Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 64 ⭒࿈⭒ Hari Kepindahan



Hari demi hari pun berlalu dengan cepat. Kini Fian dan Fitri tengah bersiap untuk pindahan. Keduanya sudah menata semua barang-barang yang akan mereka bawa sedari subuh tadi. Yang paling antusias di sini adalah Fitri. Karena senyuman dari gadis pemilik lesung pipi itu terus saja mengembang sejak tadi. Fian sendiri sampai dibuat heran dengan tingkah istrinya tersebut.

Apakah bibirnya tidak lelah jika terus tersenyum seperti itu?

Ia rasa jawabannya adalah tidak. Lihat saja sekarang, Fitri malah asik sendiri memasukkan baju-bajunya ke dalam tas sembari bersenandung ria. Tampak sangat bahagia sekali sepertinya.

"Kamu tidak lelah?"

Spontan pertanyaan itu keluar saat Fian menyadari kalau hari sudah semakin siang. Sudah pukul sepuluh siang sekarang, dan Fitri belum juga istirahat sejak subuh tadi. Energi istrinya itu banyak juga, pikirnya.

Sang empunya nama yang ditanyai hanya menggeleng dan melempar senyuman manisnya pada sang suami. "Aku tidak kelelahan kok, Mas. Justru aku sangat senang sekarang," jawab Fitri disertai cengiran lebarnya.

Fian mendengkus, lantas beranjak berdiri dan menarik sang istri. Mengabaikan pekikan tertahan Fitri, dan mendudukkannya di kursi. "Istirahatlah dulu. Biar aku yang melanjutkannya," ujar Fian.

"Eh, tapi-"

"Tidak ada tapi-tapian, sayang. Kau sudah bekerja dari subuh tadi tanpa beristirahat. Sekarang, biarkan aku yang membereskan sisanya."

Netra Fitri memicing, mencoba mencari kebohongan dibalik manik sekelam malam milik sang suami. Seolah bisa mengerti isi pikiran istrinya, Fian berujar. "Percayakan saja padaku. Aku akan melakukannya dengan cepat," kata Fian sembari menyunggingkan senyumannya.

Mau tak maupun, Fitri harus menurut. Gadis itu memilih duduk di atas ranjang dengan kaki bersila sembari memerhatikan aktivitas suaminya. Sesekali akan terjadi interaksi di antara mereka. Entah Fian yang memulai percakapan terlebih dahulu ataupun Fitri yang memulai.

Baju-baju, peralatan make up, lemari, sprei kasur, dan lain-lain juga mereka bereskan dengan cepat. Keduanya memastikan tidak ada yang tertinggal. Fian pun sudah menyewa mobil pick up untuk mengangkat semua barang-barang itu ke rumah Pakdhe Kholil. Mengingat banyaknya barang bawaan mereka, rasanya tidak mungkin jika hanya dalam sekali perjalanan saja. Mungkin membutuhkan tiga kali perjalanan bolak-balik baru semua barang bisa dipindahkan.

"Aku sudah menyewa pick up untuk membawa semua barang-barang ini," tutur Fian sembari mengangkat kardus-kardus berisi pakaian dan buku-bukunya.

"Eh! Pakai uang siapa, Mas? Nyewa mobil pick up dan sopirnya itu kan, tidak murah."

"Tenang saja, aku menyewa milik tetangga kita kok. Milik Pak Hasan yang rumahnya ada di ujung sana. Dekat rumahnya si John," ujar Fian berusaha menenangkan istrinya yang mulai mencemaskan masalah finansial, lagi.

"Ohh, punya Pak Hasan toh. Syukurlah kalau begitu. Jadi kita bisa sedikit lebih menghemat uang untuk keperluan pribadi," kata Fitri disertai senyum kecil yang tersungging di bibirnya.

"Iya, punya Pak Hasan. Jadi kamu tidak perlu khawatir, okey?"

Fitri mengangguk masih sambil mempertahankan senyuman manisnya. Ia yang merasa sudah cukup beristirahat, kini mulai beranjak berdiri dan membantu sang suami. Fian sempat mengomelinya, tapi dengan bujuk rayu dan sedikit kecupan saja sudah cukup untuk meluluhkan laki-laki itu.

"Biarkan aku membantu."

⭒࿈⭒

"Barangnya sudah semua? Tidak ada yang ketinggalan?"

Fitri tersenyum dan mengangguk singkat. "Sudah semua kok, Ibu. Tadi aku sudah memastikannya tiga kali," jawab Fitri.

"Kalau begitu, ayo! Aku akan ikut mengantar kalian berdua!" seru Sajidah dengan semangatnya. Wanita yang saat ini tengah membawa Maulida dalam gendongannya itu tampak begitu antusias sepertinya.

"Apaan sih, Mbak. Nggak usah ikut-ikutan deh mending. Mbak di sini aja jagain keponakan aku," sanggah Fian dengan nada jengkelnya. Sungguh, ia tidak suka jika sang kakak mulai ikut-ikutan. Di mata Fian, kakaknya itu sekali menyebalkan ya tetap menyebalkan.

Sajidah mendelik sebal mendengar perkataan Fian. "Bisa-bisanya kamu bilang begitu, Dek! Mbakmu ini mengkhawatirkanmu, tahu!" pekik Sajidah sembari berkacak pinggang dengan ekspresi berangnya.

Fian berdecak. "Jangan lebay deh, Mbak. Cuma ke sini sama ke sana doang juga. Jaraknya nggak terlalu jauh," tutur Aldiano Lutfiansyah dengan nada malasnya. Sungguh, ia hanya ingin drama ini segera berakhir.

"Terserah, pokoknya Mbak tetep ikut."

"Dibilang nggak us-"

"Udahlah, Mas. Biarin aja Mbak Sajidah ikut. Toh, mobilnya juga masih muat kan? Mbak juga bisa ikut bantu-bantu beresin barang pindahan nanti. Iya kan, Mbak?" Fitri menoleh ke arah sang kakak ipar dan mengkodenya agar mengiyakan jawabannya.

Sajidah yang paham akan kode Fitri, langsung mengangguk cepat. "Iya! Mbak bakal bantuin kalian buat beres-beres rumah nanti."

"Terus Maulida gimana?" tanya Fian.

"Gampang itu mah. Kan ada Sara sama Ibu yang bakal jagain Maulida," jawab Sajidah dengan santainya. Tidak tahu saja kalau Sara Mona sudah merengut sebal karena jawaban Sajidah barusan.

Nyebelin banget sih, Mbak Jidah! Kenapa jadi aku yang disuruh jagain Maulida?! Sementara dia enak-enakan mau ikut Mas Fian pindahan.

Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Sara Mona sekarang. Ya, ia tengah mengumpati kakak perempuannya yang sangat menyebalkan itu. Bisa-bisanya malah melimpahkan tugas menjaga Maulida padanya dan ibu. Kalau ia sih tidak masalah, tapi kasian ibu kan jadinya.

"Mbak nggak usah ngotot mau ikutan Mas Fian segala, deh. Inget, kerjaan di rumah tuh banyak. Jangan malah nyari kerjaan lain," cecar Sara Mona dengan jengkelnya. "Lagian Mbak Fitri sama Mas Fian bisa sendiri kali, bersihin dan beres-beres rumah baru mereka."

Sajidah menghela napasnya, pasrah akan keadaan yang memang tidak mendukungnya. Bahkan kedua adiknya sendiri tidak menghendaki keikutsertaannya dalam acara pindahan rumah ini.

"Baiklah-baiklah. Bakal kalah aku kalau adu argumen sama kalian berdua," pasrahnya sembari merangsek mundur membawa Maulida dengan bibir yang sudah mengerucut. Antara kesal dan kecewa karena tidak bisa ikut mengantar kepindahan kedua adiknya.

Fitri yang sedari tadi memerhatikan perdebatan ketiga saudara itu hanya terkekeh pelan dan menenangkan Mbak Sajidah setelahnya. Ia berjanji akan sering-sering berkunjung kalau ada waktu senggang. Karena bagaimanapun, rumah itu juga rumahnya. Rumah sang ibu mertua dan rumah suaminya.

"Janji, loh. Harus sering-sering ke sini jengukin Ibu."

"Iya, Ibu. Kami janji akan sering-sering berkunjung kemari. Lagipula, aku pasti juga akan rindu dengan keponakanku tersayang," tutur Fian sembari memberikan cubitan gemas pada pipi gembul Maulida yang kini sudah beralih ke gendongan ibunya.

"Benar kata Mas Fian, Ibu. Kami akan sering-sering berkunjung dan bermain ke sini, nanti." Fitri mengulas senyum sembari menyalami tangan sang ibu mertua untuk berpamitan.

"Ya sudah, hati-hati di jalan."

"Siap, komandan!"

"Assalamua'laikum!"

"Waalaikumsalam."



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro