Bagian 71 ⭒࿈⭒ Menyerahkan Diri
•
•
•
"Mas," panggil Fitri pada Fian yang sedang asik menonton televisi. Fian membalasnya dengan gumaman khas laki-laki itu, membuat Fitri jadi semakin gugup di tempatnya. Ia berniat untuk mengatakan keinginannya perihal seorang anak pada suaminya tersebut. Sungguh, ia benar-benar sudah siap lahir dan batin sekarang.
"Mas, aku sudah siap." Fitri kembali berujar sembari tersenyum geli karena suaminya itu sama sekali tidak terusik dengan suaranya. Fitri yang memang sudah mempelajari semua hal yang dibutuhkan untuk membangkitkan gairah laki-laki itu mulai mendekat dan memeluk Fian dari belakang.
Namun, Fian masih tidak terusik. Laki-laki itu masih saja fokus pada tayangan sepak bola di televisi. Fian baru bereaksi ketika tangan lentik Fitri mulai merayapi dada bidangnya dengan perlahan. Laki-laki itu sedikit menolehkan kepalanya ke belakang dan mendapati raut wajah istrinya yang menatap dirinya dengan sayu.
Glek!
"A-ada apa?"
Sial! Kenapa aku jadi gugup begini?!
"Hm? Tidak ada." Fitri memajukan wajahnya dan mengecup pipi kanan Fian dengan begitu pelan. Kedua tangannya masih bertengger di dada bidang sang suami dan memeluknya dengan erat.
"Sayang, jangan seperti ini. Nanti aku tidak bisa menahan diri," tutur Fian dengan begitu lirih. Ia mati-matian menahan diri agar tidak menerkam istri nakalnya ini. Otaknya masih waras. Sungguh, ia tidak ingin memaksa istrinya.
"Maka tidak perlu menahan diri, suamiku. Aku sepenuhnya milikmu."
Shit! Peduli setan!
Fian yang benar-benar sudah terpancing langsung memencet tombol power di remote televisinya dan layar itupun mati dengan sendirinya. Ia langsung mengangkat tubuh istri tercintanya dan menggendongnya ke dalam kamar. Fitri dapat melihat kabut gairah yang sangat besar di kedua bola mata Fian. Laki-laki itu memberikan kecupan-kecupan kilat di seluruh permukaan wajahnya seraya menggeram tertahan.
Sesampainya di dalam, Fian menutup pintu kamarnya dengan satu tendangan kakinya. Setelah itu ... kalian mungkin sudah tahu apa yang dilakukan sepasang suami-istri itu di sana. Ya, Fitri telah memberikan dirinya sepenuhnya pada sang suami. Ia sudah tidak ragu ataupun takut lagi. Ia benar-benar menyerahkan dirinya dengan harapan ... segera tumbuh janin kecil yang akan menemani hari-harinya nanti.
"Kamu milikku, Fit."
⭒࿈⭒
Fitri terbangun keesokan paginya dengan badan yang terasa remuk dan pegal, terutama di bagian pinggang. Kepalanya ia tolehkan ke samping kanan dan mendapati Fian yang masih tertidur di sana. Rona merah langsung menjalari wajahnya kala mengingat hal yang mereka lakukan semalam. Fian menggagahinya sampai jam 3 pagi, bayangkan. Jika saja ia tidak merengek kelelahan, mungkin suaminya itu akan terus dengan kegiatannya.
Perlahan, Fitri mencoba bangun dan mendudukkan dirinya sembari memegangi selimut di bagian dadanya untuk menutupi tubuh telanjangnya. Ia meringis kesakitan kala rasa perih dan ngilu terasa menjalar di area kemaluannya.
"Sshh! Sakit sekali," lirih Fitri sembari memegangi nakas di sampingnya. Gadis itu masih berusaha mendudukkan dirinya hingga sebuah tangan kokoh mulai melingkari pinggangnya dan kecupan kecil yang terasa di bahunya.
"Mau ke mana, hm?" Suara serak Fian kembali membuat Fitri merona. Suaminya itu bertanya dengan kelopak mata yang masih senantiasa tertutup. Namun rangkulan Fian pada pinggangnya makin mengerat, seolah melarangnya untuk pergi ke mana-mana.
"A-aku mau mandi, dan sekaligus memasak untuk sarapan tentunya." Fitri berujar sembari berusaha melepaskan rangkulan Fian pada pinggang dan perutnya, pun dengan dadanya yang berdebar keras.
"Tidak usah, tidur saja lagi. Pasti masih sakit, 'kan? Jangan memaksakan diri, sayang."
Blush!
Matian-matian Fitri menahan rasa panas yang semakin menjalari wajahnya. Suaminya itu memang benar-benar ahli dalam menggoda wanita. Ah, ia sudah menjadi wanita sekarang. Tanpa sadar Fitri mengelus tangan Fian yang melingkari perutnya. Berharap akan segera tumbuh malaikat kecil di sana.
"Memangnya kamu tidak kerja?" tanya Fitri. Mengingat hari ini bukanlah hari libur, pastilah suaminya itu harus bekerja sekarang. Diliriknya jam dinding di atas pintu kamar yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Fian berangkat kerja pukul tujuh pagi biasanya.
"Tentu saja kerja, tapi kamu tidak perlu memaksakan diri. Istirahatlah, aku bisa sarapan di luar nanti." Fian menarik pelan pinggang Fitri dan mengkode sang istri agar kembali merebahkan diri di sampingnya. "Jangan membantah, aku mengkhawatirkanmu." Fian kembali berujar kala merasakan gerak-gerik penolakan dari sang istri.
"Hah, baiklah-baiklah."
Ya, Fitri hanya bisa pasrah sekarang. Lagian sebenarnya, ia pun juga lelah dan selangkangannya masih terasa perih jika ia bergerak. Akan lebih baik kalau ia menuruti perintah suaminya tersebut saat ini. Fitri kembali merebahkan dirinya di ranjang dan menaikkan selimut sampai area dada untuk menutupi tubuh telanjangnya.
Hingga tiba-tiba ia harus terpekik kaget karena Fian ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuh telanjangnya dengan erat. Wajah Fitri sudah merona sempurna dengan jantung yang berdentum-dentum heboh di dalam dadanya. Ini masih pagi, dan ia sudah senam jantung saja. Sepertinya ia harus mulai terbiasa menghadapi hal-hal seperti ini mulai sekarang.
"Mikirin apa, sih?"
Fian yang menyadari kalau istrinya masih belum memejamkan mata dan malah termenung sembari menatap langit-langit kamar dengan wajah merona, spontan bertanya. Dirinya dibuat mengerutkan kening kala bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan tingkah Fitri yang tiba-tiba melesakkan wajah cantiknya pada dada bidangnya. Fian mengelus rambut sebahu itu dengan lembut.
"Kenapa, hm?"
"Diamlah, Mas. Aku malu, tahu."
Samar-samar Fian dapat mendengar suara malu-malu istrinya. Membuat ia tertawa terbahak-bahak tanpa sadar. Betapa menggemaskannya Fitriana Ayodya ini, batinnya.
"Ngapain malu? Aku kan suami kamu, sayangku." Fian terkekeh geli dan mengaduh sakit setelahnya kala pinggangnya dicubit oleh sang istri. "Duh, gemesin banget sih istriku ini."
"Sudah, Mas! Malu, ihh!"
"Hahaha, lucu banget sih!"
Bug! Bug! Bug!
Fitri yang terlampau malu sontak memukuli suaminya tersebut dengan bantal tidurnya. Ia tidak peduli kalau dikatain durhaka sama suami, kekerasan dalam rumah tangga, atau apalah itu. Pokoknya ia malu, ia kesal dengan Fian. Bisa-bisanya suaminya itu menertawakannya.
"Hei! Hei! Berhenti, Fit!"
"Tidak akan! Kamu menyebalkan!"
Bug! Bug! Bug!
Fian kembali tertawa kencang sembari melindungi wajahnya dari pukulan bantal Fitri. Sungguh, ia terhibur dengan wajah malu-malu sang istri saat ini. Toh, ia tidak keberatan jika menjadi sasaran empuk pukulan bantal istrinya. Asalkan ia sudah puas menggoda Fitriana Ayodya.
"Cieee, yang malu-malu."
"Udah ihh, Mas! Nyebelin banget, sih!"
"Hahaha, istri siapa sih kamu?"
"Istri kamu, lah!
"Ah, masa iya?"
"Bodo, ah!"
"Hahaha, gemesin banget sih!"
"Nggak denger, aku pakai headset!"
•
•
•
Gitu emang ya, kalo lagi akur.
(^v^)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro