Bagian 63 ⭒࿈⭒ Mati Lampu
•
•
•
"Jadi kalian sudah mendapatkan rumah sewa untuk ditinggali?" tanya seorang wanita paruh baya sembari menatap kedua pasutri di depannya dengan serius.
Salah satu di antara keduanya mengangguk cepat. "Iya, Ibu. Kami akan pindah minggu depan," tutur si laki-laki sembari memberikan kode pada sang istri untuk ikut meyakinkan wanita paruh baya di depannya.
"Benar kata Mas Fian, Ibu. Kami akan menempati rumah Pakdhe Kholil di dekat pegadaian sana," sahut Fitri kemudian.
Wanita paruh baya yang diketahui sebagai ibunda dari Aldiano Lutfiansyah itu mengelus dagunya, tampak sedang berpikir sepertinya. "Kalian serius mau keluar dari rumah ini?" tanyanya dengan tatapan yang sudah menyendu.
Fitri menatap iba pada sang ibu mertua. Ia merangsek maju dan memberikan pelukan hangatnya untuk menenangkan ibu mertuanya tersebut. "Ibu, aku dan Mas Fian akan sering-sering berkunjung ke sini kok. Jadi Ibu tidak perlu sedih," tutur Fitri sembari mengusap-usap punggung sang ibu mertua.
"Tetap saja kalian akan pisah rumah dengan Ibu, Fitri." Ibunda Fian itu menghela napasnya yang terasa berat. "Rasanya Ibu tidak rela jika harus berpisah dari kalian berdua," lirihnya.
Fian yang melihat drama picisan antara ibu dan istrinya itu hanya memutar bola matanya malas. Ia sungguh bingung dengan pola pikiran kaum hawa. Apa-apa dibawa perasaan, apa-apa melankonis, sedikit-sedikit dramatis.
"Sudahlah Ibu. Apa yang dipermasalahkan, sih?" tegur Fian yang spontan saja membuat pelukan perempuan berbeda usia itu terlepas. "Benar kata Fitri, kita berdua akan sering-sering berkunjung ke sini kok. Lagipula, ini kan tempatnya masih satu kabupaten."
"Kamu itu suka sekali menghancurkan suasana," gerutu sang ibu sembari mendelik kesal pada putranya tersebut.
Fian terkekeh di tempat. "Ya maaf, lagian Ibu juga terlalu mendramatisir keadaan, sih."
Aldiano Lutfiansyah dan segala perkataan yang keluar dari mulutnya memang menyebalkan. Lihat saja cengiran lebar yang ditunjukkan laki-laki itu sekarang. Membuat Fitri jadi ingin sekali menghajarnya jika ia tidak ingat kalau Fian adalah suami tercintanya.
"Kamu saja yang tidak mengerti perasaan perempuan!" kesal sang ibu yang kini sudah berdiri dan hendak beranjak pergi meninggalkan tempat. Membuat kedua pasutri tersebut hanya menatapinya dengan salah satu alis terangkat. Fian dan Fitri saling pandang setelahnya, lantas terkekeh bersama kemudian. Tidak ada yang tahu apa yang keduanya pikirkan selain diri mereka sendiri.
"Ibu kamu itu memang ada-ada saja," kekeh Fitri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.
Fian pun juga ikut terkekeh setelahnya. Kemudian kedua pasangan suami-istri itu memutuskan untuk kembali ke dalam kamar mereka. Namun belum sampai niat itu terlaksana ...
Ctak!
"Aaaa gelap!"
"Mati lampuuuu!"
... lampu rumah tiba-tiba mati. Suasana gelap gulita seketika. Teriakan-teriakan lebay dari para kaum hawa yang didominasi oleh Fitri, Sajidah, dan Sara Mona menjadi melodi ramai di malam itu.
"Huaaa, ini siapa sih yang matiin lampunya?!"
Pekikan Sara Mona terdengar dari arah kiri tempat Fian berdiri saat ini. Laki-laki itu menghela napasnya sembari memegangi pergelangan tangan sang istri yang sedari tadi sudah bergelayut di lengannya.
"Takut Mas," cicit Fitriana Ayodya tanpa melepaskan cengkramannya pada lengan kokoh sang suami.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sekarang diamlah di sini. Aku akan keluar dan mencari saklar lampunya. Siapa tahu ini bukan pemadaman listrik berkala," tutur Fian sembari berjalan dengan hati-hati di dalam gelapnya ruangan. Fian memutuskan menjadikan dinding sebagai pegangannya saat ini.
"Nggak! Mau ikut!" rengek Fitri yang langsung mengeratkan pegangannya pada lengan kokoh Fian. Dapat ia dengar helaan napas berat yang lagi-lagi dikeluarkan oleh suaminya tersebut.
"Dengar, sayang. Aku hanya akan keluar sebentar, okey? Jadi diamlah di sini dan jangan ke mana-mana kalau tidak ingin tersandung."
Fitri menggeleng, ia tetap pada pendiriannya. "Nggak mau! Pokoknya aku ikut!" tekannya.
"Terserahlah."
Jika saja ia bisa memilih, ia akan memilih meninggalkan istrinya begitu saja dan segera memperbaiki listrik di rumahnya. Namun ia tidak bisa memilih melakukan itu, atau ia tidak akan tidur di ranjang empuknya malam ini. Ya, Fitri akan mengusirnya dari kamar dan menyuruhnya tidur di luar. Jadi untuk menghindari hal itu, lebih baik ia mengiyakan dan membawa istrinya turut serta ke teras di mana saklar lampunya berada.
"YAN! TOLONG LIHATIN SAKLAR LAMPU DI LUAR DONG!"
Suara menggelegar yang diketahui berasal dari arah dapur itu membuat Fian harus lebih bersabar kali ini. Itu tadi teriakan Mbak Sajidah, kakaknya. Sudah dipastikan kalau sang kakak beserta sang ibu tengah memasak makan malam di sana, tadinya.
"IYA! INI JUGA MAU DICEK!"
Usai meneriakkan balasan pada sang kakak, Fian kembali melanjutkan langkahnya sembari menuntun istri tercintanya yang tengah ketakutan. Sesekali ia akan membisikkan kata-kata menenangkan agar Fitri tidak takut. Karena sejatinya, sang istri memang memiliki sedikit ketakutan pada kegelapan.
"Peluk erat-erat lenganku dan jangan pikirkan apapun, sayang."
"Takut ..."
"Tidak usah takut, aku bersamamu."
Jika dalam keadaan normal, sudah pasti Fitri akan tersipu dengan perkataan suaminya barusan. Sayangnya tidak bisa seperti itu untuk sekarang. Ia terlalu takut dengan suasana gelap yang terjadi saat ini. Ia tidak bisa melihat apa-apa selain suara Fian yang tengah mencoba menenangkannya.
Ada suatu kisah di mana ia menjadi sedikit trauma dengan kegelapan seperti sekarang.
Waktu itu adalah malam Jum'at kliwon. Fitri baru saja pulang mengaji bersama kelima sahabat-sahabatnya. Mereka biasanya melewati jalanan besar yang ramai pejalan kaki dan penduduk saat pulang mengaji. Namun malam itu berbeda. Karena jalan yang biasa mereka lalui sedang ditutup untuk perbaikan.
Emi yang memang sangat hafal dengan jalanan di sekitar sana, membawa mereka berlima melewati jalan pintas. Di awal Emi sudah mengatakan, kalau jalanan ini akan sedikit gelap karena memang tidak ada penerangan. Akan tetapi, yang Fitri lihat justru sebaliknya.
Jalanan itu bukan sedikit gelap lagi, tapi memang benar-benar gelap. Tidak ada pencahayaan sama sekali selain cahaya rembulan di atas sana yang tidak banyak membantu. Mau tidak mau, mereka harus melewati jalan tersebut karena hari yang semakin malam. Jika mereka tidak segera sampai di rumah, bisa-bisa mereka akan dimarahi oleh orang tua mereka.
Awalnya semua berjalan mulus karena masing-masing dari mereka memutuskan untuk berjalan sembari bergandengan tangan. Mereka hanya mengandalkan cahaya bulan sebagai pencahayaan. Akan tetapi, tiba-tiba saja mereka merasakan hembusan angin yang sangat kuat melintas.
Spontan saja keenam gadis remaja itu terdiam dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa takut, tegang, dan waswas secara bersamaan. Hingga Fitri yang memang paling penakut di antara mereka mulai berteriak dan berlari ketakutan tanpa sebab. Membuat kelima sahabatnya yang lain jadi panik dan ikutan berlari dengan kencang untuk menyusulnya.
"Aku merasakan hembusan napas hangat di tengkukku saat itu, Mas."
Fitri mengakhiri cerita singkatnya sembari menatap pada wajah sang suami yang masih tak bisa dilihatnya karena keadaan rumah yang gelap gulita.
"Hahaha, ada-ada saja sih kamu." Fian tidak bisa jika tidak tertawa setelah mendengar cerita istrinya tadi. Sungguh, Fitri benar-benar lucu menurutnya. "Sudah, jangan mikir yang aneh-aneh. Kita harus segera memeriksa saklarnya."
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro