Bagian 65 ⭒࿈⭒ Kesempatan Terakhir
•
•
•
"Ya ampun, melelahkan sekali."
Fian tersenyum melihat sang istri yang mulai merengek karena kelelahan sembari menyandarkan punggungnya di kursi tersebut. Mereka memang sedang berberes rumah. Menyapu, mengepel, mengangkat barang-barang, memindahkan perabotan, dan lain-lain.
Ya, mereka sudah berada di rumah Pakdhe Kholil sekarang ini. Beliau bahkan menyambut kedatangan Fitri dan Fian tadi. Pria paruh baya itu terlihat sangat antusias saat menyambut kedatangan keduanya tadi.
Tentunya Fitri dan Fian merasa sangat diterima di sini. Keduanya sepakat akan membersihkan dan merenovasi rumah Pakdhe Kholil sebaik mungkin. Toh, mereka juga kan yang akan menempati rumah tersebut nantinya. Entah untuk berapa lama, baik Fitri dan Fian juga belum tahu akan hal itu.
Namun yang jelas, sebisa mungkin mereka harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baru di sini. Karena pastinya, ada beberapa perbedaan di setiap lingkungan tempat tinggal setiap orang. Akan tetapi, perbedaan itulah yang akan melahirkan persatuan dan kesatuan pada setiap diri masyarakat Indonesia, terutama masyarakat daerah itu sendiri.
"Istirahat dulu kalau lelah, kita bisa melanjutkannya nanti." Fian berujar sembari menuangkan es teh dari teko ke gelas yang ada di genggamannya.
Fitri merengut. "Kalau istirahat sekarang, nanti selesainya akan lebih lama dong."
Kalau dipikir-pikir, memang ada benarnya juga kata Fitri. Jika sedikit-sedikit istirahat, kapan selesainya? Akan tetapi, kalau tidak istirahat juga pasti akan lelah sendiri nantinya. Jadi, solusi yang terbaik bagaimana?
"Sudah, yang penting istirahat dulu biar nggak kecapean nanti. Kalau memang tidak selesai hari ini, kan masih ada besok." Fian memang harus banyak-banyak bersabar menghadapi kekeraskepalaan istrinya itu. Terkadang, Fitri memang suka mengkhawatirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan.
"Hm, baiklah." Fitri menghela napasnya sejenak sebelum kembali berujar. "Aku akan istirahat di kamar kalau begitu," ujarnya sembari mulai berdiri dari duduknya dan beranjak ke kamar.
Kamar yang ia dan Fian tempati adalah kamar yang berada di ruang tengah. Di rumah ini ada dua kamar, satunya lagi kamar belakang dekat dapur. Fitri mungkin akan menggunakannya sebagai gudang atau dibersihkan untuk dibuat kamar tamu. Jikalau ada sanak saudara yang ingin menginap, mereka tidak akan bingung lagi perihal kamar.
Kamar itu sudah disulap dengan cantik oleh Fitri. Sprei yang kotor sudah ia ganti dengan yang baru. Kaca-kaca jendela yang berdebu sudah ia bersihkan dan ia lap. Lemari kayu setinggi 1,5 meter dengan dua pintu yang semula kotor, juga sudah ia bersihkan dan ia beri pewangi.
Istri dari Aldiano Lutfiansyah itu langsung merebahkan diri di atas kasur dan mulai terlarut dalam lautan mimpi. Efek lelah membuat Fitri sudah tidak ingin memikirkan apapun lagi selain rasa kantuk yang menyerangnya. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau sang suami memerhatikannya dari pintu kamar sana.
Ya, Fian tengah berdiri sembari bersedekap di pintu kamar. Awalnya laki-laki itu hanya ingin bertanya perihal sepeda mereka yang akan ditaruh di mana. Eh, Fian malah menemukan pemandangan lucu di mana sang istri sudah tertidur dengan posisi meringkuk di atas kasur.
Kekehan geli pun keluar dari bibir Fian kala melihat posisi tidur istrinya tersebut. Karena takut Fitri akan tidak nyaman dengan posisi tidurnya, Fian pun berinisiatif membenarkan posisi tidur istrinya. Ia meluruskan kedua kaki Fitri dan membenarkan letak bantal yang sedikit melenceng dari kepala Fitri. Kemudian mengambil selimut di lemari dan memakaikannya kepada sang istri. Untuk sentuhan terakhir, ia memberikan satu kecupan lembut pada kening Fitri.
"Selamat tidur my angel."
⭒࿈⭒
Kini mentari sudah kembali ke peradaban. Memunculkan rembulan yang turut menyaksikan. Ribuan burung pun kembali ke sarangnya. Begitu juga dengan ikan-ikan yang mulai tenggelam ke dasar lautan.
Namun berbeda dengan Rama. Laki-laki itu tengah berdiri di suatu rumah dengan ornamen putihnya di sana. Menunggu seseorang yang tinggal di dalamnya keluar menemuinya.
Kriett ...
Ceklek!
"Kamu lagi. Maumu apa sih, Ram?"
"Please, kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Silfy."
Silfy memutar bola matanya malas. "Kesempatan apa? Aku sudah tidak ingin berurusan denganmu lagi. Tidakkah kau mengerti itu, Ram? Aku lelah denganmu, tidakkah kau mengerti?"
"Tapi aku masih-"
"Stop! Please, stop it!" Silfya mengusap dengan kasar air mata yang seenak jidat turun begitu saja dari kornea matanya. "Aku akui aku masih menyayangimu, Ram. Tapi aku tidak akan sanggup kalau kamu masih menomorsatukan almarhumah kekasihmu itu di hatimu," tutur Silfya dengan isakan yang semakin menjadi-jadi.
Seolah bisa merasakan sesak yang Silfya rasakan, Rama pun langsung memeluk gadis itu dengan erat. Tak ia indahkan protesan dari gadis yang berada di pelukannya kini. Pukulan-pukulan kecil yang dilayangkan Silfya pada Rama pun tak membuat laki-laki itu jera.
"Tidak, Sil. Aku tidak akan melepaskanmu lagi, tolong beri aku kesempatan. Aku janji akan memperbaiki semuanya."
Brug!
Dengan sisa tenaganya, Silfya mendorong tubuh Rama agar menjauh darinya. "Satu." Rama menatap gadis di depannya dengan satu alis terangkat. "Satu kesempatan terakhir atau tidak sama sekali," ujar Silfya kemudian.
Tanpa dikomando, senyuman Rama mengembang sempurna. Laki-laki itu langsung menerjang Silfya dengan pelukan mautnya. Memberikan kecupan-kecupan kecil pada wajah gadis yang sangat dicintainya. Rama begitu senang karena Silfya mau memberikan ia kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki hubungan mereka yang retak.
Cup!
Cup!
"Stop, Ram! Bagaimana kalau ada tetangga yang lihat?!" pekik Silfya sembari berusaha menjauhkan wajah Rama dari dirinya. Ada perasaan geli dan bahagia yang kini ia rasakan. Karena jujur di dalam hatinya yang terdalam, ia sangat-sangat mencintai Rama.
"Hahaha, aku senang sekali karena bisa memilikimu lagi, Silfy!" teriak Rama dengan kencangnya.
Membuat Silfy sampai mendelik dan spontan membekap mulut berisik laki-laki itu agar menghentikan teriakan girangnya sekarang juga. Karena jika tidak, akan sangat bahaya kalau para tetangganya mendengar dan melihat hal ini. Bisa-bisa ia akan langsung dinikahkan saat itu juga oleh kedua orang tuanya.
Tidak, ia tidak mau.
Ia tidak akan siap jika jadi istri orang sekarang, sekalipun itu orangnya Rama. Tidak, ia tidak mau dan ia tidak akan siap. Setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Bisa saja dua atau tiga tahun lagi.
Astaga! Kok aku mikir kesitu, sih?!
Gelengan kepala dan ekspresi frustasi Silfya membuat Rama yang sedari tadi memerhatikan tingkah kekasihnya itu harus dibuat bingung sekarang. Ia langsung bertanya apa yang dipikirkan oleh gadis itu. Namun, bukan jawaban yang ia dapatkan. Melainkan senyum malu-malu dengan rona merah di pipi yang membuat Silfya Ayu jadi semakin menggemaskan.
"Gemesin banget sih pacarnya aku."
•
•
•
Eakk, si Rama ternyata bucin sekali ya ges :v
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro