Bagian 62 ⭒࿈⭒ Permintaan Maaf
•
•
•
"Baiklah-baiklah. Maafkan suami tampanmu ini, okey?"
Fitri mendengkus saat lagi-lagi Fian melontarkan kalimat permintaan maaf itu padanya. Sudah sejak setengah jam yang lalu ia mendiami suaminya itu. Ia hanya kesal karena Fian tidak mengabari dirinya sama sekali tadi. Ya, ini masih soal pulang terlambat.
"Sayangku, cintaku, istriku. Maafin aku, ya?" pinta Fian dengan netra yang dibuat berkaca-kaca. Fiks, laki-laki itu sudah seperti anak anjing yang minta digendong sekarang.
Fitri yang tidak tahan dengan ekspresi menggemaskan suaminya, spontan langsung berhambur ke pelukan Fian. Memeluk suaminya itu dengan erat seolah jika ia melepaskannya, Fian akan hilang dari pandangannya.
"Jangan membuatku khawatir lagi."
Fitri berujar dengan lirih. Jari-jarinya meremas baju kaos yang digunakan suaminya dengan kuat. Membuat Fian jadi ikut terenyuh karena sang istri begitu mengkhawatirkannya.
"Maafkan aku, hm? Tadi aku harus fokus menyetir agar segera sampai di rumah, sayang. Tidak ada kesengajaan ingin membuatmu khawatir," kata Fian sembari mengelus punggung Fitri dengan lembut. Fitri yang sedang merajuk dan merengek seperti ini memang menggemaskan untuknya.
"Tolong jangan membuatku khawatir lagi, Mas." Fitri melepaskan pelukannya dan mendongak menatap Fian dengan netranya yang berkaca-kaca. "Kamu tidak tahu seberapa khawatirnya aku sedari tadi karena menunggu kepulanganmu."
Senyuman Fian mengembang, dicurinya kecupan kilat dari bibir istrinya. Membuat Fitri semakin mengerucutkan bibirnya kesal.
"Haha, aku tahu. Kata Mbak Sajidah kau sampai menungguku berjam-jam di teras, benar kan?"
Fitri mengangguk, membuat senyuman Aldiano Lutfiansyah kian melebar.
"Padahal kamu tidak perlu melakukan itu, Fitri. Jangan menungguku, jika aku memang pulang terlambat. Aku tidak mau kamu kelelahan karena menunggu diriku," tutur Fian dengan lembutnya. Sungguh, ia sangat menyayangi istrinya. Ia tidak ingin Fitri sampai sakit karenanya.
"Aku khawatir, karena itu aku menunggumu. Lagipula, ada kabar gembira yang mau aku beritahukan padamu, Mas." Fitri yang semula masih sedih, kini langsung tersenyum ceria. Gadis itu mengamit lengan sang suami dan mendudukkannya di ranjang.
Fian dengan salah satu alis terangkat, menatap sang pujaan hati dengan tatapan bingungnya. "Jadi, kabar gembira apa itu?" tanyanya yang kini sudah sangat penasaran akan hal ingin diberitahukan Fitri padanya.
"Aku sudah mendapatkan rumah yang akan kita tinggali nanti!" seru Fitriana Ayodya sembari merentangkan kedua tangannya disertai dengan senyuman lima jarinya yang tak luput dari pandangan Fian. Gadis itu tampak begitu senang hingga membuat Fian tak bisa menahan kekehan gelinya sekarang.
"Jadi, di mana letak rumah itu? Berapa harga sewa per bulannya? Apakah letaknya jauh dari rumah?" tanya Fian bertubi-tubi.
Fitri mendengkus sebal. "Ihh, nanyanya satu-satu dong, Mas."
Jawaban Fitri itu membuat Fian lagi-lagi terkekeh dibuatnya. "Jadi bagaimana?"
Helaan napas dari Fitri terdengar. Gadis yang semula berdiri itu ikut mendudukkan dirinya di samping Fian. "Pakdhe Kholil menyuruh kita menempati rumahnya. Rumah yang ada ayunan besar di halamannya itu, Mas. Kamu pasti tahu 'kan, rumah mana yang aku maksud?"
Fian tampak berpikir sebentar sebelum menjawab. "Rumah yang berada di dekat kantor pegadaian itu? Yang disampingnya ada kios jamu dan toko jual kain-kain serta kebutuhan menjahit?"
Fitri menepuk tangannya. "Tepat sekali! Kita diminta menempati rumah itu. Untuk biaya sewanya tidak ada. Kita hanya diminta menempati, membersihkan dan merenovasinya supaya layak ditinggali."
Netra Fian terbelalak seketika. "Kamu serius?!" tanyanya seolah tak percaya. Pikirnya, sungguh baik sekali Pakdhe dari istrinya itu. Meminta mereka menempati rumahnya secara cuma-cuma. Ya, ia sudah tahu rumah yang mana yang dimaksud oleh Fitri. Karena sejatinya, rumah itu berada tepat di samping rumah utama dari Pakdhe Kholil sendiri.
"Aku serius, Mas. Saat ini aku sedang menunggu informasi lebih lanjut dari Ibu. Beliaulah yang menjadi perantara diriku dan Pakhe Kholil sekarang."
"Jadi ... untuk kapan pastinya kita menempati rumah itu, belum tahu ya?"
Fitri mengangguk mengiyakan. "Iya, kita hanya harus memberitahu Ibu kamu dan yang lainnya, kalau kita sudah mendapatkan rumah yang akan kita tinggali nantinya." Fitri berujar masih dengan senyuman lebar yang terpatri di bibirnya. Senyuman itu juga menular pada Fian yang kini masih memandangnya dengan pandangan teduhnya.
"Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi yang jelas ... terima kasih untuk semuanya, sayang."
Rona merah langsung menjalar begitu saja di pipi berlesung Fitriana Ayodya. Di situasi seperti ini, suaminya itu masih saja sempat-sempatnya menggoda dirinya. Benar-benar tipikal sang pujangga cinta.
"Dasar penggoda," desis Fitri sembari memalingkan wajah merahnya. Spontan saja Fian jadi tertawa terbahak-bahak karena tingkah malu-malunya.
"MAS! JANGAN MULAI, DEH!"
Pekikan Fitri itupun menjadi melodi yang cukup memekakkan telinga di malam hari itu. Hingga membuat Sara Mona yang kebetulan lewat di depan kamar keduanya jadi berjengit kaget karena teriakan itu.
"MBAK! JANGAN TERIAK-TERIAK, DONG!" seru Sara dengan kerasnya.
"MAAF, SARA! MASMU INILOH YANG MULAI!"
"Dih! Kok malah nyalahin aku?!"
"Ya, kan memang kamu!"
Sara Mona mengusap wajahnya dengan kasar. Gadis cantik yang merupakan adik dari Fian itu buru-buru pergi sembari menutup kedua telinganya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan pasutri tersebut.
"Hah ... Mbak Fitri dan Mas Fian bikin iri saja, deh. Kapan ya aku bisa jadi kayak mereka?" gumam Sara sembari senyum-senyum tidak jelas. Gadis itu mulai membayangkan pangeran impiannya atau sosok suami idamannya yang entah berada di mana sekarang.
Sajidah yang tadinya hendak mengambil air minum di dapur jadi harus mengentikan langkahnya kala melihat sang adik perempuan tengah berdiri tidak jauh dari kamar Fitri-Fian sembari memejamkan mata dan senyum-senyum tidak jelas.
"Heh! Kamu ngapain di sini, Sara? Hayolohh, pasti habis lihat yang ehem-ehem, ya?" tegur Sajidah, tak lupa seringai menggoda yang menyertainya. Jangan lupakan alisnya yang ikut naik turun seiring lebarnya seringai di bibirnya.
"Apaan sih, Mbak?! Ganggu aja, deh! Aku tuh lagi bayangin sosok suami idamanku yang entah sedang mampir di mana sekarang," tutur Sara Mona dengan menggebu-gebunya. Gadis berusia 18 tahun itu bahkan sampai mengepalkan tangannya ke udara supaya lebih mendalami perannya.
Sajidah terperangah saat Sara Mona selesai mengungkapkan pikirannya. Sosok suami idaman katanya? Apakah anak ini kebelet nikah? Batin Sajidah sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan mikir aneh-aneh! Kamu itu masih kecil! Malah sudah mikirin suami-suami," cibir Sajidah dengan pedasnya.
Sara Mona langsung merengut seketika. "Mbak tuh, ya. Suka sekali menjatuhkan semangat orang," gerutunya dengan sebal.
Melihat adiknya yang merajuk seperti itu, Sajidah harus mati-matian menahan tawanya yang siap meledak kapan saja. Wanita itu malah langsung menyeret sang adik agar menjauh dari kamar Fitri dan Fian.
"Mending kamu bantuin Mbak momong Maulida."
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro