Bagian 6 ⭒࿈⭒ Kali Pertama
•
•
•
Hari ini Fitri memutuskan untuk pergi ke pasar. Membantu sang ibu berjualan dan menjaga kios camilannya seperti biasa. Ia juga sudah izin dengan sang suami, bahkan ia dan Fian tadi berangkat bersama. Fitri ke pasar, Fian bekerja.
Ia memutuskan kembali menjalani aktivitas yang dilakukannya sebelum menikah itu. Tentunya setelah berhasil mendapatkan izin dari sang ibu mertua dan suaminya. Semalam ia sudah membicarakan keinginannya ini dengan sang ibu mertua, dan alhamdulillah diizinkan. Karena jujur saja, ia merasa bosan jika tidak melakukan apapun di rumah. Ia termasuk orang yang tidak suka menganggur dan bermalas-malasan.
Netra kecoklatan itu menatap lalu-lalang orang-orang di dalam pasar. Selalu ramai seperti biasanya. Suara orang-orang yang menjual dagangannya juga turut memeriahkan. Hiruk pikuk di pasar membuat Fitri jadi mengingat masa-masa itu.
Saat di mana ia pertama kali bertemu dengan Aldiano Lutfiansyah.
⭒࿈⭒
"Nasi jagung, nasi jagung."
"Kerupuk, kerupuk."
Seorang gadis manis dengan potongan rambut sebahu dan selendang merah yang terikat di lehernya menatap pada ibu-ibu penjual nasi jagung. Sekian detik setelahnya, tatapan itu beralih ke bapak-bapak penjual kerupuk yang berjalan berlawanan arah dengan ibu-ibu penjual nasi jagung tadi.
Senyuman dari gadis itu mengembang saat melihat dua anak kecil berlarian di antara hiruk pikuk orang yang berlalu-lalang di pasar. Bocah-bocah itu tampak menghiraukan desis kemarahan dan beberapa teguran jengkel dari orang-orang dewasa di sekitar mereka. Tidak jauh di belakangnya, tampak seorang ibu-ibu yang mengejar kedua bocah itu dengan napas putus-putus.
"Dasar anak nakal!"
Ibu-ibu tersebut berseru kesal sembari menaikkan jari telunjuknya ke depan. Jangan lupa tangan kirinya yang sudah berada di pinggang. Ekspresi kesal tampak begitu jelas di wajahnya.
Gadis manis berselendang merah yang masih memerhatikan semua itu dari balik kaca etalase di tokonya spontan tertawa. Ia sudah tak bisa menahan rasa geli dalam perutnya. Tatapan heran dan bertanya-tanya dari sang adik yang duduk tidak jauh darinya pun ia abaikan.
"Mbak Fitri ngetawain apa, sih?"
Fitri, gadis manis dengan potongan rambut sebahu itu menoleh ke sumber suara dan mendapati sang adik perempuan menatapnya dengan heran. Kekehan kecil pun keluar begitu saja dari bibir mungilnya, membuat kedua lesung pipi itu terlihat seketika.
"Ituloh Fid, Ibu tadi ngejar dua bocah cilik itu karena mereka dengan sengaja menyenggol belanjaannya. Hahaha, untung saja tidak ada barang yang terjatuh."
Penjelasan singkat Fitri membuat sang adik mengangguk. Kedua kakak-beradik yang usianya berjarak empat tahun itu kembali ke aktivitas masing-masing. Duduk dan menanti pembeli datang ke toko camilan milik ibu mereka. Mengingat hari ini Hari Minggu dan banyak sekali pembeli yang ke tokonya guna menyetok camilan untuk toko mereka sendiri di rumah. Karena itu Fitri yakin dagangan kalau hari ini akan lebih laris daripada biasanya.
Benar saja.
Ada seorang saudagar kaya yang membeli banyak sekali stok camilan di toko milik sang ibu sejam kemudian. Ia dan sang adik sampai dibuat kewalahan karena banyaknya permintaan camilan yang hendak dibeli oleh saudagar tersebut. Membuatnya harus ekstra cepat dan berhati-hati dalam menghitung jumlah dan intensitasnya.
Namun di tengah kesibukan tersebut, ia tanpa sengaja melihat sosok itu di sana. Sosok laki-laki yang berhasil membuatnya terpaku dalam sesaat karena paras tampannya. Garis wajah yang sangat tegas dengan senyuman seindah bunga itu berhasil menggetarkan hatinya.
Kedua netra kecoklatannya terbelalak lebar saat manik sekelam malam itu balik menatapnya. Tanpa dikomando, rona merah mulai menjalari pipi berlesungnya. Spontan ia cepat mengalihkan tatapan dan kembali fokus menghitung total pembelian dengan kalkulator di tangan.
Ia tidak tahu pasti apakah laki-laki itu benar melihat ke arahnya atau tidak, tadi. Yang jelas, ia bisa merasakan perasaan gugup dan malu karena takut ketahuan menatap orang lain tanpa izin.
"Haduh, semoga dia tidak menyadarinya."
"Menyadari apa, Mbak?"
Fitri terkejut. Ia menoleh ke arah sang adik yang sudah duduk kembali di tempatnya setelah menerima uang dari saudagar kaya tadi. Tanpa sadar bibirnya berkedut kesal setelahnya.
"Kamu tuh ngagetin aja, sih!"
"Lah? Kan Fida cuma nanya, Mbak!"
"Tau ah!"
"Dih!"
Fitri mengabaikan gerutuan sang adik dan kembali menatap ke depan. Namun dirinya harus dibuat kecewa karena sosok laki-laki yang sempat membuatnya terpaku sudah tidak ada di tempat. Padahal ia sangat berharap kalau laki-laki itu masih ada di sana. Paling tidak ia harus mengajaknya berkenalan, bukan?
"Hah ... Sayang sekali aku belum sempat berkenalan dengan si tampan itu."
⭒࿈⭒
"Astaga! Itu kenangan yang sangat memalukan!"
Fitri menggeleng-gelengkan kepalanya kala memori itu melintas begitu saja di otaknya. Ia merutuki dirinya yang dulu. Bisa-bisanya ia memuji seorang laki-laki sampai segitunya. Padahal mereka hanya bertemu pandang sekilas dan ia langsung jatuh cinta!
Benar-benar ya, si Fian itu.
"Dia punya aura apa sih, sehingga bisa membuatku tertarik sampai segitunya?"
Fitri benar-benar tidak mengerti dengan dirinya yang begitu mengagumi dan mencintai sosok Aldiano Lutfiansyah yang pertama kali bertemu dengannya di pasar pada Hari Minggu itu dulu.
Tidak heran sih, mengingat Fian itu tampan dan menarik. Apalagi sosoknya yang suka berpuisi dan romantis. Meskipun tidak ingin, tapi Fitri mengakuinya kalau sang suami benar-benar orang yang sangat romantis. Jahil juga tapi! Jangan lupakan itu! Ia selalu dibuat malu dan kesal secara bersamaan!
"Tapi ... Fian itu memang sesuatu."
Senyuman Fitri mengembang. Ditatapnya jari-jarinya yang sedari tadi menempel di etalase dengan lekat. Benda perak yang melingkar di jari manis itu semakin membuat senyuman Fitri mengembang.
Cincin pernikahannya.
Sebagai bukti dan tanda kalau dirinya sudah sah menjadi istri dari sang pujangga cinta, Aldiano Lutfiansyah.
"Aku tidak tahu apakah keputusanku ini sudah benar atau tidak, tapi aku yakin kalau aku akan bahagia dengan Fian."
Ya, Fitri yakin kalau suatu hari nanti, sang ibu pun pasti akan menerima Fian dengan baik. Terlepas dari semua kekurangan yang dimiliki oleh sang suami. Karena kasta bukanlah penghalang bagi setiap insan yang saling mencintai dan ingin membina keluarga yang sempurna. Ia yakin kalau mereka berusaha, rezeki itu pasti akan datang. Mengingat setiap orang sudah punya porsi rezekinya masing-masing. Hanya butuh usaha dan doa saja untuk mendapatkannya.
Ya, semoga ...
Semoga kebahagiaan akan selalu menyertainya. Karena tidak ada yang mustahil jika kita mau berusaha dan berdoa. Setiap usaha dan doa pasti akan mendapatkan jawabannya.
•
•
•
Tenang saja, Fitri.
Tetaplah berusaha dan berdoa.
O(≧∇≦)O
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro