meraih kresek hitam di tangan Fian dan langsung membukanya dengan cepat. Aroma khas mie ayam langsung tercium di hidungnya. Senyuman Fitri pun mengembang seketika. "Mie ayam?! Wahh, pasti enak ini!" pekik Fitri dengan netra berbinar-binar. Ibu hamil itu langsung beranjak ke dapur untuk mengambil mangkuk dan sendok garpu.
Fian sendiri hanya terkekeh geli sembari mengikuti langkah Fitri dari belakang. Ia selalu waspada jika istrinya itu berada di dapur. Mengingat di dapur itu banyak sekali benda tajam yang bisa saja membuat Fitri dan calon anaknya terluka.
"Hati-hati," ujar Fian kala mendapati sang istri berjinjit untuk mengambil mangkuk baru yang dia letakkan di atas lemari dapur. Ia baru bisa bernapas lega saat Fitri berhasil mengambil mangkuk itu dengan lancar dan selamat. "Lain kali minta tolong saja padaku jika ingin mengambil sesuatu di atas lemari," tutur Fian setelahnya.
Fitri hanya mendengkus pelan dan memutar bola matanya malas. "Aku masih bisa sendiri, Mas. Tidak perlu khawatir," kata Fitri seraya menuangkan mie ayamnya ke dalam mangkuk. Sesekali ia melirik ke arah sang suami yang terus memperhatikannya. "Lagipula, aku pasti bisa menjaga diriku sendiri kok."
"Tetap saja aku khawatir, sayangku." Fian merangsek maju dan mendudukkan dirinya di depan sang istri. Ia ingin menemani istrinya yang sedang mengidam itu makan. "Kamu kan orangnya sedikit ceroboh." Fian terkekeh saat mendapati respon cemberut dari sang istri akan perkataannya.
"Iya-iya! Dasar tuan posesif!" Fitri lebih memilih mengalah daripada harus berdebat dengan Fian. Suaminya itu punya seribu satu argumen jika ia melanjutkan perdebatannya. Lebih baik ia fokus pada mie ayam pedas di depannya sekarang. Jelas perutnya sudah sangat menantikan rasa panas dan pedas yang juga akan membakar lidah plus kerongkongannya.
Namun, Fitri harus menelan kekecewaan kala rasa mie ayamnya tidak sesuai dengan ekspektasinya. Pedasnya hanyalah pedas biasa, bukan pedas yang ia inginkan. Ini kurang pedas! Fitri menatap sengit pada Fian yang duduk di seberang meja sedang tersenyum menatapnya.
"Mas! Kok nggak pedas, sih?! Aku kan ingin yang pedas-pedas!"
Fian sedikit berjengit kaget karena pekikan istrinya tersebut. Keningnya mengerut dan mulai beranjak berdiri menghampiri Fitri di sana. "Masa, sih? Tadi aku sudah memasukkan lima sendok sambal, loh." Fian mengambil sesendok mie dan memakannya untuk membuktikan perkataan sang istri bahwa mie tersebut tidak pedas.
Setelah makanan itu menyentuh lidahnya, Fian terpaksa harus membungkam mulutnya rapat-rapat dengan mata melotot kaget. Ia menatap horror pada mangkuk berisi mie ayam di atas meja. Lantas mengunyah mie yang ada di dalam mulutnya dengan cepat, dan meraih gelas air minum yang terlihat oleh mata kelamnya, lalu meminum isinya dengan terburu-buru.
Tak!
Fiam meletakkan kembali gelas kaca tersebut hingga menimbulkan suara nyaring yang menjadi pemecah keheningan saat itu. "Kamu bilang mie ini tidak pedas?! Ini sudah sangat pedas, Fitri! Kamu gila?!"
"Hahaha! Maaf, Mas! Aku hanya bercanda, kenapa kamu percaya?"
"APA?!"
•
•
•
Hahaha, sepertinya Fian dikerjai oleh Fitri. Jahil banget sih, ibu hamil ini. (~‾▿‾)~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro