Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 66 ⭒࿈⭒ Rencana Kecil



"Aku dengar, Mbak sama Mas Fian pindah rumah. Pindah ke mana, Mbak?"

Mufidah, adik kedua dari Fitri itu bertanya pada sang kakak yang tengah asik membungkus beberapa camilan di depannya. Ia dan kakaknya berada di toko ibunya saat ini. Kebetulan hari Sabtu, dan sekolahnya libur. Jadi ia bisa turut menemani kakak perempuannya ini berjualan.

"Rumah Pakdhe Kholil yang ada ayunan di depannya itu, kamu tahu kan?"

Netra Mufidah langsung berbinar sempurna. "Rumah yang ada ayunan besar itu?!" tanyanya lagi mencoba memastikan kalau pendengarannya tidak salah.

Fitri mengangguk dengan seulas senyum bangga di bibir. "Iya! Keren, 'kan? Nanti sesekali mampir ke rumah, kan dekat dari pasar."

Jelas saja Mufidah akan mengiyakannya tanpa berpikir lebih lama lagi. Ia akan dengan senang hati mampir ke sana dan menghabiskan waktu dengan kakak perempuannya. Toh, ia hanya tinggal berjalan beberapa ratus meter saja untuk sampai ke sana. Mengingat jaraknya yang memang dekat.

"Nanti aku bakalan mampir ke rumah dan kita nonton film India bareng, okey?!" seru gadis berusia 15 tahun itu dengan riangnya. Fitri mengangguk dengan semangat, bahkan sampai mengepalkan tangannya ke atas. "Ohh, iya! Mbak udah ngasih tahu ke teman-temannya Mbak yang lain belum? Mbak Wasilah, Mbak Emi, Mbak Kania, Mbak Azmil, dan Mbak Qonita."

Kakak kedua dari Mufidah itu menggelengkan kepalanya perlahan. "Mbak lupa memberitahu mereka," tutur Fitri dengan polosnya.

Spontan saja Mufidah menepuk jidatnya dengan sedikit keras. Gadis itu langsung berkacak pinggang dan mendelik tajam pada sang kakak yang justru malah menampilkan cengiran lebarnya sekarang.

"Mbak itu gimana, sih?! Bisa-bisanya nggak ngasih tahu sahabat sendiri!" sungut Fida dengan nada jengkelnya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan kakaknya tersebut. Tingkat lolanya jadi semakin parah setelah menikah.

Kekehan kecil terdengar setelahnya. Fitri meraih buku nota kecil yang terletak di atas etalase dan mulai menuliskan rincian harga camilan yang telah terjual pagi ini. "Yah, mau bagaimana lagi. Namanya juga orang lupa, Dek."

Mufidah mendengkus. "Tapi lupanya Mbak itu sudah di tahap stadium akhir, tahu! Sudah sangat, sangat, sangat parah sampai tidak terkendali," ujarnya dengan hiperbola. Membuat Fitri jadi semakin terkekeh geli dibuatnya.

"Iya, iya. Maaf, deh. Nanti Mbak akan memberitahu mereka, segera."

Seulas senyum langsung mengembang di wajah cantik Mufidah. Tanpa kakaknya sadari, dia sudah seperti panutan bagi dirinya. Setiap langkah yang diambil sang kakak tampak begitu keren di matanya. Ia jadi ingin seperti kakaknya tersebut.

"Titip salam buat mereka kalau begitu, Mbak. Sudah lama sekali aku tidak melihat kelima sahabatmu berkeliaran di sekitar pasar," tutur Fida apa adanya.

Fitri mengernyit heran. Tidak biasanya, pikirnya. Karena yang ia tahu, kelima sahabatnya itu tidak bisa jauh-jauh dari yang namanya pasar. Entah hanya sekadar berbelanja untuk kebutuhan memasak, ataupun membeli kebutuhan pribadi seperti pakaian dan make up.

"Serius kamu sama sekali tidak melihat mereka akhir-akhir ini?" tanya Fitri mencoba memastikan. "Wasilah? Emi? Mereka biasanya kan ke pasar untuk berbelanja kebutuhan toko kecil mereka di rumah."

Fida mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu-menahu perihal itu. Yang ia tahu, ia memang tidak melihat sahabat-sahabat kakaknya akhir-akhir ini. Bisa jadi mereka memang ke pasar, tapi kebetulan tidak bertemu dengannya. Bisa jadi seperti itu, kan?

"Mungkin papasan, tapi aku nggak sadar, Mbak." Fida hanya mencoba mengurangi kekhawatiran kakaknya tersebut. Ia tidak tahu kalau perkataannya akan membuat sang kakak sampai begitu kepikiran dan cemas berlebihan seperti ini. Padahal ia hanya mengatakan menurut sudut pandangnya saja, dan belum tentu juga hal itu benar adanya. Namun lihat, sang kakak malah menelan mentah-mentah informasi darinya.

"Hah ... mungkin Mbak memang harus mengunjungi rumah mereka satu per satu untuk melihat sendiri keadaan dan kabar mereka, Fid."

Ya, sepertinya itu adalah satu-satunya solusi yang bagus untuk saat ini. Toh, sudah lama juga ia tidak berkumpul bersama kelima sahabatnya. Ia sudah sangat rindu saat-saat bermain dengan mereka. Menyewa kaset untuk menonton film, bersepeda bersama mengelilingi desa, bermain di sawah dan sebagainya.

"Lebih baik juga seperti itu, Mbak. Sekalian silaturahmi, 'kan?"

"Iya, sekalian silaturahmi."

⭒࿈⭒

Di siang hari yang cukup terik, di sinilah Fitri berdiri sekarang. Tepatnya di suatu rumah sederhana bernuansa alam dengan pagar kayu bercat hitam. Ini merupakan rumah dari salah satu sahabatnya. Rumah Kania lebih tepatnya. Ia memilih rumah Kania sebagai destinasi pertama karena rumah Kania memang yang paling dekat jaraknya dari pasar.

Rumah Kania memiliki halaman yang ditumbuhi banyak tanaman hias. Ada bunga mawar, anggrek, sepatu, dan lain sebagainya. Kania dan ibunya memang suka sekali mengoleksi tanaman hias. Maka dari itu, ia akan betah sekali berlama-lama di halaman rumah Kania jika sedang ke sini.

"Eh, Fitri! Tumben sekali kamu ke rumah!"

Pekikan yang berasal dari arah kanannya itu membuat Fitri langsung menoleh ke sumber suara. Kania berdiri di sana sembari membawa dua kantong kresek berisi sabun, sampo, sikat gigi, dan kebutuhan mandi lainnya. Tampak sekali kalau sahabatnya itu habis berbelanja kebutuhan kamar mandi.

"Haha, iya nih! Aku kangen kalian, ngumpul yuk!" ajak Fitri sembari mengembangkan cengirannya seperti biasa. Ia berinisiatif membawakan salah satu kresek yang dibawa Kania dan mengikuti sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.

"Ayok! Sudah lama juga nggak ngumpul bareng. Aku ada kaset film India baru, loh!" seru Kania tak kalah semangat. Jikalau sudah berbicara soal film India, Kania adalah orang yang paling fanatik pada film tersebut selain dirinya. Idolanya adalah Hrithik Roshan.

"Kalau begitu, ayo segera selesaikan urusanmu dulu! Baru setelah itu kita ke rumah yang lain untuk menjemput mereka," saran Fitri dengan netra yang sudah berbinar-binar gembira. Ia sangat menantikan film baru yang dikatakan Kania. Semoga saja filmnya memang sebagus ekspektasinya.

"Siap! Aku akan izin Ibu lebih dulu kalau gitu, Fit! Kamu duduk dulu saja di teras, ya? Aku akan segera kembali, kok!"

Fitri mengangguk singkat dan menuruti perkataan Kania dengan cepat. Ia menunggu sang sahabat di teras rumahnya. Mendudukkan diri di salah satu kursi kayu sembari menikmati indahnya tanaman hias di sana. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana. Memikirkan rencana seru apa saja yang akan ia lakukan bersama kelima sahabatnya nanti.

Hingga suara Kania kembali membawanya dari lamunan. Sepertinya, sahabatnya itu sudah selesai dengan urusannya.

"Ayok! Aku sudah menyelesaikan tugasku dan sudah izin juga pada Ibuku!"

Senyuman Fitri mengembang.

"Kalau begitu, tunggu apalagi? Let's go!"




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro