
Bagian 58 ⭒࿈⭒ Kepikiran Kue
•
•
•
"Mas, aku ingin kita keluar dari rumah. Kita pindah dan mencari rumah sendiri. Sewa pun tak apa-apa, asalkan bisa punya tempat tinggal sendiri."
Kalimat itu masih terngiang-ngiang di otak Aldiano Lutfiansyah sekarang. Ia juga sadar kalau seharusnya ia sudah keluar dari rumah ini setelah menikah. Karena permintaan sang ibu lah yang membuatnya memilih bertahan sampai sekarang. Namun, bila sang istri sudah berkata demikian, ia harus berusaha untuk memenuhinya.
Tapi di mana mencari rumah kontrakan murah di sekitar sini?
Aldiano Lutfiansyah termenung di ruang tamu dengan pikiran yang terus berkelana ke sana-kemari. Hingga dirinya sampai tidak sadar kalau melamun. Tatapannya tampak terpaku pada kipas putih di sudut ruangan. Menatap kipas itu seolah-olah ada hal yang menarik dari benda mati tersebut.
Tak lama setelahnya, Sajidah yang baru datang dari arah Dapur memicingkan netranya ke arah sang adik yang termenung dalam pikirannya. Ia melambaikan tangannya tepat di depan wajah Fian, berusaha untuk menyadarkan laki-laki tersebut.
"Hei! Kau sedang melakukan apa? Awas kesambet, loh!"
Fian tersentak. Manik sekelam malamnya langsung bergulir ke asal suara dan mendapati sang kakak perempuan yang tengah berdiri di dekat pintu. Alisnya langsung menukik tajam seolah tidak suka dengan keberadaan sang kakak.
"Apa sih, Mbak?"
"Kamu itu daritadi ngelamunin apa?" tanya Sajidah sembari bersedekap.
Fian tak langsung menjawab, melainkan kembali terlarut dalam pikirannya. Hingga teguran Sajidah kembali menyadarkannya.
"Eh! ditanyain kok malah ngelamun lagi? Kamu dengerin Mbak ngomong nggak, sih?!" seru wanita yang saat itu memakai setelan baju batik berwarna hijau lumut. Pipi Sajidah terlihat memerah lantaran merasa marah dan kesal pada adiknya tersebut.
"Dengerin, kok! Aku hanya memikirkan suatu hal," ujar Fian sembari menyugar rambutnya ke belakang. Sudah hampir tiga bulan lamanya sejak terakhir kali ia memotong rambutnya tersebut. Rasa-rasanya jadi semakin panjang saja sekarang.
Sajidah mengernyitkan alisnya. "Ohh, ya? Apa itu? Apakah sangat penting?" tanyanya bertubi-tubi. Sepertinya ibunda dari Maulida itu tampak sangat penasaran sekarang. Terbukti dari yang awalnya berdiri di dekat pintu, kini Sajidah berpindah tempat, tepat di samping sang adik. Menopang dagu seraya menatap lekat-lekat pada sosok Aldiano Lutfiansyah yang tampak kesal.
"Kenapa dengan ekspresimu itu?" tanya Sajidah kala menyadari tatapan kesal sang adik padanya.
"Mbak kok jadi kepo sama urusan aku, sih?" Fian memutar bola matanya saat melihat ekspresi menggoda dari sang kakak. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Mbak. Ini memang sesuatu yang penting. Akan tetapi, aku tidak akan memberitahukannya padamu." Seringai puas langsung terbit di bibir Fian.
Tentu saja Sajidah tidak terima. Adiknya itu malah jadi bermain rahasia-rahasiaan dengannya. Hei! Ia sudah sangat penasaran, tahu!
"Sudahlah, Mbak. Ini biar jadi urusanku sendiri," kata Fian setelahnya.
Yahh, kalau dipikir-pikir memang benar perkataan Fian. Harusnya ia tidak perlu terlalu ikut campur dalam urusan adik laki-lakinya tersebut. Fian sudah dewasa, dan sudah sewajarnya ia percaya kalau sang adik bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Ya sudah. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk bercerita padaku. Eh! Aku masih jadi Mbakmu 'kan, Yan?" tanya Sajidah disertai dengan ekspresi menyebalkannya. Membuat Fian lagi-lagi dibuat jengkel oleh tingkah sang kakak perempuan.
"Tentu saja, Mbak. Pertanyaanmu itu sungguh aneh, tahu!" sungut Aldiano Lutfiansyah itu.
Percakapan random keduanya tidak berhenti di situ saja. Karena beberapa menit setelahnya, banyak sekali topik yang diangkat oleh Sajidah untuk dibahas bersama adik laki-lakinya tersebut. Berbincang-bincang di sore yang tenang sembari menunggu waktu maghrib tiba.
⭒࿈⭒
Lain halnya dengan Fian dan Sajidah, lain pula halnya dengan Fitriana Ayodya. Gadis yang memiliki lesung di kedua pipinya itu tampak serius menghias kue cokelat di depannya. Fitri berada di dapur sekarang, ditemani dengan peralatan memasak yang sudah berserakan di atas meja dan pantry dapur.
Sudah hampir satu setengah jam gadis itu berkutat dengan peralatan dapur tersebut, dan sudah hampir satu setengah jam pula tidak ada yang mengganggu kegiatannya di sana. Entah ke mana perginya semua orang di sore hari menjelang maghrib seperti ini. Sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.
Tak! Tak! Tak!
Suara pisau yang beradu dengan telenan menjadi melodi yang menemani Fitri di sana. Sembari menyenandungkan lagu India favoritnya, Fitri membuat kue-kue kering untuk camilan. Ia ingin membuat nastar dan bolu saat ini. Keduanya adalah favoritnya memang. Jadi Fitri sudah terbiasa dan hafal di luar kepala dalam membuat keduanya.
"Hm sepertinya, aku harus membuat isi selai nastarnya terlebih dahulu. Baru aku akan membuat adonan untuk bolunya," gumam Fitri sambil meraih baskom dari rak piring di sudut kanan sana. Lantas kemudian, barulah gadis itu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kuenya. Mulai dari tepung, mentega, telur, dan lain-lain.
Ditatapnya berbagai macam kue kering di atas meja yang sudah dibuatnya selama satu setengah jam tadi. Ada cookies, roti lapis, roti kukus, dan kue tradisional lainnya. Berbagai macam warna, dan berbagai macam rasa. Membuat siapapun yang melihatnya pasti ingin langsung memakannya.
"Wah, wah, wah. Menantu Ibu membuat banyak sekali kue. Untuk apa membuat kue sebanyak ini, Fit?"
Suara sang ibu mertua membuat Fitri tersenyum seketika, gadis itu menoleh ke sumber suara. Ibunda dari suaminya itu berdiri di pintu masuk dapur dengan senyuman keibuannya.
"Eh, Ibu ... Sengaja aku membuat banyak kue, ini untuk camilan saat menonton televisi. Bagaimana menurut Ibu?" ujar Fitri dengan senyuman lebarnya. Gadis itu tampak sedikit kotor karena noda tepung.
"Rajinnya menantu Ibu ..."
Blush!
Rona merah itu dengan cepat menjalari pipi Fitriana Ayodya. Fitri langsung salah tingkah ketika kalimat itu keluar dari bibir sang ibu mertua. Bagaimana tidak? Karena yang ia tahu, ibu mertuanya itu bukanlah sosok wanita yang akan mengeluarkan kata-kata manis seperti itu untuk sekadar memuji.
Namun berbeda kali ini, karena ibunda Fian itu tampak sangat menyayangi menantunya. Terlepas dari perlakuan buruk Ibu Fitri pada mereka. Karena sejatinya, kepribadian buruk orang tua, belum tentu anaknya juga berkepribadian demikian.
Contoh nyatanya adalah Fitri sendiri. Meskipun ibunya sering mengolok-olok derajat dari keluarga suaminya, tapi ia tidak demikian. Ia menerima semua kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak dengan apa adanya.
Bukankah sudah seharusnya, kita sebagai manusia saling menghormati? Terlepas dari kasta yang membedakan di antara keduanya. Masing-masing haruslah mendapat perlakuan yang sama. Sama rata, adil, dan seimbang. Barulah akan tercipta kehidupan yang nyaman dan bahagia.
•
•
•
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro